http://www.suarapembaruan.com/News/2007/11/24/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 
Siaran Gelombang Pendek Pertama di Dunia

Wij sluiten nu. Vaarwel, tot betere tijden! Leve de Koningin!(Kami tutup 
sekarang. Sampai jumpa di lain waktu yang lebih baik. Hidup Ratu!)." 
Demikianlah siaran terakhir dari NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep 
Maatschappij - Maskapai Radio Siaran Hindia Belanda) pada tanggal 8 Maret 1942, 
bersamaan dengan masuknya Jepang ke Indonesia. 

Ternyata, sejak saat itu, NIROM tidak pernah menemukan waktu yang lebih baik 
untuk kembali siaran. Karena setelah dijajah Jepang, Indonesia memproklamasikan 
kemerdekaannya. Untuk dapat memancarkan siarannya hingga akhirnya ditutup, 
NIROM sebenarnya tidak bisa melepaskan diri dari sejarah hubungan gelombang 
pendek Belanda - Indonesia yang terjadi belasan tahun sebelumnya. Dalam hal ini 
Kota Bandung, Jawa Barat, memiliki peran penting. 

Setidaknya hal itu diakui oleh Wakil Duta Besar Belanda, K Ad Koekkoek yang 
hadir dalam peringatan 80 tahun hubungan gelombang pendek Belanda - Indonesia 
atas kerja sama Radio Nederland Wereldomroep (RNW) dan Radio Maragitha, di 
Hotel Savoy Homann, Bandung, 11 November lalu. "Hubungan radio gelombang pendek 
pertama kali antara Bandung dan Hilversum terjadi pada Maret 1927," tutur 
Koekkoek, dalam sambutannya pada acara bertema "Radio, Riwayatmu Dulu" itu. 

Han Harlan, Regional Manager Indonesia Radio Nederland Wereldomroep (RNW) 
menjelaskan hubungan gelombang pendek yang terjadi kala itu adalah siaran 
percobaan pemancar eksperimen buatan Philips dengan nama sandi PCJJ (Papa 
Charli Juliet Juliet) pada tanggal 11 Maret 1927. 

Siaran percobaan dari pemancar gelombang pendek PCJJ Philips Laboratoria di 
Eindhoven itu diterima dengan jelas oleh pakar telekomunikasi Belanda, Dr De 
Groot di Malabar, Kabupaten Bandung. Tidak lama sesudahnya, Ratu Wilhelmina pun 
menyapa warganya di tanah jajahan Belanda pada 3 Juni 1927. Keberhasilan siaran 
internasional itu menjadi rintisan bagi siaran lintas benua di dunia. 

Guru Besar Sejarah dari Universitas Padjadjaran Bandung, Nina Herlina Lubis, 
mengatakan untuk memperingati momen bersejarah itu maka dibangunlah monumen di 
Kota Bandung. Monumen itu berbentuk setengah bola dunia dengan patung dua 
laki-laki tanpa busana di kedua sisinya. 

Mereka saling berhadap- hadapan. Ekspresi patung yang satu sedang berteriak, 
sedangkan satunya lagi tampak menempelkan telapak tangan di telinga. Gerak 
tubuh patung itu melambangkan tidak ada lagi jarak di bumi ini dengan adanya 
alat komunikasi radio telepon. Oleh masyarakat, monumen di Tjitaroem Plein 
(Lapangan Citarum) ini disebut "Patung Pantat Bugil". 

Patung itu melambangkan tidak ada lagi jarak di bumi ini dengan adanya alat 
komunikasi radio telepon. "Sayangnya, tahun 1950-an dibongkar, karena patung 
ini dianggap melanggar kesusilaan," ujar Nina. 

Selain monumen, jasa Dr De Groot juga sempat diabadikan menjadi sebuah nama 
jalan yang sekarang bernama Jalan Siliwangi, di Kota Bandung. 

Hubungan gelombang pendek itu ternyata semakin berkembang seiring perjalanan 
waktu. Nina mencontohkan pada Desember 1927 dipersiapkan suatu pemancar 
telefoni kristal yang dibuat di Laboratorium Dinas Radio di Bandung. 

Antara tahun 1928-1929 terus dilakukan percobaan-percobaan percakapan dengan 
menggunakan pemancar itu, dan pada 7 Januari 1929 dibukalah secara resmi 
komunikasi radio telepon antara Negeri Belanda dan Indonesia. Sejak itu, 
bilik-bilik percakapan mulai menjamur di berbagai kota, seperti, Bandung, 
Gambir (Jakarta), Semarang, Surabaya, Bogor, Cirebon, Jember, Yogya, Garut, 
Kediri, Malang, Sukabumi, Solo, dan Cepu. 

Malah, memasuki tahun 1931, percakapan dapat pula dilakukan dari rumah 
langganan maupun kantor telepon. Percakapan internasional pun kemudian dapat 
dilakukan bukan hanya dengan Negeri Belanda tetapi dengan negara-negara Eropa, 
Australia, Amerika, dan beberapa negara Asia Tenggara. 


Tinggal Puing-puing 

Begitu NIROM atau Maskapai Radio Siaran Hindia Belanda mengakhiri siarannya, 
pemerintah pendudukan Jepang, sambung Nina, mendirikan Hoso Kanri Kyoku. Itu 
adalah pusat radio pendudukan Jepang yang berpusat di Jakarta dan salah satu 
cabangnya berada di Bandung. 

"Hanya radio inilah yang boleh didengarkan rakyat Indonesia. Meskipun demikian, 
banyak yang diam-diam berusaha mendengar siaran luar negeri," ia memaparkan. 

Penguasaan Hoso Kyoku berdampak terhadap pemberitaan proklamasi kemerdekaan 
Indonesia. Baru pada malam hari sekitar pukul tujuh, para pemuda Bandung Hoso 
Kyoku, berhasil mengambil-alih pemancar dari tangan Jepang dan mengadakan 
hubungan dengan para pegawai Pos, Telegraf dan Telepon (PTT) yang menguasai 
pemancar-pemancar besar di Dayeuh Kolot dengan kekuatan di atas 10 kilowatt. 

Pada malam itu dibacakanlah teks proklamasi oleh Sakti Alamsjah, RA Darya, Sam 
Amir, dan Odas Sumadilaga. "Dengan call sign (kode panggilan), di sini Bandung 
Siaran Radio Republik Indonesia," ujar Nina, seraya menambahkan siaran tersebut 
terdengar hingga ke telinga Imron Rosyadi, yang sedang menjadi mahasiswa di 
Baghdad, melalui pesawat radio yang dimilikinya. 

Namun sungguh disayangkan, sejarah hubungan gelombang pendek pertama kali 
antara Belanda-Indonesia itu sekarang hanya bisa dipelajari dari buku saja. 
Pasalnya, bukti fisik seperti Gedung Pemancar Radio Telegraf Malabar sekarang 
tinggal puing-puing saja. Demikan pula dengan monumen peringatannya sudah tidak 
bersisa. "Seharusnya bangsa kita bisa menghargai bukti-bukti sejarah," Nina 
menegaskan. [SP/Adi Marsiela] 



--------------------------------------------------------------------------------
Last modified: 24/11/0

Kirim email ke