http://www.cenderawasihpos.com/detail.php?ses=&id=31909

14 September 2009 06:47:40


Selamatkan Tanah dan Orang Papua!


--------------------------------------------------------------------------------





JAYAPURA-Pada 13 September kemarin, dikenal sebagai Hari Hak Azasi Manusia 
Internasional bagi Bangsa Pribumi se-Dunia. Hal itu sesuai dengan deklarasi PBB 
13 September 2007 lalu. 


Terkait hal ini, Dewan Adat Papua (DAP) sebagai masyarakat pribumi turut 
memperingati ulang tahun ke-3 Hari Hak Azasi Manusia Internasional bagi Bangsa 
Pribumi se-Dunia tersebut. 


Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yaboisembut,S.Pd, mengatakan, tema yang 
diangkat adalah "Mari Kita Selamakan Tanah dan Orang Asli Papua". Tema ini 
menjadi suatu seruan tentang penyelamatan tanah dan orang asli papua, bangsa 
Papua, rumpun Melanesia, ras Negroid yang masih tersisa 1,2 juta jiwa dari 
creeping genoside (pemusnahan secara merangkak perlahan-lahan) dan dari 
kehancuran tanah Papua menuju Papua baru.


Seruan penyelamatan tanah dan orang asli Papua terdiri dari 8 bagian yaitu, 
penyelamatan tanah Papua, penyelamatan jiwa orang asli Papua dari creeping 
genoside, perilaku orang asli Papua yang berakibat creeping genoside, 
penyelamatan Sumber Daya Alam (SDA), penyelamatan hutan, penyelamatan 
kampung-kampung tradisional, masa depan orang asli Papua, 
permasalahan-permasalahan yang telah, sedang dan akan dihadapi orang asli Papua.


Pokok-pokok seruan sebagaimana diungkapkan itu, sebagai pengingat dan 
peringatan untuk harus diingat dan dilaksanakan oleh masyarakat adat Papua. 
Pertama, keselamatan dan masa depan orang Papua ada di tangan orang Papua 
sendiri. Sebab ancaman kematian kian semakin menyata dimana masyarakat adat 
ditembak, dibunuh, diculik, ditangkap, dipenjarakan, mati kelaparan, menderita 
dan mati karena sakit dan penyakit.
Kedua, dilihat dari perkembangan jumlah penduduk di tanah Papua pada saat 
menjelang pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (Pepera) pada tahun 1969, 
jumlah penduduk asli Papua lebih kurang 800.000 jiwa dan sampai dengan pada 
tahun 2007 jumlah penduduk asli Papua berjumlah 1, 2 juta jiwa. Jika 
dibandingkan dengan dengan Negara tetangga PNG (Papua New Guinea) pada saat 
merdeka pada tahun 1975, jumlah penduduk 700.000 jiwa dan pada tahun 2007, 
negara tetangga tersebut jumlah penduduknya sekitar 7 juta jiwa. 
Ini pertanda bahwa pertumbuhan penduduk orang asli Papua di Papua Barat tidak 
bertambah secara signifikan dalam kurun waktu yang sama. Bertolak dari 
perbedaan jumlah penduduk yang amat mencolok di atas menyatakan sejak integrasi 
hingga saat ini terindikasi telah, sedang dan akan terjadi creeping genoside 
pada orang asli Papua. Hal ini dapat menyata dengan telah terjadinya berbagai 
operasi tumpas yang dilakukan oleh militer secara langsung semenjak 1 Mei 
1963-1998, pembunuhan kilat, penembakan, penculikan, penangkapan dan 
pemenjarahan sewenang-wenang, pembunuhan psikis dengan Tuhan separatis, makar 
dan OPM (Organisasi Papua Merdeka). 
Disamping itu, masyarakat adat Papua juga dibunuh dengan cara diracuni melalui 
makanan dan minuman, minuman keras, pelayanan kesehatan yang tidak memadai dan 
meninggal karena kelaparan dan penyakit HIV/AIDS. Akibatnya, populasi penduduk 
asli Papua semakin terancam. 
Sebuah paper penelitian yang sampaikan dalam Indonesian Solidarity an the West 
Papua Paper Project, 9-10 Agustus 2007 di Sidney, Australia yang disampaikan 
oleh Dr. Jim Elmslie menyebutkan populasi penduduk non-Papua pada tahun 2020 
akan meningkat tajam menjadi 70,8% dari total 6,7 juta jiwa penduduk Papua pada 
tahun 2020. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, pada tahun 2030. Dr. Jim 
memprediksikan penduduk asli Papua hanya 15.2% dari total 15,6 juta jiwa 
penduduk Papua. Dengan kata lain, perbandingan antara penduduk asli Papua dan 
non-Papua pada tahun 2030 akan mencapai 1:6,5. Oleh karena itu, masyarakat adat 
tanpa terkecuali di semua level dan tingkatan harus menyelematkan diri terlebih 
dahulu dari ancaman kematian dan dari berbagai proses ketidakadilan yang 
dialami.
Ketiga, eksploitasi SDA terus terjadi di tanah Papua. Masyarakat adat mati di 
atas kekayaan alam (emas), sementara kaum pemodal dan penguasa menari-nari di 
atas tulang belulang dan darah masyarakat adat Papua. Eksploitasi tambang 
tembaga dan emas oleh PT. Freeport dan gas alam oleh Brithis Petrolium di Babo 
Bintuni, perusahaan gas di Sorong serta berbagai perusahaan lainnya merupakan 
fakta yang tidak dapat dielakan. Demikian pula dengan pengeksploitasian hutan 
yang terus dilakukan secara legal maupun illegal. 
Keempat, dalam pandangan dasar hidup masyarakat adat Papua, tanah adalah mama 
yang melahirkan, memberi makan, hidup dan beranak cucu. Karena itu tanah 
sesungguhnya milik komunitas dan bukan milik pribadi tertentu. Tanah bagi 
masyarakat Adat Papua memiliki nilai ekomis dan religi. 
"Soal tanah adat kami DAP serukan penyadaran dulu, nanti kami tindaklanjuti 
dengan aturan," ungkapnya dalam konferensi pers di Kantor DAP, Minggu, (13/9).
Secara iman (secara khusus Kristiani) tanah adalah milik Tuhan yang 
dipercayakan kepada setiap bangsa dengan batasnya untuk keberlangsungan hidup 
mereka (Lih. Kitab Ulangan 19:13 dan 27:17). Lahan produktif pertanian tidak 
lagi dialihfungsikan untuk perumahan, penanaman kelapa sawit, lahan industri 
namun dilindungi demi keberlangsungan hidup masyarakat Adat Papua. Oleh karena 
itu, diserukan kepada orang asli Papua supaya tanah hak milik Masyarakat Adat 
Papua jangan dijual lagi namun disewakan atau dikontrakkan bagi pemodal dan 
pengguna lainnya.
Kelima, secara ekonomi masyarakat adat terus semakin tersisih. Tempat-tempat 
sentral di kota-kota, tanah semua dikuasai oleh pemodal yang nota benenya warga 
migran. Mereka mendirikan ruko-ruko, supermarket dan sentra-sentra ekonomi 
dimana-mana. Akibatnya masyarakat adat tidak mendapatkan tempat yang layak dan 
manusiawi.
Keenam, semakin derasnya arus perubahan dan tidak adanya perhatian dari semua 
pihak dalam memelihara serta melestarikan kampung-kampung tradisional dengan 
segala sistem dan nilai pemerintahan tradisional semakin hilang dan musnah. Hak 
hidup dan kebebasan masyarakat adat Papua semakin terancam. Pemerintah melalui 
aparat penegak hukum terus melakukan pembungkaman hak dan kebebasan bagi 
masyarakat adat Papua. Sebaliknya apa yang menjadi tanggungjawab aparat belum 
secara serius mengungkapkan tuntutan masyarakat adat. 


Beberapa persoalan yang patut disebutkan ialah pelaku penembakan Opinus Tabuni 
yang tertempak pada tanggal 9 Agustus 2009 di Lapangan Sinapuk Wamena pada saat 
memperingati hari Internasional Masyarakat Pribumi. Demikian pula proses hukum 
pelaku penculikan Theys Hiyo Eluay dan sopirnya Aristoteles Masoka serta 
berbagai kasus pelanggaran HAM berat lainnya.


Bertolak dari keprihatinan sebagaimana diungkapkan di atas, guna mengakhiri dan 
menyelamatkan masyarakat adat Papua maka ia menyuarakan dan menyatakan sikap, 
bahwa, seluruh masyarakat adat untuk saling bahu membahu membangun 
kekeluargaan, persatuan, persaudaraan sebagai sesama anak adat Papua untuk 
menyelamatkan diri dan tanah Papua dari ancaman kepunahan.


Berikutnya, berjuang agar mencapai kesadaran bahwa semua orang adalah satu 
bangsa yakni bangsa Papua, rumpun melanesia dan ras negroid di pasifik dan 
bukan bangsa Indonesia, rumpun Melayu dari Yunan Kamboja.
"Pemerintah Indonesia, Amerika Serikat, Perserikatan Bangsa-bangsa, Pemerintah 
Belanda untuk segera membuka diri guna dilakukannya dialog internasional atau 
referendum bagi penyelesaian dan penyelamatan masyarakat adat Papua dari krisis 
kemanusiaan dan ancaman pemusnahan yang semakin menyata," tegasnya. 


Tentang, penembakan di Timika, jika dilihat modusnya sama dengan penembakan 
warga Amerika Serikat beberapa bulan lalu, hanya saja dalam akhir-akhir ini 
intensitasnya meningkat, dan jelas ini mungkin saja dilakukan oleh agen 
provokator yang sama, karena mereka yang menembak itu adalah orang yang 
terlatih dalam menembak maupun menghilangkan jejaknya.
"Saya pernah bilang bahwa coba OPM ditarik dan pasukan juga ditarik, dan 
dilihat siapa dalang dari aksi penembakan itu. Ini skenario yang sudah diatur 
agar membungkam masyarakat yang memperjuangkan haknya pada PT. Freeport itu, 
karena tidak mau kue yang sama dibagi, maka dibuatlah aksi-aksi penembakan itu, 
supaya masyarakat adat ditangkap, diintimidasi supaya jangan berteriak lagi. 
Mana ada masyarakat adat punya senjata," terangnya.(nls/fud)

<<Forkorus-Yaboisembet.jpg>>

Kirim email ke