SINAR HARAPAN

Kamis, 26 Agustus
2010 12:54 

 

SJSN Pro Rakyat Bukan
lewat Asuransi

 

OLEH: SALAMUDDIN
DAENG

 

Meskipun telah
disahkan sejak tahun 2004, UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) tak juga bisa diterapkan. 

 

Latar belakangnya
adalah peraturan pemerintah (PP) yang dimandatkan UU ini tidak kunjung terbit. 
Selain
itu, badan pelaksana SJSN juga belum ada. Namun, pemerintah dan DPR saat ini
sedang membahas UU Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS).

 

Secara substansial,
UU SJSN masih menyisakan masalah. Banyak pihak menolak UU ini karena tidak
mencerminkan aspirasi rakyat yang menghendaki keberadaan sistem jaminan sosial
yang berpihak pada rakyat, khususnya kaum miskin yang jumlahnya mayoritas. 
Kelompok
ini meliputi penganggur, pekerja sektor informal, pekerja formal yang upahnya
rendah, dan buruh tani/petani tak bertanah dan petani kecil. Oleh karena itu,
sistem itu harus mengedepankan kepentingan kelompok tersebut. 

 

Data Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan, jumlah tenaga kerja dengan status
buruh/PNS adalah sebanyak 28,9 juta jiwa dari 104,48 juta jiwa penduduk yang
bekerja. Data tersebut membuktikan bahwa sebagian besar tenaga kerja bekerja di
sektor informal dengan pendapatan yang rendah dan sangat rentan mengalami
krisis. 

 

Selain itu, UU
SJSN hanya mencakup kelompok masyarakat yang mampu membayar iuran asuransi
sosial. Dengan demikian, hanya sekelompok kecil masyarakat mampu yang dapat
memperoleh jaminan sosial, sementara sebagian besar lainnya yang tidak mampu,
tidak berhak mendapat asuransi sosial yang layak. Padahal, jumlah masyarakat
miskin masih sangat besar. Data statistik menyebutkan ,jumlah rakyat miskin di
Indonesia mencapai 100 juta lebih. Mereka adalah individu dengan pendapatan di 
bawah US$ 2/kapita/hari. Kelompok
masyarakat ini dipastikan tidak akan mampu membayar iuran asuransi sosial
secara terus-menerus.

 

Masalah lainnya
yang tidak kalah penting adalah paradigma dalam penyelenggaraan jaminan sosial.
Semestinya sistem tersebut merupakan tanggung jawab negara yang wajib
dilaksanakan. Apalagi, saat ini kondisi perekonomian sedang menghadapi krisis. 

 

Pentingnya Peran Negara

Saat ini, juga
muncul perdebatan yang tajam tentang siapakah yang harus menyelenggarakan SJSN.
Perdebatan ini tidak hanya menyangkut perdebatan teknis, tetapi jauh lebih
dalam pada masalah perdebatan ideologis tentang paradigma ekonomi politik yang
dianut suatu negara.

 

Meskipun
penyelenggaraan jaminan sosial tersebut secara tegas telah diatur dalam UUD
1945  Pasal 34 ayat 2, yaitu “Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan,”
namun banyak pihak masih berusaha menafsirkan berdasarkan kepentingan
masing-masing.    

Dalam pandangan
ekonomi politik neoliberal, negara tidak boleh ikut campur dalam urusan-urusan
ekonomi, atau suatu urusan yang secara ekonomi menjanjikan profit bagi sektor
swasta. Dalam pandangan ideologi ini pula, sistem jaminan sosial adalah produk
jasa yang dapat diperdagangkan atau diperjualbelikan dan menjanjikan keuntungan
yang besar. 

 

Sebaliknya,
pandangan antitesis terhadap gagasan neoliberal menganggap bahwa jaminan sosial
adalah kewajiban negara. Sektor ini dianggap merupakan sektor strategis karena
menyangkut hajat hidup orang banyak, terutama kelompok masyarakat miskin. Jadi,
negara bertanggung jawab penuh dalam menyelenggarakan jaminan sosial.

 

Itulah penyebab
banyaknya kelompok masyarakat, khususnya masyarakat miskin, di Indonesia
menolak sistem jaminan sosial sebagaimana yang diatur dalam UU 40 Tahun 2004. 
Pasalnya,
UU ini dianggap merupakan suatu skenario menyerahkan suatu urusan yang
seharusnya menjadi tanggung jawab negara pada perusahaan asuransi. Dengan
begitu, UU ini secara substansi merupakan sistem asuransi sosial yang
beroperasi lebih mirip perusahaan asuransi. 

 

Meskipun
perusahaan asuransi yang rencananya akan ditunjuk negara sekalipun adalah BUMN,
tidak ada jaminan fungsi sosialnya dapat dilaksanakan. Ini karena jika dilihat
dari orientasi ekonominya, BUMN-BUMN yang dimaksud adalah perusahaan yang
berorientasi pada profit yang tidak ubahnya dengan perusahaan swasta lainnya. 

 

Asuransi Asing 

UU ini akan
menjadi pintu masuk bagi perusahaan asuransi besar dari luar negeri. Dalam
sistem ekonomi politik yang sangat liberal seperti Indonesia, sangat
memungkinkan perusahaan asuransi milik negara dan asuransi nasional akan
berpindah tangan pada pihak asing. 

 

Peluang dominasi
asing dikuatkan dengan lahirnya UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
(UUPM), yang kemudian diturunkan dalam Peraturan Presiden No 77 Tahun 2007
tentang Daftar Negatif Investasi, yang isinya telah membuka sektor-sektor
strategis bagi penanaman modal asing. Padahal, penguasaan modal asing dalam
sektor asuransi saat ini saja diperkirakan mencapai 95 persen. Kondisi semacam
ini dapat menimbulkan masalah tersendiri terkait dengan sistem asuransi sosial
yang hendak dikembangkan. Akibatnya,
penyelenggaraan asuransi sosial bagi rakyat Indonesia akan jatuh ke tangan
perusahaan-perusahaan asing. 

 

Belajar dari
krisis keuangan global yang melanda AS dan kemudian menular ke Eropa, Jepang,
dan bahkan negara-negara berkembang, ini sebagian besar merupakan akibat ulah
perusahaan-perusahaan asuransi. Pengalaman hancurnya perusahaan-perusahaan
asuransi AS merupakan fakta bahwa menyerahkan urusan jaminan sosial dan
asuransi sosial pada sektor swasta sama sekali bukan hal yang tidak berisiko. 

 

Negara kembali
harus menutupi utang-utang perusahaan asuransi dalam jumlah yang sangat besar. 
Moral
hazard yang didukung sistem yang liberal menyebabkan perusahaan-perusahaan
asuransi menginvestasikan dana-dana masyarakat dalam kegiatan spekulasi yang
sangat berisiko. Untuk itu, saat ini tak ada jalan lain selain negara harus
bertanggung jawab mengatasi krisis semacam itu. Jangan sampai perusahan swasta
yang telah mengeruk keuntungan yang sangat besar dari bisnis asuransi semakin
membenamkan rakyat ke lumpur penderitaan lebih dalam. 

 

Penulis adalah
Peneliti pada Institute for Global Justice (IGJ).

Kirim email ke