Eep S Fatah: Cerita Kaca Buram Istana
                                24 Agustus 2010
                                Oleh; Eep S Fatah

Cerita berseri ini adalah
pertanggungjawaban saya atas pujian dan kritik-kritik saya terhadap SBY
selama ini, sekaligus untuk melengkapi Cerita Kaca Buram Istana.Semester ke-2 
1994. Saya lupa bulannya.
Staf di Jurusan Politik UI memberi tahu “ Ada telpon dari Kolonel
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)” . Saya tidak tahu siapa SBY.
Ia sendiri tidak meninggalkan identitas apapun, kecuali pangkatnya.
Saya sempat berfikir: ‘Ada urusan apa tentara mencari saya? ‘


Eep S Fatah

Kami akhirnya bicara via telpon. Tahulah saya: Kolonel SBY adalah Assisten 
Operasi Kasdam Jaya, lulusan Akabri 1973. Mengajak bertemu.  Ternyata SBY
baru baca buku (pertama) saya, Masalah dan Prospek Demokrasi di
Indonesia, dan mengajak mendiskusikan bab-bab tentang politik tentara.
Pertemuan pertama saya dengan SBY terjadi pad a satu malam di akhir
tahun 1994, di rumah dinasnya di Cibubur. Saya datang dijemput supir SBY 
bernama Bambang .

SBY
bersama empat orang perwira menengah AD seangkatan (73), termasuk
Kolonel (waktu itu) Syamsul Maarif (yg kocak). Mereka juga ikut
berdiskusi. Selain diskusi buku saya, kami juga diskusi soal The Future
of Capitalism (judul sampul Newsweek waktu itu, dan judul buku Lester
Thurow).  Pertemuan ini meninggalkan 3 kesan: (1) fisik – dibanding 4
teman seangkatannya, SBY paling menonjol: tinggi, (masih) ramping, gesture 
terjaga. (2) Kemampuan komunikasi , SBY
terlihat santun, cenderung kendalikan diskusi, tutur katanya terjaga
dengan nada yang cenderung datar. Tuturnya baik. (3) Saya yang tidak
pernah punya interaksi dengan tentara lumayan terkejut mendapati SBY punya 
minat diskusi tinggi soal ‘topik-topik yang tidak biasa buat tentara’ .

Terus terang saya terkesan, tapi sambil pasang kuda-kuda karena sudah baca 
bagian akhir buku Morris Janowitz, The Professional Soldier (1962).  Janowitz 
menulis tentang Military Intelectual (perwira
tentara di masa depan yang melengkapi diri dengan kecakapan intelktual,
semata untuk pencanggihan diri. Pertemuan pertama itu diakhiri dengan
ajakan SBY untuk segera bertemu lagi, melanjutkan diskusi tentang banyak soal 
yang menarik. Saya menyetujuinya.

Pertemuan ke-2 terjadi tak lama kemudian , beberapa ajakan makan siang di suatu 
weekend di
rumah dinasnya. Bu Ani menata meja dan makanan serta melayani dengan
ramah.  Di pertemuan ke-2 ini pula saya berkenalan untuk pertama kali
dengan Agus Harimurti dan Edi Baskoro (Ibas) yg tentu saja masih
‘kecil’. Saya diajak SBY
masuk ke perpustakaan pribadinya, di sebelah kanan ruang makan. Ada
sekitar 1500-an judul buku di ruang sempit agak memanjang itu.

Koleksi buku SBY
lumayan beragam. Yang terekam dalam ingatan saya: kemiliteran, politik,
sejarah, agama, sosiologi, ekonomi dan bisnis, serta filsafat. Kesan
saya dari dua pertemuan itu, yaitu, SBY meman membaca buku, bukan
sekedar mengoleksinya. Minat bacanya berspektrum luas. Ia juga senang
mendiskusikan yang sudah dibacanya.

Di atas meja kerja SBY terbuka-telungkup (mungkin sedang dibaca) buku Ernest 
Gellner, Menolak Posmodernisme (terj. Postmodernism, Reason and Religion) . 
Dalam pertemuan ke-2 ini saya juga seperti mendapat durian runtuh. SBY 
memperlihatkan tulisan tangannya di bagian dalam cover ( belakang diary Kodam 
Jaya)nya.

Seingat saya, judulnya: Catatan untuk
Kepemimpinan Nasional Saat Ini. Terdiri dari 5 catatan yang ditulis
dengan bahasa terjaga.  Di perjalanan pulang, saya segera catat kelima
butir itu mumpung masih segar dalam ingatan. Mencatat seperti ini jadi
kebiasaan saya sejak lama, hingga sekarang. Tapi, saya tak punya waktu
untuk bongkar-bongkar timbunan catatan-catatan itu sekarang. Kurang
lebih, kelima hal tersebut adalah:

1. Berhasil memimpin dalam rentang
waktu panjang tanpa mengagendakan regenerasi secara layak.2. Berhasil
menjadi pemimpin yang kuat namun kurang senang mendengar kritik.
3. Tegas mengendalikan pemerintahan namun cenderung membiarkan pelanggaran 
dilakukan oleh orang-orang terdekatnya.
4. Berhasil membangun dengan tumpuan stabilitas politik tapi kurang memberi 
ruang bagi dinamika politik.
5. Sangat kuat berhadapan dengan oposisi tapi sangat lemah menghadapi 
keluarganya.

Dalam pertemuan pertama saya dibuat terkesan oleh minat kuat SBY terhadap 
diskusi. Yang mengesankan dari pertemuan kedua adalah keluasan spektrum 
bacaannya dan kelima catatan itu! Catatan SBY
ini mengejutkan. Karena tak punya pergaulan dengan tentara, saya tak
pernah bayangkan ada perwira AD mengkritik Presiden . Jangan lupa! Itu
1994, ketika kekuasaan Soeharto sedang ‘lucu-lucunya’-nya dan tak ada
seorangpun pengamat secara meyakinkan meramalkan kejatuhannya.

 Selanjutnya, saya akan bercerita
tentang SBY di Awal Reformasi, Pilpres 2004, SBY sebagai Presiden,
Kekuatan-kekuatan SBY, Klemahan-kelemahan SBY, dan Saran-saran Saya
untuk SBY
http://hminews.com/news/eep-s-fatah-cerita-kaca-buram-istana/


      

Kirim email ke