Bismillahirrahmanirrahim
  Petruk Dadi Ratu
  Oleh : Fauzi Nugroho
   
  Ketika berusia delapan tahun untuk pertama kali saya diperkenalkan dengan 
nama-nama tokoh pewayangan oleh orang tua dari ayah-ibu saya. Selama dua tahun 
saya tinggal bersama mereka di lingkungan pedesaan yang syarat dengan kultur 
Jawa. Orang tua mengharapkan agar selain mendapat sekolah umum, saya juga bisa 
memperoleh ilmu agama dari Eyang Kakung yang memang mempunyai santri cukup 
banyak. Nilai-nilai agama, akhlak dan anggah-ungguh (tata krama) saya dapatkan 
dari lingkungan tempat saya tinggal. Seperti keharusan shalat berjamaah ketika 
adzan shalat telah memanggil, menghormati orang yang lebih tua, tidak boleh 
mengambil sesuatu yang bukan miliknya, dan sebagainya. Perilaku kesatria 
keluarga Pandawa, seperti Bima, Yudhistira pun kerap didongengkan oleh Eyang 
Putri ketika ke tempat peraduan sambil memijat tubuh kecil saya. Nama tokoh 
lain seperti Arjuna, Kresna, bahkan para punakawan seperti, Semar, Gareng, 
Bagong, dan Petruk menjadi akrab dengan telinga saya. Pertunjukkan
 Wayang Kulit sesekali pernah dipertontonkan kepada warga desa, manakala ada 
keluarga yang mengadakan hajatan pernikahan atau khitanan. Nama tokoh Semar 
kerap menjadi teladan bagi penonton karena kearifan dan kebijaksanaannya, 
sedangkan tokoh seperti Petruk selain sering ngebayol juga merupakan merek 
rokok favorit yang biasa dihisap oleh warga desa disamping merek Sintren. 
Namun, anak-anak zaman sekarang sangat jarang disuguhi tontonan seperti itu, 
mereka lebih mengenal Superman, Batman, Spiderman, atau Power Rangers. Pun bagi 
orang dewasa, nama-nama tokoh pewayangan seperti di atas mungkin terasa asing 
di telinga. Pada masa lampau, wayang sering dijadikan media syiar Islam 
mengingat tanah Jawa penduduknya mayoritas memeluk agama Hindu sebelum masuknya 
Islam melalui Wali Songo. Sehingga tidak heran bila di Jawa Tengah & Timur bisa 
dijumpai Wayang Orang dan Wayang Kulit, ataupun di Jawa Barat dikenal dengan 
Wayang Golek.
   
  Banyak versi tentang kisah rakyat tersebut, Petruk misalnya ada yang 
menyebutnya seorang pengeran, putra begawan sakti dengan nama asli Bambang 
Pecrukpanyukilan, yang gemar guyon dan berkelahi. Pada saat menuju ke tempat 
Pertapaan dirinya bertemu dengan Bambang Sukakadi (Gareng), kemudian keduanya 
berkelahi menguji kesaktian. Tubuh keduanya menjadi rusak dan perkelahian itu 
akhirnya dilerai dan dihentikan oleh Semar beserta anaknya Bagong. Kemudian 
keduanya diangkat menjadi anak Semar, sedangkan Semar konon merupakan orang 
suci (dewa). Namun cerita itu berkembang dengan berbagai versi, tokoh Petruk, 
Gareng, dan Bagong dikenal sebagai punakawan, abdi atau pelayan. Versi ini 
lebih banyak dikenal daripada sebelumnya, sehingga nama tokoh Petruk menjadi 
identik dengan pelayan, batur atau abdi dalem. Lalu bagaimana jika seorang abdi 
dalem menjadi petinggi kerajaan?. E-mail dari saudara kita, Bu Dyah Nastiti 
beberapa waktu lalu itulah yang mendorong saya untuk menulis coretan
 ini. Kisah Petruk Jadi Raja merupakan contoh bagaimana seseorang berubah 
menjadi angkuh dan sombong bahkan cenderung menjadi lupa diri saat berada di 
pusat kekuasaan. Petruk mendapatkan keberuntungan menjadi seorang raja, 
gelimang harta benda dan kekuasaan menyebabkan ia lupa daratan dan mabuk 
kekuasaan sehingga bersikap sewenang-wenang dan merendahkan orang lain. Dia pun 
mempergunakan aji mumpung untuk kesenangannya. Karena seorang abdi, ia tidak 
bisa mengelola kekuasaannya dengan bijak dan tepat. Ia terlalu bergairah untuk 
duduk di singgasana dan semakin haus dengan kekuasaan, ia pun tidak punya 
gagasan cemerlang untuk mensejahterakan rakyatnya. Pepatah mengatakan Kere 
Munggah Bale, adalah sikap aji mumpung ketika si miskin tiba-tiba menjadi 
penguasa. 
   
  Cerita itu menjadi relevan dengan kondisi saat ini, ketika kita menengok 
kepada lingkungan sekitar. Arus reformasi telah membawa perubahan format 
politik, budaya, dan sosial-ekonomi. Jabatan Gubernur, Bupati, Walikota yang 
semula menjadi hak istimewa institusi, kelas dan orang-orang tertentu, kini 
terbuka bagi setiap orang. Asumsi politik mengatakan jika pemilihan pejabat 
dilakukan secara langsung seakan menjadi jaminan terciptanya demokrasi, padahal 
 inti demokrasi muaranya antara lain adalah kesejahteraan rakyat. Senyatanya, 
kondisi yang diharapkan belum terjadi dan memunculkan fenomena memprihatinkan 
dari oknum anggota legislatif di pusat atau daerah, yaitu menguatnya perilaku 
aji mumpung - karena masa jabatan hanya sebentar. Sehingga tidak mengherankan 
bila Transparency International Indonesia (TII) menempatakan lembaga legislatif 
sebagai institusi terkorup di negeri ini. Pun tidak sedikit para pejabat 
eksekutif pusat maupun daerah yang juga menggunakan ajian mumpung
 untuk memenuhi kesenangannya. Padahal jika kita menengok ke belakangan, bahwa 
orang-orang yang katanya sukses atau bergelimang harta adalah manusia yang pada 
awalnya tidak memiliki apa-apa, bahkan Oom Lim sekalipun, dahulunya juga orang 
susah, miskin dan hidup seadanya. Keadaan seperti itu tersurat dalam 
firman-Nya, "Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia 
memberikan kecukupan." (QS. Adh Dhuhaa, 93:8). Nenek moyang kita dahulu hanya 
hidup dari alam, berangsur-angsur keturunannya bisa memperoleh makanan yang 
lebih baik, mendirikan rumah yang layak, mengeyam pendidikan, dan pada akhirnya 
bisa membaca serta berilmu pengetahuan. Sebagian dari mereka menjalani profesi 
yang berbeda sesuai keahlian/pengetahuan yang dimiliki untuk penghidupannya. 
Semua itu adalah karena karunia-Nya, Dialah yang mencukupi keperluan kita,  
"(yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku, dan 
Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku," (QS. Asy
 Syu'araa, 26:78-79). Namun setelahnya, bukan syukur, tetapi malah kufur 
seperti lupanya seorang Petruk akan asalnya.
   
  Cukup banyak contoh orang-orang yang berada di posisi puncak, tetapi malah 
menunjukkan rasa syukurnya kepada Allah SWT. Mereka menyadari bahwa 
kepemimpinannya (kekhalifahannya) akan dimintai pertanggunganjawaban. Misalnya, 
Umar bin Khatab r.a yang lebih memilih menaiki keledai kecil dan dengan pakaian 
ala kadarnya. Mahatma Gandhi, inspirator  gerakan kemerdekaan di Asia pada era 
40-an, menyukai berpakaian hanya selembar kain gandum. Bung Hatta menjadi 
sangat dikenang selain karena intelektualitas juga karena kesederhanaan dan 
kejujurannya. Ataupun Presiden Republik Islam Iran, Mahmoud Ahmadinejad, anak 
seorang tukang pangkas rambut. Kantornya hanyalah sebuah bangunan kecil di 
kawasan padat di tengah Teheran, bahkan lebih kecil dari kantor Gubernur DKI 
Jakarta. Pakaian kesehariannya produk dalam negeri, dan hanya memakai jas tanpa 
dasi. Ia menolak tinggal di rumah dinas presiden, dan lebih memilih tinggal di 
apartemen sederhana di kawasan kelas menengah bawah di Nurmagi,
 Teheran Tenggara. Kesederhanaan sebagai manifestasi dari bentuk empati dan 
simpati itulah yang membuat mereka menjadi guru (digugu dan ditiru) bagi rakyat 
yang dipimpinnya daripada mereka memilih gaya borjuis saat menjadi Ratu. 
Tangan, pemikiran, dan kedudukannya telah memberi manfaat untuk kemaslahatan 
rakyat yang dipimpinnya. Semoga pesan ini dapat menggugah keterlenaaan kita 
sebagai makhluk Allah bahwa kemanfaatan sebagai khalifah di bumi-Nya adalah 
segalanya, hal itu jualah yang membedakan mana Petruk dan diri kita,  dan kita 
termasuk orang-orang yang senantiasa mau berbuat bagi kemasalahatan umat dan 
orang banyak. Mudah-mudahan Allah SWT meringankan langkah kita dan meridhoi 
setiap upaya kita semua. Amin (fn).

Kirim email ke