Panggilan dari Makkah
  sumber :eramuslim.com

  Oleh Sus Woyo

  Perempuan itu sudah lama berwajah duka. Umurnya saat ini sudah limapuluh 
tahun lebih. Kerut-kerut di wajahnya, dan kelopak matanya yang agak masuk ke 
dalam, menandakan bahwa ia sering tidak bisa tidur pada malam-malam harinya.
  “Ternyata, semakin tua, manusia itu tidak semakin enak ya… ada saja problem 
yang silih berganti. Dulu saya membayangkan, kalau umur kita semakin senja, 
maka kebahagiaan akan bisa segera dicapai. Karena anak-anak semakin besar dan 
mapan. Kenyataannya tidak seperti yang saya bayangkan…”

  Ia sering sekali mengeluh seperti itu saat saya berdekatan dengannya. 
Biografi hidupnya memang termasuk luar biasa bagi saya. Kematian sang suami 
saat ketiga anaknya masih duduk di bangku SD, sungguh-sungguh sangat memukul 
hatinya.

  Ia menjadi TKW di Arab Saudi, sampai anak-anaknya bisa sekolah semua di SMA. 
Dalam bayangannya, kalau semua anaknya sudah tamat sekolah, ia akan lebih 
gembira dan bahagia hidup di rumah dengan menyaksikan kesuksesan anak-anaknya.

  Ternyata apa yang ia impikan terlalu jauh dengan kenyatan hidup. Problem dan 
masalah keluarganya, baik dengan anaknya ataupun dengan saudara-saudara 
almarhum suaminya, seolah tak pernah berhenti menyerang dirinya.

  Hari-harinya makin kusut dan tak bergairah. Saya temasuk salah satu orang 
yang khawatir, ia menjadi depresi dan stress berkepanjangan. Setiap kali 
mencurahkan hatinya, saya hanya mampu memberikan nasehat sesuai dengan yang 
pernah di contohkan Nabi kepada kita.

  Di matanya, apa-apa yang saya katakan, mungkin sesuatu yang klasik. Sesuatu 
yang terlalu biasa dikatakan semua orang jika ada saudara, atau siapa saja 
sedang mengalami kegundahan hati.

  Tapi, saya seringkali memaksakan dia agar kembali kepada Allah. Memperbaiki 
sembahyang lima waktu, memperbanyak dzikir di malam hari, berpuasa untuk tidak 
terlalu banyak ngomong, apalagi membicarakan hal ihwal tetangga.

  “Itu resep mujarab, agar kita bisa tenang hati menjalani hari-hari tua, ” 
kata saya suatu saat. Ia mulai mau kembali getol beribadah. Ia mulai menjauh 
dari acara ‘ngrumpi’ dengan para perempuan tetangganya. Kata anaknya, ia juga 
sering lama-lama duduk bersimpuh sehabis shalat lima waktu.

  Saya ikut senang mendengar penuturan anak sulungnya. Karena ternyata ia bisa 
mulai menikmati hidup seadanya, tidak muluk-muluk. Saat kehidupannya mulai 
tenang, ada masalah datang lagi. Kini dengan saudara-saudara almarhum suaminya, 
yang menjadikan ia kembali gelisah.

  Ia bercerita panjang lebar, tentang kesedihannya. Ia tak nyenyak tidur. Air 
matanya selalu keluar. “Seandainya aku masih muda, dan masih bisa menjadi TKW 
lagi, lebih baik aku akan pergi lagi keluar negri. Mungkin aku lebih tenang 
bekerja di sana, ” kisahnya kepada saya.

  Saya tak bisa memberi nasehat apa-apa, kecuali kalimat-kalimat yang pernah 
saya katakan beberapa waktu lalu. Saya tak bisa memberi jalan keluar apapun 
terhadapnya, apalagi dengan sesuatu yang berupa materi.

  Beberapa hari kemudian, anak sulung perempuan itu menemui saya. Ia 
memberitahu, bahwa ibunya mau pergi ke Arab Saudi lagi. Saya sempat 
terperanjat. Mungkinkah orang setua itu masih bisa bekerja di sana? Adakah 
biaya untuk proses keberangkatan ke luar negeri? Mampukan ia menunggu proses di 
tempat penampungan yang sekarang makin sulit dan menjemukan?

  Saya membayangkan itu semua. Sampai pada ahirnya saya penasaran dan menemui 
sendiri perempuan itu. Ia dengan muka berseri-seri bercerita panjang lebar. 
“Ada seseorang mengajak saya untuk bekerja di Makkah. Saya tak dipungut biaya. 
Semua proses, dari pembuatan paspor, medikal dan tiket ke sana gratis. Saya 
tinggal pergi saja, ” katanya.

  Ia tak mampu menyembunyikan kegembiraannya.. Perubahan dalam hatinya mungkin 
sangat drastis. Kalau beberapa waktu yang lalu ia sering murung, sekarang ia 
benar-benar ada dalam keceriaan. “Saya akan banyak ibadah di sana. Saya akan 
manfaatkan ibadah umrah dan juga ibadah haji sebaik-baiknya. Tugas saya, 
sekarang adalah memperbanyak doa untuk kebaikan saya, dan anak cucu. ”

  Tak pernah terlintas dalam hati dia, bahwa ia akan bisa kembali ke Arab Saudi 
apalagi ke Makkah yang mulia. Tak pernah terlintas sedikitpun akan ada 
seseorang datang padanya dan menawarkan sesuatu yang segalanya mudah pada 
dirinya. Tak pernah terlintas sedikitpun pada saat air mata berderai karena 
banyaknya permasalahan, akan datang malaikat penolong dengan wajah yang sangat 
bersahabat. Tak pernah terlintas dalam dirinya, anaknya, dan tentu juga 
tetangga-tetangganya, bahwa pada saat ekonomi sulit seperti ini dan terlalu 
banyaknya orang yang ingin bekerja di luar negri, akan datang suatu panggilan 
dari Makkah yang tanpa dipungut biaya serupiahpun.

  Selamat berbahagia perempuan! Semoga engkau bisa menapaki hari tuamu di kota 
suci dengan naungan kemuliaan dari Sang Penguasa alam. Kebencian yang 
ditebarkan orang-orang yang tidak suka denganmu, semoga bisa berubah menjadi 
istigfarmu yang mampu meluruhkan dosa-dosamu. Sekali lagi, selamat mereguk 
kemulian Allah, hai…perempuan!
  ***

  Purwokerto, Maret 07 <[EMAIL PROTECTED] Co.id>


Kirim email ke