Membaca Ciptaan, Melupakan Pencipta * Kisah Fulan dan Fulanah
Alkisah, Fulan dan Fulanah adalah sepasang suami istri yang baru saja menikah. Namun tak lama kemudian, keduanya harus berpisah dan hidup berjauhan lantaran Fulan ditugaskan meneruskan studi S2-nya di luar negeri. Jarak yang memisahkan mereka memaksa keduanya untuk berhubungan lewat surat. Setiap kali menerima surat dari sang Istri, Fulan sangat bergembira. Dibukanyalah surat-surat sang istri dan dibacanya. Bahkan seringkali ia menimbang surat tersebut untuk mengetahui berat kertas surat, termasuk jenis bahan baku yang dipakai untuk membuat kertas tersebut. Lebih dari itu, Fulan yang sedang belajar di jurusan Kimia di salah satu universitas di luar negeri ini seringkali meneliti seluk-beluk tulisan istrinya. Tapi bukan isi surat tersebut. Melainkan meneliti apa bahan baku tinta pulpen yang digunakan istrinya menulis surat. Fulan berusaha mengambil sampel tinta yang sudah mengering pada surat tersebut dan meneliti komposisi senyawa kimia penyusunnya. Ia melakukannya dengan menggunakan berbagai peralatan dan metode ilmiah di laboratorium canggih tempat ia sehari-hari mengerjakan riset tesisnya Tidak puas hingga di sini, Fulan juga mengukur dimensi huruf tulisan tangan sang istri, mengambil ukuran rata-rata huruf yang dipakai dan membandingkan tipe huruf tulisan tangan tersebut dengan yang ada di komputernya. Ia bahkan memperkirakan besar tekanan yang diberikan tangan Fulanah pada pulpen ketika sedang menulis surat berdasarkan kedalaman goresan tinta pada kertas surat tersebut. Begitulah, Fulan selalu asyik menjadikan kertas dan tulisan surat-surat dari istrinya sebagai obyek pengamatan dan penelitiannya. Saking seringnya, ia kini sangat tahu komposisi senyawa kimia dari tinta pulpen yang dipakai istrinya untuk menulis surat. Ia paham betul ukuran rata-rata huruf yang dipakai pada surat-surat Fulanah, termasuk besar gaya tekan rata-rata pulpen pada kertas per satuan luas. Ia bahkan tahu jenis kayu yang dipakai sebagai bahan baku pembuatan kertas surat yang dipakai istrinya. Teman-teman Fulan bukannya tidak tahu tingkah lakunya yang aneh ini. Mereka bahkan sering bengong sendiri mendengar jawaban Fulan atas pertanyaan temannya seputar isi surat istrinya. Ketika ditanya bagaimana kabar istrinya di tanah air, Fulan seringkali dengan polos mengatakan lupa, tidak tahu atau bahkan tidak penting. Ia seolah tidak pernah ingat Fulanah ketika membaca suratnya, bahkan seringkali lupa. Tidak ada ekspresi kegembiraan, kesedihan ataupun perasaan lain yang menyentuh hati ketika membaca, bahkan ketika meneliti isi surat tersebut kata demi kata, huruf demi huruf. Tidak pernah muncul dalam pikirannya bahwa surat-surat yang dikirim istrinya merupakan bentuk kepedulian, perhatian dan kasih sayang sang istri kepadanya. Sehingga tidak heran jika ia jarang mengingat istrinya, bahkan tidak pernah membalas surat sang istri, sekalipun hanya untuk mengucapkan terima kasih. Yang lebih aneh lagi, apa yang seringkali diceritakan Fulan pada teman-temannya mengenai surat-surat tersebut justru mengenai senyawa kimia penyusun tinta pulpen istrinya, kesimpulannya tentang proses pembuatan kertas surat yang dipakai istrinya bahkan sampai bahan baku lem yang digunakan Fulanah untuk menempelkan perangko. Singkat kata, semua aspek ilmiah dan teknik dari bagian-bagian surat tersebut diceritakannya, bahkan dipresentasikannya dalam bentuk tulisan ilmiah! Mempelajari Alam, Melupakan Allah Setelah menyimak sekelumit kisah di atas, kita pasti akan berkesimpulan bahwa kejadian di atas mustahil, atau sangat mustahil, terjadi. Kalaupun ada, kita akan berkesimpulan bahwa Fulan atau orang yang berperilaku demikian mungkin telah kehilangan akal sehingga perilakunya tidak lagi normal. Akan tetapi, jika kita ambil kisah di atas sebagai analogi untuk konteks peristiwa lain dalam kehidupan ini, hal ini mungkin, bahkan seringkali terjadi. Marilah kita renungkan bersama. Taruhlah surat-surat di atas kita umpamakan sebagai lembaran-lembaran yang berisi gambaran tentang fenomena alam, yakni alam semesta beserta seluk-beluk isinya yang merupakan ciptaaan Allah. Kini tanyakan pada diri kita masing-masing. Sejak kapan kita menyaksikan alam nan indah ini, dan betapa sering kita melihat, mengamati, mempelajari bahkan meneliti alam ini? Jawaban yang umum kita berikan adalah kita menyaksikan alam ini secara sadar sejak kecil, yakni sejak kita mulai menyadari eksistensi kita di dunia ini. Sejak masa ini, kita sering, bahkan tiap hari, melihat dan memandangi isi alam ini, dari hewan dan tumbuhannya yang beraneka ragam hingga sungai, lautan dan langitnya yang luas. Kitapun mempelajari bahkan meneliti alam ini sejak di bangku SD, SMP dan seterusnya hingga perguruan tinggi melalui berbagai cabang ilmu pengetahuan maupun mata pelajaran yang kita ambil. Kita baca buku-buku pelajaran tentang tumbuhan, bagian-bagiannya serta fungsi masing-masing organ tumbuhan tersebut. Kita dengarkan guru atau dosen menjelaskan tentang kehidupan serangga, struktur tubuh, sistem reproduksi, sirkulasi dan pencernaan makanannya. Kita teliti sebongkah batu yang baru saja kita ambil di sebuah tempat penambangan. Kita timbang beratnya, kita ukur diameternya dan kita analisa komposisi senyawa kimia yang ada pada batu tersebut. Kita laporkan hasil penelitian ilmiah tersebut dalam bentuk artikel ilmiah yang kita terbitkan jurnal ilmiah dan kita presentasikan di forum ilmiah. Begitulah, sebagaimana kisah Fulan di atas, dengan segala apa yang kita perbuat terhadap alam semesta, kita akhirnya sangat tahu tentang alam ini, khususnya mengenai bidang ilmu pengetahuan yang kita tekuni di sekolah maupun perguruan tinggi. Sebagaimana si Fulan yang sering menjelaskan kepada teman-temannya berbagai aspek ilmiah hasil penelitiannya tentang seluk-beluk kertas surat dan tinta pulpen istrinya, kita pun seringkali bangga menceritakan hasil penelitian kita. Kita sering melakukan presentasi ilmiah di hadapan para staf pengajar, rekan-rekan kita sesama pelajar atau mahasiswa tentang tentang studi kimia, fisika, biologi, matematika dan sebagainya, yang kesemuanya ini adalah hasil kreasi Pencipta. Akan tetapi, seperti halnya Fulan yang tidak mempedulikan isterinya yang telah dengan penuh perhatian menulis surat-surat untuknya, ternyata kita pun sama saja. Kita tidak begitu menaruh perhatian kepada Allah, sang Pencipta alam yang senantiasa kita saksikan setiap hari. Kita seringkali melupakan Allah, Penguasa alam semesta dan seisinya yang senantiasa kita pelajari melalui berbagai bidang studi di institusi pendidikan. Tidak pernah rasanya muncul dalam diri kita rasa kekaguman dan ketakjuban kepada Allah, sang Pencipta makhluk yang tengah kita teliti. Dan yang lebih mengenaskan lagi, sebagaimana Fulan yang tidak pernah berterimakasih pada isterinya, kita hampir atau bahkan tidak pernah pula bersyukur kepada Allah, Rabb yang dengan kasih sayang-Nya telah menciptakan alam yang menakjubkan ini. Yakni `lembaran-lembaran surat yang berisi ayat-ayat-Nya' dengan berbagai keindahan, kerapian dan keteraturan yang mempesonakan kita, yang pengetahuan atas seluk-beluk dan hukum-hukumnya menjadikan kita dijuluki `ilmuwan'. Kisah Fulan di atas cukup mendorong kita untuk berkesimpulan bahwa Fulan bukanlah termasuk orang yang berkepribadian normal sebagaimana kebanyakan rekannya. Lalu bagaimana dengan analogi Fulan yang kita buat untuk diri kita sendiri ketika `membaca surat Allah di alam semesta' ini, baik sebagai fenomena alam yang kita saksikan sehari-hari maupun sebagai bidang studi khusus di lembaga pendidikan formal? Kita harus katakan sejujurnya bahwa dalam konteks ini, ternyata kita mirip Fulan. Kita telah menyimpang dari fitrah yang seharusnya, kalaulah kita tidak mau dijuluki tidak normal. Mungkin kita tidak setuju dengan kesimpulan ini lantaran hal ini terjadi hampir pada seluruh lapisan masyarakat. Akan tetapi perlu diingat bahwa predikat "sesuai dengan fitrah" atau "menyimpang darinya" tidaklah didasarkan pada kondisi kebanyakan orang. Kondisi masyarakat nabi Ibrahim yang menyembah berhala tidak bisa dikatakan normal atau sesuai fitrah kendatipun inilah yang dilakukan mayoritas waktu itu. Sebaliknya, keimanan satu orang yang bernama nabi Ibrahim kepada Rabb yang sesungguhnya, dan keingkarannya atas berhala yang disembah mayoritas kaumnya tidak bisa dijadikan dalil untuk mengatakan bahwa Ibrahim telah sesat karena tidak sejalan dengan tradisi yang dilakukan kebanyakan orang waktu itu. Akan tetapi, Ibrahimlah yang benar karena sejalan dengan fitrahnya. Dengan `membaca' fenomena alam sederhana berupa terbit dan tenggelamnya bintang, bulan dan matahari ia mampu melihat isyarat keberadaan Allah sang Pencipta. Surat yang berisi `ayat-ayat ciptaan Allah' ini mampu menjadikannya mengenal Allah sang Pencipta dan Penguasa alam ini. Inilah fitrah manusia yang benar, sebaliknya yang keliru adalah kaum Ibrahim yang tidak mampu melihat isyarat kekuasaan Allah di alam semesta. Dengan demikian, sejujurnya harus kita akui bahwa jika ini yang terjadi dalam diri kita, ini berharti kita telah menyimpang dari fitrah yang lurus, sebagaimana kisah Fulan di atas. Mencari Akar Permasalahan Tentunya kondisi ini bukanlah tanpa sebab. Kalau begitu, apa penyebabnya? Marilah kita kaji bersama. Kalau hal ini menimpa sebagian kecil kita, maka kemungkinan penyebabnya berasal dari dalam diri orang itu sendiri. Akan tetapi kalau hal ini terjadi pada hampir semua orang, sebagaimana fakta yang ada sekarang, maka ini bukanlah semata kesalahan individu. Tetapi ada sistem tertentu yang mampu menjadikan kondisi ini terjadi secara masal. Dan inilah yang terjadi. Sistem pendidikan sains yang merupakan sistem pengajaran ilmu tentang alam semesta dan seisinya ciptaan Allah inilah yang bertanggung jawab atas munculnya orang-orang yang berkepribadian seperti Fulan. Yakni orang-orang, termasuk mereka yang mengaku beriman sekalipun, yang membaca, mempelajari dan meneliti ciptaan Allah, akan tetapi pada saat yang sama hatinya tertutup sehingga mudah melupakan dan berpaling dari tanda-tanda kekuasaan Allah pada ciptaan tersebut: "Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, sedang mereka berpaling darinya." (QS. Yuusuf, 12:105) Kita merasakan bahwa kondisi kita yang mudah melalaikan Allah ketika mempelajari alam ini seolah terbentuk dalam diri kita tanpa sadar. Kita tentunya tidak sengaja, bahkan tidak menghendaki kondisi ini ada pada diri kita. Kita ingin sekali mudah menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah dan berdzikir kepada-Nya ketika memikirkan dan mempelajari alam semesta. Dan kita ingin agar kedalaman ilmu kita tentang alam semesta semakin memperdalam ketakwaan kita kepada Allah. Tetapi di luar kesadaran dan kehendak kita, justru yang sebaliknyalah yang terjadi. Ini berarti seolah telah terjadi proses pencucian otak (brainwashing) atau pengkondisian tanpa sadar yang telah merasuki diri kita. Ini terjadi secara sistematis dan bertahun-tahun melalui sistem pengajaran sains yang ada sehingga mungkin baru hari ini kita sadar bahwa ada yang salah dalam diri kita. Yah, diri kita ternyata telah menyimpang dari fitrah, kepribadian lurus yang telah Allah tanamkan dalam diri manusia. Yakni kepekaan dalam mengenal dan berhubungan dengan Allah ketika berinteraksi dengan ayat-ayat-Nya di alam semesta. Sebenarnya, kita bisa merasakan keadaan yang memprihatinkan ini dalam bentuk kehampaan spiritual dalam dunia ilmiah yang pernah atau sedang kita geluti. Inilah dunia ilmiah yang kita adopsi dari peradaban yang didominasi oleh materialisme. Peradaban yang mengutamakan materi di atas segalanya dalam berbagai aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, budaya dan sebagainya termasuk pendidikan sains. Sungguh menarik untuk menyimak komentar seorang ilmuwan Barat, Dr. Elisabeth Sahtouris, tentang sains yang ada saat ini: "Baru-baru ini, secara tak sengaja saya menemukan catatan yang pernah saya tulis beberapa tahun setelah saya menyelesaikan program doktor saya: "Kadang aku berpikir bahwa aku diberi gelar Ph.D. karena telah berhasil mengingkari nilai-nilai kemanusian dalam diriku—yakni berperilaku sebagaimana mesin, membedah dan meneliti alam tanpa perasaan ataupun emosi. Makna, ruh, bahkan perasaan dan akal bukanlah bagian dari cara pandang ilmiah Barat atau, bagian dari ruang lingkup cara pandang itu, yakni biologi dan psikologi eksperimental." (Harman, WW & Sahtouris, E: Biology Revisioned, North Atlantic Books, Berkeley, California, 1998, hal. 36.) Membenahi Pendidikan Sains Memprihatinkan memang. Alam semesta yang seharusnya menjadi pintu gerbang pengenalan kepada Allah (ma'rifatullah), malah menjadikan orang yang mempelajarinya lalai bahkan berpaling dari Pencipta. Begitulah, pendidikan sains yang ada hanya menjadi sarana yang memunculkan sosok-sosok yang berkepribadian seperti Fulan. Oleh karenanya, kita yang telah sadar akan kondisi ini sudah sepatutnya merasa bertanggung jawab untuk membenahinya agar para ilmuwan yang nantinya lahir adalah mereka yang memiliki fitrah bersih. Yakni para saintis yang kedalaman ilmunya tentang alam semesta semakin menjadikannya memahami kebesaran Allah dan bertakwa kepadanya, sebagaimana kisah Ibrahim yang mendapatkan petunjuk dari Allah setelah melakukan eksplorasi `ilmiah' atas fenomena bintang, bulan dan matahari. Wallaahu a'lam Referensi: Harman, WW & Sahtouris, E: Biology Revisioned, North Atlantic Books, Berkeley, California, 1998, hal. 36.