Mursyid Kamil Mukammil

 Mursyid kamil mukammil adalah seorang mursyid yang sudah sempurna dalam 
wushulnya kepada Allah dan dapat menyempurnakan muridnya untuk juga wushul 
kepada Allah. Mursyid kamil mukammil pastilah seorang waliyullah, tetapi 
sebaliknya, seorang waliyullah belum tentu seorang mursyid. Karena seoarang 
mursyid mempunyai otoritas mematrikan/menghunjamkan dzikir ke dalam qolbu 
seorang murid untuk mensucikan qolbunya dan sebagai biji iman yang siap 
dicangkul, dipupuk, dirawat, disirami sampai tumbuh dan berkembang yang 
akhirnya akan berbuah manisnya iman.


 Dengan biji iman yang ditanamkan ke dalam qolbu yang telah disucikan oleh 
mursyid kamil mukammil dan diiringi dengan ketekunan, keistiqomahan seorang 
murid dalam menjalankan petunjuk mursyid, insya Allah akan terjadi perubahan 
secara simultan dalam diri seorang murid menuju kemerdekaan yang hakiki yaitu 
bebas dari segala belenggu penghambaan/perbudakan kepada dan terhadap apapun 
kecuali hanya kepada ALLAH.


 Mursyid akan senantiasa mendoakan, membimbing, mengingatkan, mengarahkan, 
menata perjalan murid menuju Allah yang sungguh sangat banyak tipu dayanya.






 Wali Mursyid Itu Perlu


 Seorang saudaraku bertanya:


 APAKAH ADA PERADABAN YG LEBIH BAIK DARI ISLAM? TIDAK!!


 Hmm..kadang aku berpikir, apa kunci Rasulullah hingga mampu membangun satu 
peradaban baru hanya dalam waktu 23 tahun...?


 Barangkali kuncinya seperti tergambar dalam surat al-Jum'ah / 67:2. Beliau 
menjalankan tiga tugas utama:


  1. Tilawah, membacakan ayat-ayat Allah. Memperkenalkan kepada orang-orang 
tentang adanya petunjuk 'langit', dan meyakinkan mereka tentang kebanaran 
ayat-ayat 'langit' itu.
  2. Tazkiyah, mensucikan jiwa pengikutnya. Tanpa kesucian jiwa maka makna 
ayat-ayat yang dibacakan tak akan terpahami dengan baik, tak juga ayat-ayat itu 
terasakan sebagai penggerak yang memotivasi orang untuk mengamalkannya.
  3. Taklim, mengajarkan ketentuan-ketentuan Allah (hukum, kitab) juga tujuan 
dan manfaat dari ketentuan-ketentuan tersebut (hikmah).


 Sekarang ini fungsi tilawah telah banyak tergantikan oleh berbagai media. 
Kalau dulu hanya dibacakan oleh orang, sekarang ayat-ayat telah dibukukan, 
dikasetkan, di-CD/ VCD-kan, didigitalkan. Orang dapat mengaksesnya secara 
langsung. Untuk membacanya pun sudah banyak tersedia kursus-kursus yang dapat 
melatihkannya dengan berbagai metode yang sangat cepat.


 Fungsi taklim masih berjalan terus, bahkan makin banyak ustadz yang memimpin 
majlis-majlis taklim, baik langsung maupun menggunakan fasilitas distance 
learning melalui radio/tv dan internet.


 Yang jadi masalah adalah fungsi tazkiyah. Rasulullah s.a.w. mentazkiyah jiwa 
para sahabat sebelum mentaklim mereka. Jiwa para sahabat sudah tersucikan lebih 
dulu sebelum mendapatkan taklim. Tapi siapa yang mentazkiyah diri kita saat 
ini? Untuk tilawah kita dapat menggunakan berbagai multi media ayat yang banyak 
tersebar dengan harga murah. Untuk taklim kita dapat mendatangi majlis taklim, 
halaqah, liqa', dan mabit; menjumpai para ustadz dan murabbi. Tapi semua itu 
kita lakukan dengan qalbu yang kotor karena tidak mengalami tazkiyah lebih dulu.


 Adakah para ustadz/kyai itu dapat mentazkiyah jiwa kita. Apakah para murabbi 
kita juga sudah tersucikan jiwanya sehingga mampu mentazkiyah kita? Kadang kita 
katakan, tak perlu tazkiyah secara formal, lakukan saja ibadah-ibadah yang ada 
dengan ikhlas dan tekun, nanti jiwa akan tertazkiyah sendiri. Betulkah? 
Bagaimana kita dapat ikhlas kalau belum tazkiyah. Bagaimana akan termotivasi 
dan tekun beribadah kalau masih banyak kototan jiwa? Jadi berputar-putar dong, 
untuk tazkiyah perlu ibadah, tapi untuk ikhlas dan tekun ibadah diperlukan 
tazkiyah lebih dulu...


 Kita katakan tak perlu ada tazkiyah secara formal, juga tak perlu ada orang 
yang mentazkiyah kita, karena kita memang belum mengetahui pentingnya dua hal 
itu. Rasulullah s.a.w. mendapatkan tilawah, tazkiyah, dan taklim dari malaikat 
Jibril. Para sahabat mendapatkannya dari Rasul s.a.w. Para tabi'in dari para 
sahabat... begitu seterusnya. Tapi lagi-lagi, siapa yang mentazkiyah kita saat 
ini? Kadang kita terlalu arogan dengan mengatakan tak perlu tazkiyah dan orang 
yang mentazkiyah, karena hubungan kita dengan Allh SWT bersifat langsung dan 
individual, tak memerlukan perantara. Tapi betulkah kita, dengan segala 
kekotoran kita dapat terhubung langsung dengan Allah? Bukankah Rasulullah 
s.a.w. sebelum mikraj pun ditazkiyah dulu qalbunya oleh Jibril?


 Masukilah rumah lewat pintunya. Pelajarilah agama melalui sumbernya. Seraplah 
cahaya ilahiah melalui salurannya. Mursyid itu perlu... Kita gak kan pandai 
tanpa guru (bukankah dikatakan, siapa yang belajar tanpa guru maka gurunya 
adalah setan...).
 Jiwa tak kan terbersihkan tanpa ada yang men-tazkiyah-nya.


 Tentu jangan sembarang orang kita jadikan mursyid. Bagaimana ia akan 
men-tazkiyah diri kita kalau dia pun belum tersucikan jiwanya. Carilah mursyid 
yang berkualifikasi wali. Bukan wali murid, atau wali nikah, tapi wali Allah... 
Tapi bagaimana kita mengetahui seseorang itu wali Allah, jangan-jangan kita 
malah terjebak oleh pengkultusan yang menyesatkan?






 Eksistensi Seorang Mursyid


 Dikutip dari www.sufinews.com oleh K.H. Wahid Zuhdi (pengasuh Ponpes 
al-Ma’ruf, Bandungsari, Ngaringan, Grobogan, Jateng; juga sebagai wakil 
Syuriyah NU wilayah Jateng dan sebagai anggota lajnah tashhih NU Pusat dan di 
persatuan thariqat se-Indonesia)


 Dalam setiap aktivitas rintangan itu akan selalu ada. Hal ini dikarenakan 
Tuhan menciptakan syetan tidak lain hanya untuk menggoda dan menghalangi setiap 
aktivitas manusia. Tidak hanya terhadap aktivitas yang mengarah kepada 
kebaikan, bahkan terhadap aktivitas yang sudah jelas mengarah menuju kejahatan 
pun, syetan masih juga ingin lebih menyesatkan.


 Pada dasarnya kita diciptakan oleh Tuhan hanya untuk beribadah dan mencari 
ridla dari-Nya. Karena itu kita harus berusaha untuk berjalan sesuai dengan 
kehendak atau syari’at yang telah ditentukan. Hanya saja keberadaan syetan yang 
selalu memusuhi kita, membuat pengertian dan pelaksanaan kita terkadang tidak 
sesuai dengan kebenaran.


 Dengan demikian, kebutuhan kita untuk mencari seorang pembimbing merupakan hal 
yang essensial. Karena dengan bimbingan orang tersebut, kita harapkan akan bisa 
menetralisir setiap perbuatan yang mengarah kepada kesesatan sehingga bisa 
mengantar kita pada tujuan.


 Thariqah
 Thariqah adalah jalan. Maksudnya, salah satu jalan menuju ridla Allah atau 
salah satu jalan menuju wushul (sampai pada Tuhan). Dalam istilah lain orang 
sering juga menyebutnya dengan ilmu haqiqat. Jadi, thariqah merupakan sebuah 
aliran ajaran dalam pendekatan terhadap Tuhan. Rutinitas yang ditekankan dalam 
ajaran ini adalah memperbanyak dzikir terhadap Allah.


 Dalam thariqat, kebanyakan orang yang terjun ke sana adalah orang-orang yang 
bisa dibilang sudah mencapai usia tua. Itu dikarenakan tuntutan atau pelajaran 
yang disampaikan adalah pengetahuan pokok atau inti yang berkaitan langsung 
dengan Tuhan dan aktifitas hati yang tidak banyak membutuhkan pengembangan 
analisa. Hal ini sesuai dengan keadaan seorang yang sudah berusia tua yang 
biasanya kurang ada respon dalam pengembangan analisa. Meskipun demikian, tidak 
berarti thariqah hanya boleh dijalankan oleh orang-orang tua saja.


 Lewat thariqah ini orang berharap bisa selalu mendapat ridla dari Allah, atau 
bahkan bisa sampai derajat wushul. Meskipun sebenarnya thariqah bukanlah jalan 
satu-satunya.


 Wushul
 Wushul adalah derajat tertinggi atau tujuan utama dalam ber-thariqah. Untuk 
mencapai derajat wushul (sampai pada Tuhan), orang bisa mencoba lewat 
bermacam-macam jalan. Jadi, orang bisa sampai ke derajat tersebut tidak hanya 
lewat satu jalan. Hanya saja kebanyakan orang menganggap thariqah adalah 
satu-satunya jalan atau bahkan jalan pintas menuju wushul.


 Seperti halnya thariqah, ibadah lain juga bisa mengantar sampai ke derajat 
wushul. Ada dua ibadah yang syetan sangat sungguh-sungguh dalam usaha 
menggagalkan atau menggoda, yaitu shalat dan dzikir. Hal ini dikarenakan shalat 
dan dzikir merupakan dua ibadah yang besar kemungkinannya bisa diharapkan akan 
membawa keselamatan atau bahkan mencapai derajat wushul. Sehingga didalam 
shalat dan dzikir orang akan merasakan kesulitan untuk dapat selalu mengingat 
Tuhan.


 Dalam sebuah cerita, Imam Hanafi didatangi seorang yang sedang kehilangan 
barang. Oleh Imam Hanafi orang tersebut disuruh shalat sepanjang malam sehingga 
akan menemukan barangnya. Namun ketika baru setengah malam menjalankan shalat, 
syetan mengingatkan/mengembalikan barangnya yang hilang sambil membisikkan agar 
tidak melanjutkan shalatnya. Namun oleh Imam Hanafi orang tersebut tetap 
disuruh untuk melanjutkan shalatnya.


 Seperti halnya shalat, dzikir adalah salah satu ibadah yang untuk mencapai 
hasil maksimal harus melewati jalur yang penuh godaan syetan. Dzikir dalam ilmu 
haqiqat atau thariqat, adalah mengingat atau menghadirkan Tuhan dalam hati. 
Sementara Tuhan adalah dzat yang tidak bisa diindera dan juga tiak ada yang 
menyerupai. Sehingga tidak boleh bagi kita untuk membayangkan keberadaan Tuhan 
dengan disamakan sesuatu. Maka dalam hal ini besar kemungkinan kita terpengaruh 
dan tergoda oleh syetan, mengingat kita adalah orang yang awam dalam bidang ini 
(ilmu haqiqat) dan masih jauh dari standar.


 Karena itu, untuk selalu bisa berjalan sesuai ajaran agama, menjaga kebenaran 
maupun terhindar dari kesalahan pengertian, kita harus mempunyai seorang guru. 
Karena tanpa seorang guru, syetanlah yang akan membimbing kita. Yang paling 
dikhawatirkan adalah kesalahan yang berdampak pada aqidah.


 Mursyid
 Mursyid adalah seorang guru pembimbing dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat. 
Mengingat pembahasan dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat adalah tentang Tuhan 
yang merupakan dzat yang tidak bisa diindera, dan rutinitas thariqah adalah 
dzikir yang sangat dibenci syetan. Maka untuk menjaga kebenaran, kita perlu 
bimbingan seorang mursyid untuk mengarahkannya. Sebab penerapan Asma’ Allah 
atau pelaksanaan dzikir yang tidak sesuai bisa membahayakan secara ruhani 
maupun mental, baik terhadap pribadi yang bersangkutan maupun terhadap 
masyarakat sekitar. Bahkan bisa dikhawatirkan salah dalam beraqidah.


 Seorang mursyid inilah yang akan membimbing kita untuk mengarahkannya pada 
bentuk pelaksanaan yang benar. Hanya saja bentuk ajaran dari masing-masing 
mursyid yang disampaikan pada kita berbeda-beda, tergantung aliran 
thariqah-nya. Namun pada dasarnya pelajaran dan tujuan yang diajarkannya adalah 
sama, yaitu al-wushul ila-Allah.


 Melihat begitu pentingnya peranan mursyid, maka tidak diragukan lagi tinggi 
derajat maupun kemampuan dan pengetahuan yang telah dicapai oleh mursyid 
tersebut. Karena ketika seorang mursyid memberi jalan keluar kepada muridnya 
dalam menghadapi kemungkinan godaan syetan, berarti beliau telah lolos dari 
perangkap syetan. Dan ketika beliau membina muridnya untuk mencapai derajat 
wushul, berarti beliau telah mencapai derajat tersebut. Paling tidak, seorang 
mursyid adalah orang yang tidak diragukan lagi kemampuan maupuan pengetahuannya.






 Urgensi Mursyid Dalam Tarekat


 Dikutip dari www.sufinews.com oleh K.H. Luqman Hakim, M.A. (Sufiolog, pemimpin 
redaksi majalah CAHAYA SUFI :


 Allah Swt. berfirman:


 “Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah 
hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).


 Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) 
merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. 
Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh 
sebagaian mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka 
merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan 
cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini 
mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman 
terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia 
tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.


 Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi dalam praktek 
sufisme, bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. 
Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh 
para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan 
Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu 
Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul 
Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus 
menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah 
tetap membutuhkan seorang Mursyid.


 Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan 
kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas 
bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa 
pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang 
diserap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan 
ma’rifat itu sendiri.


 Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan 
mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin 
belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah 
sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa 
dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam 
metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani 
seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif 
(bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan 
dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan 
sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa 
menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.


 Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing 
ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi 
lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal 
Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.


 Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti 
memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan 
bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, 
seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan 
seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan 
adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai 
keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan 
bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.


 Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah 
saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya 
bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau 
standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau 
pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah 
penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya 
bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.


 Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, 
dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki 
standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat 
ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan 
ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak 
mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah 
jalan persimpangan.


 Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para 
kekasih Allah yang senanatiasa total dalam taat ubudiyahnya, dan tidak 
berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan:


 “Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah 
susah.”


 Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang 
terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau 
susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai 
dengan tahap atau maqam dimana mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. 
Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi 
munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.


 Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, 
ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan 
asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – 
minimal –ada lima:


 1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
 2. Memiliki pengetahuan yang benar.
 3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
 4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
 5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.


 Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan 
berikut:


 1. Bodoh terhadap ajaran agama.
 2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
 3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
 4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
 5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.


 Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai 
tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu 
dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:


 1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
 2. Mempermainkan taat kepada Allah.
 3. Tamak terhadap sesama makhuk.
 4. Kontra terhadap Ahlullah
 5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.


 Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu 
kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu 
pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada 
Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”


 Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah 
berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada 
Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.


 Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang 
tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.


 Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui 
kadar batin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para 
muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, 
sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau 
tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti 
demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.


 Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka 
secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:


 1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
 2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
 3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang 
dan pergi.
 4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
 5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.


 Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.
 Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang 
baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan 
tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan 
pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan 
pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika 
mendapatkan bencana.


 Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
 1) Himmah yang tinggi,
 2) Menjaga kehormatan,
 3) Bakti yang baik,
 4) Melaksanakan prinsip utama; dan
 5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.


 Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya 
memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga 
mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.


 Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada 
Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh 
Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum 
sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai 
kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir 
as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. 
Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak 
sehebat Khidir dalam soal batiniyah.


 Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara 
Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul 
Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan 
dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul 
Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.

 Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke