Dawuh Syekh Sholahuddin

 Saat itu hari Minggu Legi, tanggal 24 April 2005, bertepatan dengan tanggal 15 
Rabiul Awal 1426 H, Syekh Sholahuddin memberikan wejangan dalam bahasa. Dua hal 
utama yang aku ingat dalam wejangan Beliau adalah :


  1. Dzikir yang diajarkan agar dilakukan secara kontinyu sampai nanti yang 
diingat adalah Allah terus. Sehingga ketika menyadari adanya matahari, maka itu 
sesungguhnya dari Allah juga. Demikian juga dengan hal yang lain.


  2. Beliau mengatakan, “Ojo ngelokno wong liyo. Ngelem iku yo termasuk 
ngelokno”. Kalau pada poin pertama di atas, aku bisa mencernanya, tetapi untuk 
yang kedua ini aku perlu waktu agak lama untuk memahaminya. Tidak boleh 
mencela, tetapi memuji pun termasuk mencela. Wah bagaimana ya penjelasannya. 
Ternyata setelah aku renungkan, dengan pemahamanku yang sempit ini, kira-kira 
penjelasannya seperti ini :


  a. Tidak boleh mencela karena diri kita pun masih jauh dari sempurna, berarti 
mencela orang lain mengandung potensi kesombongan diri, merasa diri kita lebih 
baik dari yang kita cela. Padahal apa yang kita anggap baik pada diri kita dan 
apa yang kita anggap buruk pada diri orang lain pada hakikatnya Allah juga yang 
menggerakkan, berarti mencela suatu keburukan sama dengan mencela Allah juga. 
Nah !!!


  b. Kalau alhamdulillah berarti segala puji bagi Allah, segalanya kembali 
kepada Allah, berarti celaan juga kembali kepada Allah. Mencela Allah lagi !!!


  c. Lalu kenapa memuji juga berarti mencela ? Karena hakikinya di saat kita 
memuji seseorang atau sesuatu berarti saat itu juga ada yang kita rendahkan 
kita cela secara berkebalikan dari pujian yang kita lontarkan. Kembali ke poin 
a dan b lagi ternyata.


  d. Dzikir yang diajarkan bertalian kuat dalam upaya latihan menata hati agar 
hati bisa mandiri, bebas merdeka dari tarikan hawa nafsu sehingga harus dilatih 
juga untuk tidak mencela atau memuji. Contoh sederhana : sebagai seorang 
laki-laki, siapa sih yang tidak suka kalau melihat perempuan yang cantik ? Tapi 
sesungguhnya cantik atau tidak hanyalah mata yang menikmati, sehingga adanya 
perbedaan cantik dan tidak hanyalah ekspresi dari hawa nafsunya mata. Hati 
mestinya tidak memerlukan cantik atau tidak cantik. Hati harusnya memandang 
yang ada dibalik kecantikan atau ketidakcantikan itu, yaitu Allah.


 Kesimpulannya, menurutku Beliau sedang mengajarkan bagaiman hati harus 
bersikap, yaitu yang ada di hati harusnya hanya Allah. Sehingga apa pun yang 
kita lihat, apa pun yang kita rasakan harus haqqul yaqin dari Allah semua. Jadi 
hati tetap biasa, diam dan tenang. Hati yang ridho menerima apapun juga.



 Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke