Cinta Kepada Allah
 Cinta Kepala Rasulullah SAW
 (Secercah Kado Maulid Nabi SAW)


 Di sini tak ada penyesalan
 Yang ada hanyalah cinta
 Kepada Allah dan
 Kepada Rasulullah SAW
 Disamping mengetahui haknya
 Sebagai hamba
 Dan haknya
 Terhadap sesama.


 Kalimat hikmat tersebut tertulis dalam sebuah sudut tembok tua di Pesantren 
Pesulukan Thariqat Agung Tulung Agung. Para santri, para tamu dan mereka yang 
sedang melakukan suluk Thoriqoh senantiasa membaca kalimat ini. Kalimat yang 
sepintas aneh namun memiliki sentakan hati yang menusuk kegelapan dunia, 
sekaligus membangunkan kelelapan hamba. Kalimat sederhana, tetapi merupakan 
simpul dari seluruh perjalanan Mi'raj Kaum Sufi di seluruh dunia, pengetahuan 
sekaligus hikmah terdalam, dan akhir sebuah perjalanan. Mencintai Allah dan 
mencintai Rasul SAW-Nya, mengetahui haknya sebagai hamba dan haknya terhadap 
sesama hamba.


 Menemui Allah itu tidak akan pernah tergapai manakala sang hamba tidak pernah 
mencintai Rasul SAW-Nya. Mencintai Rasul SAW kelak secara otomatis mengikuti 
jejak-jejak sang Rasul SAW. Ketika seorang hamba menempuh perjalanan amal dan 
menggapai derajat luhur: bahwa semua itu merupakan penjejakan dalam Islam, 
suatu orientasi semata menuju kepada Allah SWT.


 Dalam suatu ayat Al-Qur'an dijelaskan:
 "Katakanlah, apabila orangtuamu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu 
dan keluargamu, dan harta-harta yang kamu berusaha meraih keuntungannya, serta 
perdagangan yang kamu takutkan akan kebangkrutannya dan tempat-tempat tinggal 
yang kamu senangi, ternyata lebih kamu cintai dibandingkan mencintai Allah dan 
Rasul SAW-Nya serta jihad di jalan-Nya, maka tunggulah, sampai Allah 
mendatangkan Keputusan-Nya. Dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada 
orang-orang yang fasik."(at-Taubah : 25)


 Cinta atau mahabbah ternyata menempati posisi luhur dalam kehidupan beragama. 
Banyak orang menyangka, apa yang dilakukan selama ini sudah menempati posisi 
cinta itu, padahal ia sekedar menjalankan suatu perintah belaka, tanpa 
penghayatan rasa cinta sampai ke dalam batin, rasa cinta yang menyentuh ruh dan 
lubuk kalbunya.
  Betapa dahsyatnya cinta kepada Allah dan Rasul SAW-Nya ini, sampai Allah 
memperingatkan dengan berbagai versi dalam ayat Al Qur'an maupun Hadits Rasul 
SAW dalam riwayat Al Bukhari dan Abdullah bin Hisyam dijelaskan.
 "Kami bersama Rasulullah SAW. Ketika itu Rasulullah SAW sedang memegang tangan 
Umar bin Al Khatab, lalu Umar berkata, "Wahai Rasulullah SAW engkau adalah 
orang yang paling kucintai dibanding segalanya selain diriku." Lalu Rasulullah 
SAW balik  menjawab, "Tak seorang pun beriman secara sempurna sampai aku lebih 
dicintai dibanding dirinya sendiri." Umar kembali menegaskan, "Engkau sekarang, 
lebih kucintai dibanding diriku sendiri." Lalu Rasulullah SAW bersabda, 
"Sekarang begitu wahai Umar."


  Dalam hadits lain yang dikeluarkan oleh Imam Muslim disebutkan," Nabi SAW 
bersabda, "Apabila Allah Azza wa Jalla mencintai seorang hamba, Dia berfirman 
kepada Jibril. "Wahai Jibril Aku mencintai seseorang, maka cintailah dia." 
Lantas Jibril mengumumkan kepada seluruh penghuni langit, "Sesungguhnya Allah 
Ta'ala benar-benar mencintai seorang hamba maka hendaknya kalian mencintainya." 
Lalu penghuni langitpun mencintai hamba itu, dan hamba itu pun diterima oleh 
manusia di muka bumi....dst.


 Dalam konsep Sufi, mahabbah atau cinta menempati posisi ruhani yang luhur dan 
mulia. Menurut Abul Qasim al-Qusyairy dalam kitabnya Ar Risalah al-Qusyairiyah, 
Allah menyaksikan sang hamba melalui cinta itu dan Allah mempermaklumkan 
cinta-Nya itu kepada hamba tersebut. Maka Allah SWT disifati sebagai sang 
Pecinta kepada hamba dan begitu pula si hamba disifati sebagai pencinta kepada 
Allah SWT.


  Itu berarti bahwa cinta Allah kepada hambaNya itu adalah semata Kehendak-Nya 
agar ada pelimpahan Kasih Sayang kepada sang hamba sebagaimana dengan 
rahmat-Nya ketika melimpahkan nikmat-Nya kepada hamba.


  Jadi Mahabbah atau cintai memiliki nuansa khusus dibanding Rahmat. Sementara 
Rahmat tersebut lebih sebagai merupakan pelimpahan-pelimpahan nikmat secara 
umum. Secara khusus Allah melimpahkan nikmat kepada hamba-Nya dalam gairah 
ruhani sang hamba, yang kemudian disebut cinta atau mahabbah.


 Pengalaman Sufi


 Para sufi seringkali menyebutkan mahabbah atau cinta. Hampir seluruh puja dan 
puji para Sufi mendendangkan keharuan cinta dan kedahsyatan rindunya. Pecinta 
agung sepanjang zaman Rabi'ah Adawiyah misalnya, telah mampu mencapai tingkat 
cinta tertinggi dan dengan cinta itu pula Rabi'ah mendapatkan tempat mulia di 
sisi Allah SWT. Seluruh istana sufi, hampir-hampir dipenuhi ornamen-oprnamen 
kecintaan kepada Sang Kekasih hingga pada tahap tertentu sang hamba seakan-akan 
menyatu dengan Kekasih-Nya.


 Sejumlah pengalaman cinta para sufi begitu kuat terdefinisi dalam 
simpul-simpul berikut:

   Cinta  berarti kecenderungan pesona sang kekasih dengan penuh kebimbangan  
hati.

   Cinta  adalah mengutamakan kekasihnya di atas segala yang dikasihi.

   Cinta  adalah keselarasan jiwa dengan Sang Kekasih di dalam dunia nyata  
maupun dunia tidak nyata.

   Cinta  adalah peleburan si pencita dengan sifat-sifat Nya dan Peneguhan  
Cinta-Nya dengan Dzat-Nya.

   Cinta  merupakan selaras hati dengan Kehendak-Nya.

   Cinta  berarti rasa takut bila berlaku tidak sopan pada saat menegakkan  
pengabdiannya.

   Al  Bustamy mengatakan, cinta adalah membebaskan segala hal-hal sebesar  
apapun yang datang dari egomu, dan membesarkan hal-hal yang kecil  yang datang 
dari kekasihmu.

   Junaid  al-Bagdady menegaskan, cinta berarti merasuknya sifat-sifat Sang  
Kekasih, meraih sifat-sifat sang pecinta. Si pencita sudah lebur  dalam 
kenangan dan ingatan sang kekasih.

   Abu  Abdullah al-Qurasy mengatakan, cinta berarti menyerahkan dirimu  kepada 
Sang Kekasih tanpa sedikitpun tersisa.

   Sedangkan  Asy Syibly menyatakan, cinta yang kemudian disebut mahabbah hanya 
 karena mahabbah sudah melenyapkan seluruh sisi hati, kecuali hanya  Sang 
Kekasih.



 Dalam suatu forum diantara para syeikh sufi di Mekkah, al-Junaid adalah 
peserta termuda. Lalu ia dipanggil, "Hai orang Irak, apa pendapatmu tentang 
cinta?" Tiba-tiba al Junaid menundukkan kepala. Air matanya meleleh dan 
sesenggukan, lalu bicara.
 "Cinta adalah seorang pelayan yang meninggalkan jiwanya dan melekatkan dalam 
pelukan Dizkir kepada-Nya. Mengukuhkan diri dalam melaksanakan perintah-Nya 
dengan kesadaran penuh bahwa Dia dalam hatinya. Cahaya Dzat-Nya telah membakar 
hatinya lalu ikut meminum dalam pesta minuman suci dari cangkir cinta-Nya. Lalu 
Yang Maha Kuasa tersingkap dari balik tiraiNya sampai ia hanya bicara dengan 
kata-kata yang selaras denga perintah-Nya, apa yang diucapkannya berasal 
dari-Nya. Ketika ia bergerak, ia bergerak karena perintah-Nya, ketika ia diam 
karena diamnya bersama Allah."


 Mendengar penuturan al-Junaid semua syeikh menangis, lalu berkata, "Tak ada 
yang perlu diucapkan lagi. Semoga Allah menguatkan dirimu, wahai mahkota para 
sufi."


  Dalam riwayat, Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Daud as, "Aku telah melarang 
cinta untuk-Ku yang merasuk di hati manusia, manakala cinta kepada selain 
diri-Ku masih punya tempat di hatinya."


  Dikisahkan tentang munajat Rabi'ah Adawiyah, "Tuhanku, akankah Engkau 
membakar dengan api, hati yang mencintaiMu?" Tiba-tiba muncul bisikan lembut, 
"Kami tidak akan melakukan hal seperti itu. Jangan dirimu menyangka buruk 
seperti itu kepadaKu..."


 Cinta Kepada Rasulullah SAW


 Pengalaman-pengalaman sufi tentang cinta, sebenarnya tidak bisa lepas dari 
rasa cintanya kepada Rasulullah SAW. Al Bushiry Asy Syadizily, penulis 
sajak-sajak Al Burdah yang monumental itu, sungguh sangat anggun ketika 
melantunkan gairah cintanya kepada Rasulullah SAW. Sebab selain seorang Rasul 
SAW utama, Kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah kekasih utama-Nya pula.


 Bentuk cinta seorang hamba kepada Rasulullah SAW-Nya adalah melalui 
peneladanan sunnah-sunnahnya, mendoakan melalui Shalawat Nabi kepadanya. Bahkan 
menghayati seluruh jalan hidupnya. Rasulullah SAW adalah teladan mulia, 
bagaimana para hamba mencintainya, sampai pada dataran dimana cinta benar-benar 
agung dalam jiwa para hamba, sebagaimana cinta yang dilukiskan para sufi itu.


  Mencintai Rasulullah SAW berarti mencintai Allah, dan sebaliknya mencintai 
Allah juga berarti mencintai Rasulullah SAW. Apa yang disebut dengan Cahaya 
Muhammad adalah bentuk Kemaharinduan dan Kemahacintaan Ilahi, dimana Cahaya 
Muhammad adalah titik Pertama yang kelak melimpah menjadi Jagad Raya dan 
seluruh mahluk ciptaan-Nya.


 Karena itu dalam tradisi tarekat, shalawat kepada Nabi senantiasa mengiringi 
dzikir para sufi karena Cahaya Muhammad itulah awal dimana Allah menciptakan 
dan kemudian ciptaan-Nya itu mengenal-Nya dengan gairah cinta-Nya. Dalam hadits 
Qudsi disebutkan, "Aku adalah khazanah tersembunyi, lalu aku ingin sekali 
(dengan segala Cinta-Ku) untuk dikenal, maka Kuciptakanlah mahluk agar ma’rifat 
kepadaKu."


  Cinta kepada Rasulullah SAW berati juga suatu kesadaran agung dimana seorang 
hamba mengenal dirinya sebagai hamba, dengan segala hak-hak (kewajiban 
kehambaan, ubudiyah) dan mengenal dirinya sebagai hamba yang memiliki hak 
terhadap sesama hamba.


 Cinta tidak mengenal batas agama, batas golongan, batas geografi, batas suku 
dan batas-batas sosial lainnya. Cinta kepada Rasulullah SAW adalah awal 
kecintaan hamba terhadap sesama hamba mahluk Allah SWT. Kecintaan yang tak bisa 
digambarkan dengan jual beli duniawi atau penghargaan materi.


  Tetapi cinta yang membumbung dalam rahasia terdalam dari lubuk hamba kepada 
kekasih-Nya, Muhammad SAW.


 Mari kita renungkan, suatu wacana cinta di bawah ini: "Dosa orang-orang yang 
ma'rifat adalah menggunakan ucapan, penglihatan mereka untuk kepentingan 
duniawi dan meraih keuntungan darinya. Sedangkan pengkhianatan pecinta adalah 
mengutamakan hawa nafsu mereka dibandingkan mengutamakan Ridha Allah SWT dalam 
urusan yang mereka hadapi. Sedang dusta para pemula di jalan sufi adalah jika 
mereka lebih peduli terhadap kesadaran akan hal-hal manusiawi, dibanding 
kesadaran akan dzikir dan memandang Allah SWT," demikian kata sufi besar, Abu 
Utsman.


 Di Balik istighfar dan Shalawat Nabi SAW


 Apa hubungan lstighfar dengan Shalawat Nabi SAW? Mengapa dalam praktik sufi 
senantiasa ada dzikir istighfar dan Shalawat Nabi dalam setiap wirid-wiridnya?


  Hubungan istighfar dengan shalawat, ibarat dua keping mata uang. Sebab orang 
yang bershalawat mengakui dirinya sebagai hamba yang lebur dalam wahana Sunnah 
Nabi. Leburnya kehambaan itulah yang identik dengan kefanaan hamba ketika 
beristighfar.


  Shalawat Nabi merupakan syariat sekaligus mengandung hakikat. Disebut syariat 
karena Allah SWT memerintahkan kepada para hamba-Nya yang beriman agar 
memohonkan Shalawat dan Salam kepada nabi. Dalam firman-Nya:
 "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya senantiasa bershalawat kepada nabi. 
Wahai, orang-orang beriman bershalawatlah kepada Nabi dan mohonkan salam 
baginya,"
 (QS. 33 : 56)


  Beberapa hadits di bawah ini sangat mendukung firman Allah Ta'ala tersebut:


  1. Suatu hari Rasulullah SAW datang dengan wajah tampak berseri-seri dan 
bersabda: "Malaikat Jibril datang kepadaku sambil berkata, "Sangat menyenangkan 
untuk engkau ketahui wahai Muhammad, bahwa untuk satu shalawat dari seorang 
umatmu akan kuimbangi dengan sepuluh doa baginya. Dan sepuluh salam bagiku akan 
kubalas dengan sepuluh salam baginya." (HR. An-Nasal)
  2. Sabda Rasulullah SAW: "Kalau orang bershalawat kepadaku maka malaikat juga 
akan mendoakan keselamatan yang sama baginya. Untuk itu hendaknya dilakukan 
meskipun sedikit atau banyak."
  (HR. lbnu Majah dan Thabrani).
  3. Sabda Nabi SAW: "Manusia yang paling utama bagiku adalah yang paling 
banyak shalawatnya."
  (HR. Abu Dhawud).
  4. Sabdanya: "Paling bakhilnya manusia ketika ia mendengar namaku disebut dia 
tidak mengucapkan shalawat bagiku,"
  (HR. At-Tharmidzi).
  "Perbanyaklah shalawat bagiku di hari Jum'at."
  (HR. An-Nasal)
  5. Sabdanya: "Sesungguhnya di bumi ada malaikat yang berkeliling dengan 
tujuan menyampaikan shalawat umatku kepadaku."
  (HR. An-Nasa'i)
  6. Sabdanya: "Tak seorangpun yang bershalawat kepadaku melainkan Allah 
mengembali-kan ke ruhku sehingga aku menjawab salam kepadanya."
  (HR. Abu Dhawud)


 Tentu, tidak sederhana menyelami keagungan Shalawat Nabi. Karena setiap kata 
dan huruf dalam shalawat yang kita ucapkan mengandung atmosfir ruhani yang 
sangat dahsyat. Kedahsyatan itu tentu karena posisi Nabi Muhammad SAW sebagai 
hamba Allah, Nabiyullah, Rasulullah SAW, Kekasih Allah dan Cahaya Allah. Dan 
semesta raya ini diciptakan dari Nur Muhammad sehingga setiap detak huruf dalam 
shalawat pasti mengandung elemen metafisik yang luar biasa.


 Mengapa kita musti membaca Shalawat dan Salam kepada nabi, sedangkan nabi 
adalah manusia paripurna, sudah diampuni dosa-dosanya yang terdahulu maupun 
yang akan datang? Beberapa alasan berikut ini sangat mendukung perintah Allah 
SWT.


  1. Nabi Muhammad SAW adalah sentral semesta fisik dan metafisik, karena itu 
seluruh elemen lahir dan batin mahluk ini merupakan refleksi dari cahayanya 
yang agung. Bershalawat dan bersalam yang berarti mendoakan beliau adalah 
bentuk lain dari proses kita menuju jati diri kehambaan yang hakiki di hadapan 
Allah melalui "titik pusat gravitasi" ruhani, yaitu Muhammad Rasulullah SAW.
  2. Nabi Muhammad SAW adalah manusia paripurna. Segala doa dan upaya untuk 
mencintainya berarti kembali kepada orang yang mendoakan tanpa reserve. Ibarat 
gelas yang sudah penuh air, jika kita tuangkan air pada gelas tersebut, pasti 
tumpah. Tumpahan itulah kembali pada diri kita, tumpahan Rahmad dan AnugerahNya 
melalui gelas piala Kekasih-Nya, Muhammad SAW.
  3. Shalawat Nabi mengandung syafa'at dunia dan akhirat. Semata karena 
filosofi Kecintaan Ilahi kepada Kekasih-Nya itu meruntuhkan Amarah-Nya. 
Sebagaimana dalam hadits Qudsi, "Sesungguhnya Rahmat-Ku mengalahkan Amarah-Ku."
  Siksaaan Allah tidak akan turun pada ahli Shalawat Nabi karena kandungan 
kebajikannya yang begitu par-exellent.
  4. Shalawat Nabi menjadi tawashul bagi perjalanan ruhani umat Islam. Getaran 
bibir dan detak jantung akan senantiasa membumbung ke alam Samawat (alam 
ruhani) ketika nama Muhammad SAW disebutnya. Karena itu mereka yang hendak 
menuju kepada Allah (wushul), peran Shalawat sebagai pendampingnya. Karena 
keparipurnaan Nabi itu menjadi jaminan bagi siapa pun yang hendak bertemu 
dengan Yang Maha Paripurna.
  5. Nabi Muhammad SAW sebagai nama dan predikat bukan sekadar lambang dari 
sifat-sifat terpuji tetapi mengandung fakta tersembunyi yang universal yang ada 
dalam Jiwa Muhammad SAW. Dan dialah sentral satelit ruhani yang menghubungkan 
hamba-hamba Allah dengan Allah. Karena sebuah penghargaan Cinta yang agung itu 
hilang begitu saja. Estetika Cinta Ilahi justru tercermin dalam Keagungan-Nya 
dan Keagungan itu ada di balik desah doa yang disampaikan hamba-hamba-Nya buat 
Kekasih-Nya.
  6. Allah pun bershalawat kepada Nabi, begitu juga para malaikat-Nya. Duhai 
kaum beriman bershalawat dan bersalamlah kepada Nabi SAW.


 Para sufi memberikan pengajaran sistematis kepada umat melalui Shalawat Nabi 
itu sendiri. Dan Shalawat Nabi yang berjumlah ratusan macam itu lebih banyak 
justru dari ajaran Nabi sendiri. Model shalawat yang diwiridkan para pengikut 
tarekat juga memiliki sanad yang sampai kepada Nabi SAW. Oleh sebab itu itu, 
Shalawat adalah cermin Nabi Muhammad SAW yang memantul melalui jutaan bahkan 
milyaran hamba-hamba Allah bahkan bilyunan para malaikat-Nya.



 Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke