---------- Forwarded message ----------
From: Ma'rufin Sudibyo <[EMAIL PROTECTED]>

 Sebelum masuk ke persoalan Meridian Makkah (39° 49' BT) yang diusulkan
sebagai Meridian Nol Hijriyyah, mari kita lihat terlebih dulu kenapa
Meridian Greenwich ditetapkan sebagai Meridian Nol, untuk kemudian kita
bandingkan sifat dasar kalender Gregorian/Masehi (yang murni solar) dengan
kalender Hijriyyah (yang murni lunar).

Beda dengan garis Lintang Nol (Ekuator) yang bisa ditentukan secara eksak
lewat pengukuran posisi Matahari dan terkait erat dengan sumbu rotasi Bumi,
tidak ada fenomena alami yang bisa digunakan untuk menetapkan secara eksak
letak garis bujur nol atau Meridian Nol. Maka titik dimanapun di muka Bumi
ini bisa ditetapkan sebagai Meridian Nol, asalkan populer dan disepakati
bareng2.

Pada masa Mesir Kuno misalnya, Ptolomeus menetapkan Meridian Alexandria
sebagai Meridian Nol. Seiring runtuhnya peradaban Mesir Kuno, perkembangan
kemudian beralih ke India dimana ilmu astronomi berkembang pesat di anak
benua ini. Dan astronom2 India menetapkan Meridian Arin/Ujjayn (sekarang di
bujur 75° 47' BT) sebagai Meridian Nol. Di Arin ini pula kemudian dibangun
observatorium besar pada masanya, yang terdiri dari gnomon raksasa (sesuai
teknologi saat itu). Ketika Islam berkembang, astronom Muslim kemudian
mengikuti tradisi India ini hingga beberapa lama kemudian. Namun di masa Ibn
Maimun (Maimonides), ada kesepakatan di antara geografer dan astronom Muslim
masa itu untuk menggunakan bujur 59° BT sebagai Meridian Nol, yakni meridian
yang melintas di dekat kota Mashad (Iran) sekarang.

Meridian Greenwich baru ditetapkan sebagai Meridian Nol pada 1851 atas upaya
Sir George Airy, direktur Royal Observatory of Greenwich. Penetapan ini
"menyontek" tradisi Arin/Ujjayn yang menjadi Meridian Nol karena adanya
bangunan observatorium besar. Namun Greenwich baru ditetapkan secara formal
sebagai Meridian Nol pada Oktober 1884 saat berlangsung konferensi meridian
internasional yang difasilitasi Presiden Chester Arthur di Washington, yang
dihadiri 25 negara. Dari hasil voting, mayoritas delegasi memilih Greenwich
sebagai Meridian Nol, karena POPULARITAS-nya. Memang sejak masa Airy
Meridian Nol Greenwich telah diperkenalkan secara massif oleh pelaut2
Inggris ke rekan2 mereka, sehingga pada 1884 itu dua pertiga armada kapal di
Eropa dan Amerika telah menggunakan Greenwich sebagai referensinya. So tentu
saja ketika divoting jadi menang mudah.

Namun penetapan ini bukannya tanpa masalah. Perancis - yang selalu bersaing
dengan Inggris sejak 1066 CE ketika William menginvasi Britania dan
mengobarkan pertempuran Hasting - memilih abstain pada voting dan memutuskan
menggunakan Meridian Paris sebagai Meridian Nol-nya. Ini bertahan sampe
beberapa dekade, sebelum kemudian bergabung dengan Greenwich.

Namun "perseteruan" belum usai. Ketika tiba era satelit2 navigasi (seperti
Navstar Global Positioning Systems yang mendunia itu), Bureau International
de l'Heure mengkompilasi hasil2 observasi bintang2 dari berbagai negara guna
menetapkan Meridian Nol Geodetik sistem WGS84, yang kemudian menghasilkan
Universal Time (UT). Hasilnya, Meridian Nol Geodetik WGS84 itu tidak tepat
berimpit dengan garis nol Greenwich, namun melintas 102,5 meter di sebelah
timurnya. So, kisahnya seperti Tugu Khatulistiwa Pontianak (yang juga tidak
tepat berada di lintasan garis Khatulistiwa, namun terpisah sekitar 105 m).

Tentu saja ini menyebalkan buat otoritas Greenwich yang aristokrat itu.
Konon saking sebalnya, Greenwich kemudian menandai lintasan Meridian Nol
Geodetik WGS84 di lingkungan mereka dengan BAK SAMPAH (!), bandingkan dengan
Meridian Nol Greenwich yang dihias lempengan baja dengan lampu bersinar
didalamnya, masih dilengkapi lagi dengan sorotan sinar laser dan tiap orang
yang melintas di atas lempengan baja ini akan mendapat surat keterangan
telah berdiri di Meridian Nol Greenwich. Namun bak sampah ini tidak
menghalangi kian populernya sistem WGS84. Kini dari urusan meteorologi,
seismologi, telekomunikasi satelit dan seluler hingga penerbangan antariksa
semuanya merujuk ke sistem ini.

Sifat Dasar Gregorian

Kalender Gregorian ini kalender hitungan murni yang berbasis surya (solar).
Hitungan berpusat pada Meridian Nol Geodetik WGS84, dimana daerah2 lain di
Bumi tinggal menyesuaikan dengan memperhatikan beda waktunya. Secara
astronomis kalender ini mempunyai Julian Day (JD), yakni jumlah hari yang
telah dilalui semenjak 1 Januari 4712 BCE pukul 12:00 UT. Misalnya tanggal 6
Mei 2006 pukul 11:00 WIB itu punya JD = 2454592,66667.

Transisi JD ditetapkan terjadi ketika Matahari dalam posisi transit di
Meridian Nol Geodetik, sehingga arah bayangan sinarnya tepat berimpit dengan
meridian ini. Namun mengingat transitnya Matahari di Meridian Nol Geodetik
tidak selalu terjadi tiap pukul 12:00 UT (ingat adanya perata waktu atau
equation of time yang selalu berubah secara periodik sepanjang tahun
Julian), sehingga kemudian ditetapkan transisi Julian Day berlangsung tiap
pukul 12:00 UT. Konsekuensinya pergantian hari di Bumi juga berlangsung pada
pukul 12:00 waktu setempat.

Dalam praktiknya, pergantian hari sipil di kalender ini ditetapkan tidak
sama dengan transisi JD. Dengan anggapan merepotkan dan tidak praktis, maka
transisi hari sipil kemudian dimanipulasi, sehingga ditetapkan terjadi tiap
pukul 00:00 waktu setempat. Maka meski Meridian Nol Geodetik WGS84 itu
berlokasi di Greenwich, namun garis Batas Penanggalan Internasional (IDL)
untuk kalender Gregorian terletak di bujur 180° yang berselisih 12 jam
terhadap UT. Secara kebetulan garis bujur ini melintas di wilayah yang
sangat jarang populasi manusianya, karena membelah Samudera Pasifik.

Manipulasi waktu memang acap diterapkan pada kalender Gregorian ini. Sebut
saja misalnya konsep DST (Daylight Saving Time) yang diterapkan di musim
semi - panas (Maret - Oktober) di mayoritas negara2 empat musim. Dengan
alasan di musim semi - panas waktu siangnya terlalu panjang sehingga tidak
produktif, maka dilakukanlah manipulasi dimana waktu setempat dikurangi 1
jam. Namun belakangan setelah manfaatnya dirasakan tidak ada (atau sangat
minim) maka beberapa negara memutuskan menanggalkan konsep DST.

Terlepas dari masalah manipulasi waktu ini, ada konsistensi antara benda
langit acuan (Matahari) dengan definisi pergantian hari (yakni saat Matahari
transit di Meridian Nol Geodetik) dalam kalender Gregorian.

Sifat Dasar Hijriyyah

Berbeda dengan Gregorian, kalender Hijriyyah itu jenis kalender
observasional (pengamatan), yang berbasiskan peredaran Bulan (lunar) murni
dengan definisi transisi antar harinya ditetapkan pada saat sunset (ghurub)
setempat. Dalam kalender ini juga terdapat Hijri Day (HD) yang mirip dengan
JD dalam kalender Gregorian. Bedanya, HD selalu berbentuk bilangan bulat
karena dalam kalender Hijriyyah tidak menggunakan suatu meridian pun sebagai
acuan. HD dihitung sejak sunset 15 Juli 622 CE.

Disini memang tak ada manipulasi, karena transisi hari sipil juga
berlangsung pada saat yang sama dengan transisi HD. Transisi hari ini memang
tidak ada rujukan langsungnya, sejauh ini, dengan sumber2 hukum Islam, namun
secara tak langsung termatub dalam beberapa hadits Nabi SAW yang menyebut
transisi lunasi (baca : bulan Hijriyyah) berlangsung pada saat maghrib.
Logikanya, jika transisi lunasi berlangsung saat sunset maka transisi hari
juga berlangsung pada saat yang sama.

Transisi lunasi dalam kalender ini murni ditentukan berdasarkan visibilitas
(keterlihatan) hilaal. Disinilah persoalan terpeliknya berada, karena Umat
Islam belum memiliki satu definisi bersama yang operasional tentang hilaal.
Memang pengertian "hilaal" telah dieksplisitkan dalam Qur'an dan Hadits Nabi
SAW, namun derivasinya ke definisi operasional (misalnya yang berdasarkan
parameter fisis-astronomis seperti elongasi minimum, persamaan matematis
minimum dll) belum disepakati bersama.

Dari sudut pandang sains (khususnya astronomi dan optika), definisi
operasional hilaal memang sudah bisa ditegakkan secara valid dan reliabel,
yakni sepanjang memenuhi persamaan matematis Yallop atau Odeh (meski ini
juga tidak mutlak, karena masih mengandung ketidakpastian sebesar 22°). Dari
definisi ini bisa diketahui daerah mana di Bumi (dalam koordinat lintang
bujur dan elevasi nol meter dpl) yang diprediksi bisa melihat hilaal untuk
pertama kalinya (alias FVA/"first visibility area"). Dan lokasi FVA ini
ternyata random, tidak terkonsentrasi pada daerah tertentu di muka Bumi
(misalnya, terkonsentrasi pada Meridian Makkah).

Harus disadari bahwa kalender Hijriyyah memang unik. Untuk transisi harinya,
ia menggunakan peredaran Matahari seperti halnya kalender surya, hanya saja
transisi itu didefinisikan terjadi pada saat sunset. Sementara pada saat
transisi lunasi, kalender ini menggunakan KOMBINASI peredaran Matahari dan
Bulan, dimana didefinisikan pada saat sunset, Bulan telah mewujud menjadi
hilaal (Bulan dalam fase sabit paling tipis yang sudah bisa diamati).

Implikasi Meridian Nol Hijriyyah

Penetapan Meridian Makkah sebagai Meridian Nol Hijriyyah sebenarnya tidak
membawa banyak implikasi. Mari kita ambil ilustrasi zona Waktu Indonesia
bagian Barat (WIB) sebagai contoh. Selang waktu WIB dengan Meridian Makkah
tetap 4 jam, tidak berubah. Demikian juga arah kiblat dari WIB tetap di
sekitar azimuth 295° dengan sedikit variasi sangat kecil dari satu tempat ke
tempat lain (dalam orde menit busur).

Sekarang, mari anggap bahwa garis Meridian Nol Hijriyyah (alias MNH) itu
berimpit dengan Meridian Makkah (tanpa harus dimanipulasi misalnya dengan
menggesernya ke garis bujur yang berselisih 180° terhadap Meridian Makkah).
Dan mari ingat definisi transisi hari dalam Hijriyyah : terjadi pada saat
sunset. Ambil contoh saat Matahari terbenam di Meridian Makkah dan itu
menandai awal hari Jum'at. Pada saat itu kita yang ada di zona WIB sudah 4
jam memasuki hari Jum'at dan mungkin sebagian dari kita sedang menjalankan
rutinitas tahlilan dan yasinan. Sementara saudara2 kita yang ada di Maroko
misalnya (zona waktu = Waktu Makkah - 3 jam), tentu saja mereka belum
memasuki hari Jum'at karena belum sunset. Dan saudara2 muslim yang ada di
pantai timur benua Amerika (zona waktu = Waktu Makkah - 6 jam) bahkan baru
melaksanakan ibadah shalat Dhuhur di hari Kamis karena Matahari masih ada di
atas kepala mereka.

Kondisi seperti itu juga tetap tak berbeda meskipun MNH digeser ke Meridian
Nol Geodetik WGS84. Ketika Matahari sedang sunset di Makkah, tetap saja kita
di zona WIB sudah mendahului 4 jam sementara mereka yang ada di pantai timur
Amerika menyaksikan Matahari masih di atas kepala. So, baik MNH ditetapkan
berimpit dengan Meridian Makkah ataupun Meridian Nol Geodetik WGS84, tidak
ada perbedaan dalam melaksanakan ibadah shalat lima waktu dan shalat Jum'at.
karena waktu2 shalat ditetapkan berdasar kedudukan lokal Matahari, bukan
merujuk pada kedudukan global yang dipatok pada letak Meridian Nol
Hijriyyah.

Implikasi baru akan muncul pada transisi lunasi. Berbeda dengan kalender
Gregorian dimana hitungan jumlah hari dalam lunasinya sudah eksak (Januari =
31, Februari = 28 atau 29 untuk kabisat, Maret = 31 dst) dan tidak
didasarkan pada fenomena alam tertentu, transisi lunasi Hijriyyah bergantung
kepada visibilitas hilaal. Dan visibilitas hilaal adalah persoalan
statistik. Pada bola Bumi ini senantiasa terdapat daerah yang pertama kali
bisa melihat hilaal (terutama dengan alat bantu) yang dinamakan daerah first
visibility area (FVA). Nah sebagai persoalan statistik, maka letak FVA ini
random, tak pernah menggerombol di satu tempat di muka Bumi.

Inilah persoalannya. Memang dalam ilmu falak dikenal sistem hisab urfi, yang
mendasarkan transisi lunasinya pada pola mirip Gregorian (misalnya Muharram
= 30, Shaffar = 29 dst kecuali untuk Sya'ban, Ramadhan dan Zulka'idah). Jika
sistem urfi' dipakai dan Meridian Nol Hijriyyah ditetapkan berimpit dengan
Meridian Makkah, maka kita akan menjumpai pola konsistensi yang sama dengan
kalender Gregorian. Namun mayoritas pakar falak lebih menyarankan penggunaan
sistem hisab hakiki yang mendasarkan pada kemungkinan munculnya hilaal,
untuk kemudian dilengkapi dengan rukyat pada 3 awal bulan suci. Dan dengan
sifat random FVA, maka sulit sekali untuk menerapkan transisi lunasi itu
ditetapkan bermula dari Meridian Nol Hijriyyah di Makkah. Kita bisa lihat
hal ini misalnya seperti untuk menetapkan 1 Jumadil Ula 1429 H ini. Dengan
menggunakan kriteria Yallop, kita tahu FVA itu ada di koordinat 62° LU 51°
BB. Tentu rancu sekali jika kemudian kita memaksakan menggeser FVA ke 50° BT
(Meridian Makkah). Jika itu terjadi, ya artinya kita sedang melakukan
manipulasi waktu, hal yang dikecam dalam Qur'an. Selain itu, hal ini juga
merubah sifat dasar kalender Hijriyyah dari murni observasional menjadi
"hitungan", satu hal yang lagi2 tak ada rujukannya.

International Lunar Dateline

Alih-alih menetapkan Meridian Makkah sebagai MNH, sejumlah cendekiawan
Muslim dipelopori Prof. Ilyas di Malaysia pada 1980-an, memilih untuk
mendeskripsikan entitas baru yang disebut International Lunar Date Line
(ILDL) atau Garis Batas Penanggalan Lunar Internasional. Beda dengan
International Date Line (IDL) pada kalender Gregorian yang berfungsi sebagai
meridian transisi hari, ILDL lebih berperan sebagai garis transisi lunasi.
Dan garis ini SELALU TIDAK BERIMPIT dengan salah satu garis meridian manapun
di Bumi. Dan sesuai dengan sifat random FVA, lokasi garis ILDL ini pun
selalu berpindah pindah dari satu transisi ke transisi lunasi berikutnya.

Jika kita konsisten untuk berpegangan pada ILDL ini, sebenarnya persoalan
kalender Hijriyyah universal sudah terselesaikan dengan sendirinya. Acuannya
sederhana. Di sebelah barat garis ini, jelas hilaal lebih mungkin nampak,
sementara di sebelah timurnya hilaal mustahil/tak mungkin nampak. Dan jelas
juga, jika kita konsisten dengan penggunaan ILDL ini, kita tidak perlu
mengompromikannya dengan sistem yang dipake dalam kalender Gregorian
(seperti yang selama ini berlangsung, ntah disengaja apa tidak).

So, ini memang terdengar 'menjijikkan' bagi sejumlah saudara kita ketika
kota suci Makkah dengan Meridiannya ternyata tidak selalu berada dalam
lokasi ILDL. Namun hal ini masih lebih baik ketimbang kita harus melakukan
manipulasi waktu, dengan menetapkan Meridian Makkah sebagai ILDL padahal
senyatanya tidak selalu demikian. Dan manipulasi waktu semacam ini, kita
tahu, dikecam dalam Qur'an.

salam


Ma'rufin

----- Original Message ----
From: harifajri <[EMAIL PROTECTED]>
To: [EMAIL PROTECTED]
Sent: Thursday, April 24, 2008 7:50:48 PM
Subject: [ RHI ] Jika GMT ke MMT ? haruskah kita mengganti sistem
penanggalan juga?

  Assalamu'alaikum wr wb.

Mau nanya sama pakar-pakar di milis ini dong..
Kalau menurut kalender hijri, pergantian hari/tanggal dihitung setelah
matahari terbenam/sunset (maghrib).

Sedangkan hal yang umum saat ini, mayoritas umat islam mengacu pada
system GMT (greenwich mean time).
Timezone Jakarta adalah GMT +7:00
Timezone Mekah/riyadh adalah GMT +3:00

catatan: GMT +7:00 artinya 7 jam ditambahkan dari international date
line (http://en.wikipedia .org/wiki/ International_
date_line<http://en.wikipedia.org/wiki/International_date_line>
)

Misalnya sekarang hari kamis, dan
Matahari terbenam di jakarta misalnya jam 18:00 WIB,
(18:00 WIB sama dg UTC 11:00)
Artinya menurut perhitungan hijri di jakarta sudah masuk hari jum'at

Sedangkan pada waktu (UTC 11:00) ini di mekah baru jam 14:00 siang
dan masih terhitung hari kamis.

yang mau saya tanyakan adalah sbb:
Misalnya kita (suatu saat nanti) mengganti system GMT ini dengan Makkah
Mean Time (MMT),
1. artinya apakah ini berarti setiap hari baru berpatokan pada mekah??.

Jika jawabannya adalah IYA:
maka ada timbul pertanyaan ke 2:

prolog:
berarti setiap hari baru di mekah lebih duluan dari jakarta.
Jika skrg hari kamis di mekah, setelah matahari terbenam maka mekah
masuk pada hari jum'at.
sedang jakarta masih hari kamis (sistem MMT),
tapi di sistem GMT, jakarta adalah hari Jum'at (mau masuk sabtu).

2. Apakah jika kita mengganti sistem GMT ke MMT, akan terjadi juga
perubahan/perpindah an hari?
apakah selama ini, kita sholat jum'at, bukanlah benar2 pada hari jum'at
di sistem MMT?

Mohon pencerahannya. .

wassalam

Hari F.






--
Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang
now surely by Allah's remembrance are the hearts set at rest
>> al-Ra'd [13]: 28


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke