Demi Berdakwah Kebatilan, Mereka Berbuat Kebohongan

ikuti serial berkala teori evolusi di: 
http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=89&Itemid=86


Pemalsuan Heboh Bukti Evolusi Jepang (Bagian 4 - Habis)          Print

Monday, 20 April 2009 12:22

Ahli Jepang mengakui kepiawaian Fujimura memalsu temuan purbakala. Ia bahkan 
dikabarkan punya kekuatan gaib.



Hidayatullah.com--Berdasarkan temuan purbakala Shinichi Fujimura, sejarah 
Jepang sebelumnya diperkirakan berusia 700 ribu hingga 800 ribu tahun. Namun 
anggapan itu keliru setelah temuan Fujimura terbukti palsu. “Ini berarti 
peradaban kita hanyalah 70.000 hingga 80.000 tahun. Jadi sejarah Jepang menjadi 
sepersepuluh dari yang kita duga,” kata Toshiki Takeoka, pakar ilmu 
purbakala di Kuromitsu Kyoritsu University, Tokyo. (1)

Reruntuhan Kami-Takamori dulunya terkenal sebagai situs Zaman Batu Awal tertua 
di Jepang. Terlebih penting lagi, temuan-temuan perkakas batu mengisyaratkan 
manusia awal Homo erectus di tempat tersebut memiliki tingkat kecerdasan 
simbolik yang jauh melebihi pendapat mana pun yang didasarkan pada temuan di 
Afrika dan Eropa. (2)

Namun simbol kebanggaan nasional masyarakat Jepang itu kini tidak hanya runtuh, 
tapi juga berubah menjadi aib memalukan di mata dunia semenjak terkuaknya 
pemalsuan Fujimura. Keadaan ini digambarkan sendiri oleh Charles T. Keally, 
pakar purbakala di Sophia University, Tokyo:

“Kini hal itu – dan mungkin keseluruhan Zaman Batu Mula dan 
Pertengahan Jepang – telah tenggelam ke dalam lumpur perilaku memalukan, 
sesuatu yang menghiasi halaman-halaman muka surat kabar setiap hari, ketika 
para politikus, pejabat pemerintah, pengusaha, doktor, pengacara dan pemimpin 
di hampir setiap bidang kehidupan tampil di halaman-halaman muka dengan kepala 
mereka tertunduk malu.” (2)

Pemalsuan akbar tersebut memunculkan pertanyaan besar, bagaimana mungkin 
Fujimura, yang kini dijuluki “Si Penggali Kotor”, tidak kepergok 
selama 20 tahun? Sejumlah ahli di Jepang berpendapat bahwa si kambing hitamnya 
adalah Fujimura sendiri, disamping sebab luar. Fujimura diakui sejumlah 
kalangan sebagai sosok meyakinkan dan memiliki keahlian luar biasa dalam 
mengubur temuan palsunya. Faktor luar melibatkan berbagai pihak, terutama 
kalangan akademisi.

 

Lihai menipu

Shoh Yamada, pakar purbakala yang pernah menggali situs bersama Fujimura, 
tercengang oleh keterampilan luar biasa Fujimura dalam mengelabui. Berdasarkan 
pengalamannya sendiri dan pengakuan pakar arkeologi lain, adalah sulit 
membedakan mana galian purbakala alami yang asli dan mana yang sengaja 
dipalsukan oleh Fujimura. Apa yang semula mereka duga asli, belakangan 
diketahui hasil karya “tangan kotor” Fujimura.

Kelihaian memalsu benda arkeologi itu selain masih menjadi teka-teki, juga 
cukup membuat pakar arkeologi keheranan.  Apalagi jika mengingat Fujimura 
hanyalah tamatan sekolah atas, pekerja pabrik alat elektronik, dan tidak 
memiliki latar belakang pendidikan formal di bidang arkeologi. Bagaimana 
Fujimura yang tidak terdidik profesional di bidang arkeologi bisa menipu 
sedemikian banyak pakar Jepang dalam rentang waktu lama? “Ini menunjukkan 
bahwa kita belum tahu semua teknik yang digunakan oleh Fujimura”, kata 
Shoh Yamada. (3)

 

Berkekuatan gaib

Sejumlah kalangan tidak menaruh praduga buruk terhadap Fujimura lantaran 
penampilan dan kepribadiannya yang terlihat meyakinkan. Bahkan ada yang sampai 
memberi sanjungan berlebihan atas Fujimura. Selain julukan “Sang Tangan 
Tuhan” lantaran keberuntungannya mendapatkan banyak temuan purbakala 
(yang di kemudian hari diketahui palsu), Shinichi Fujimura didesas-desuskan 
memiliki pula kekuatan gaib (4). Bahkan ada ilmuwan Jepang sendiri yang sampai 
percaya hal gaib itu.

Keiichi Omoto, pakar antropologi biologi terkemuka Jepang, yakin kalau Fujimura 
punya kekuatan gaib. Sebagaimana dikisahkannya sendiri, ia mengakui bahwa 
keraguannya sirna saat bertemu langsung dengan Fujimura:

“...beberapa tahun silam saya mulai menjalin hubungan dengan kelompok 
Serizawa dan benar-benar bertemu dengan Fujimura sendiri. Ketika berbincang 
seputar beragam hal dengannya, saya berpikir bahwa itu karena pengalaman dan 
pemikiran [Fujimura] dan, entah bagaimana, percaya bahwa ia mampu memahami 
‘arwah’ Homo erectus (genjin no kokoro)” (5)

 

Melibatkan banyak pihak

Charles T. Keally berpendapat seluruh masyarakat Jepang, terutama akademisi, 
dan khususnya kalangan arkeologi, pada akhirnya bertanggung jawab atas 
terjadinya skandal itu. Charles T. Keally telah 30 tahun bekerja di bidang 
arkeologi Jepang, terutama Zaman Batu Jepang, di dalam negeri Jepang sendiri. 
Ia secara khusus tertarik dengan masalah Zaman Batu Mula dan Pertengahan di 
Jepang. Menurutnya, permasalahan ini penuh pertentangan sejak permulaannya di 
awal 1960-an. Tapi hal itu belum pernah dibahas dengan pendekatan akademis dan 
ilmiah. (2)

Selain itu, sejumlah arkeolog mengaku pernah curiga atas kemampuan Fujimura 
yang luar biasa. Tapi rasa hormat terhadap wibawa lembaga akademis Jepang telah 
mengurungkan niat mereka mengemukakan kecurigaannya. (1)

Peneliti lain mengisahkan bagaimana ia sudah pernah melontarkan keraguan 
terhadap temuan Fujimura ke khalayak ramai, tapi malah disuruh tutup mulut oleh 
tokoh senior di lingkungan arkeologi Jepang. Toshiki Takeoka di antara yang 
memiliki kecurigaan ini. Ia pernah mencoba menerbitkannya di jurnal akademis, 
tapi editor jurnal itu memaksa agar ia melunakkan kritiknya. (1)

Menurut kepala Dewan Pemerintah untuk Kebijakan Ilmu Pengetahuan, Hideki 
Shirakawa, permasalahannya terkait dengan budaya Jepang dan penekanan yang 
lebih mengedepankan kelompok daripada perorangan. “Orang-orang Jepang 
tidaklah cakap dalam menyanggah atau menilai orang... ...Kami asal-usulnya 
adalah sebuah negeri pertanian, jadi kami suka bergotong-royong, sebagai sebuah 
kelompok. Perasaan itu masih ada sekarang. Dan itulah mengapa terkadang tidak 
ada pemeriksaan atau penelaahan yang layak oleh pakar lain dalam ilmu 
pengetahuan,” kata Shirakawa. (1)

 

Bukan hanya Jepang

Namun ada satu hal yang tidak diungkap oleh berbagai sumber media massa maupun 
jurnal ilmiah yang mengungkap latar belakang pemalsuan Fujimura itu. Hal ini 
secara cermat patut dipertanyakan: Jika budaya masyarakat atau lingkungan 
akademis Jepang secara khusus dianggap telah mendorong pemalsuan puluhan tahun 
itu, lalu mengapa pemalsuan serupa juga terjadi di Inggris dan Jerman misalnya, 
yang memiliki budaya masyarakat dan akademis berbeda dari Jepang?

Di Inggris, Charles Dawson terbukti memalsukan fosil tengkorak Manusia Piltdown 
selama sekitar 40 tahun (6). Tengkorak itu terungkap sebagai pemalsuan yang 
dilakukan dengan cara melekatkan rahang orang utan pada tengkorak manusia. Di 
Jerman, prof. Reiner Protsch von Zieten terungkap memalsukan aneka data seputar 
usia fosil-fosil yang ditemukan di Eropa selama kurang lebih 30 tahun. (7)

Jika ada kemiripan, maka ketiga kasus pemalsuan besar di 3 negara maju itu 
sama-sama melibatkan bidang ilmu yang sama atau setidaknya sangat terkait erat: 
asal-usul dan hubungan masyarakat manusia, sejarah dan budaya manusia, dan ilmu 
fosil. Menariknya, kesemua ilmu tersebut didasarkan pada teori evolusi Darwin!

 

Dipermalukan dan dibohongi

Kebohongan selama 20 tahun oleh Fujimura kini tercatat sebagai salah satu 
penipuan ilmiah terbesar di dunia modern. Tindakan Fujimura menambah daftar 
panjang penipuan memalukan terkait dengan teori evolusi, yang di dalamnya 
termasuk pemalsuan manusia Piltdown di Inggris oleh Charles Dawson (6) dan 
pemalsuan beragam data fosil oleh Prof. Reiner Protsch von Zieten dari Jerman 
(7).

Selain perasaan malu yang mendalam, masyarakat Jepang juga merasa telah 
dibohongi selama puluhan tahun, khususnya para siswa di sekolah karena 
buku-buku pelajaran memuat hasil temuan Fujimura. Kurator utama departemen 
urusan budaya di pemerintahan metropolitan Tokyo, Shizuo Ono, menuturkan:

“Di ruang-ruang kelas sekolah atas dan sekolah menengah atas, para guru 
telah mengajar tentang situs-situs purbakala ini dengan bangga, sebagai situs 
tertua bangsa [Jepang]. Saya telah membaca surat-surat kepada editor di mana 
para guru mengatakan hati mereka terluka, sebab mereka telah dituduh berbohong 
oleh para siswa mereka.” (8)

 

(wwn/abc/nytimes/newsweek/haq/anthr.sci./bbc/dw/hidayatullah.com) (habis)

ikuti serial berkala teori evolusi di: 
http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=89&Itemid=86

  

Referensi:

 

1). Mark Simkin (2001) “Archaeological fraud in Japan”, a 
transcript from The World Today, ABC local radio, Australia, 19 Nov. 2001. 
(http://www.abc.net.au/worldtoday/stories/s420235.htm , dikunjungi pada 19 
April 2009)
 
2). Charles T. Keally (2000) “Japanese Scandals - This Time It’s 
Archaeology”, A Preliminary Report, 17 Nov. 2000. 
(http://www.t-net.ne.jp/~keally/Hoax/pal-hoax-1.html , dikunjungi pada 19 April 
2009).

 

3). Shoh Yamada (2002) “Politics and Personality: Japan's Worst 
Archaeology Scandal”, Harvard Asia Quarterly, Volume VI, No. 3. Summer 
2002. (http://www.asiaquarterly.com/content/view/124/5/ , dikunjungi pada 19 
April 2009)

 

4). George Wehrfritz & Hideko Takayama (2001) “Archeology: With A Wave Of 
God's Hand. An Amateur Paleontologist Is Discredited, And Japan Loses A Million 
Years Of Human Prehistory”, Newsweek, 22 Oct. 2001 
(http://www.newsweek.com/id/75646 , dikunjungi pada 19 April 2009).

 

5). Mark J. Hudson (2005) “For the people, by the people: postwar 
Japanese archaeology and the Early Paleolithic hoax”, Anthropological 
Science, Vol. 113 (2005) , No. 2 pp.131-139 
(http://www.jstage.jst.go.jp/article/ase/113/2/113_131/_html , dikunjungi pada 
19 April 2009).

 
6). Kate Bartlett (2003) “Piltdown Man: Britain's Greatest Hoax”, 
BBC Archaeology, Excavations and Techniques, Published: 14 Nov. 2003. 
(http://www.bbc.co.uk/history/archaeology/excavations_techniques/piltdown_man_01.shtml
 , dikunjungi pada 19 April 2009).

 

7). DW Staff (2005) “Professor Resigns Over Misconduct Scandal”, 
Deutsche Welle, 18 Feb. 2005. 
(http://www.deutsche-welle.de/dw/article/0,1564,1493421,00.html, dikunjungi 
pada 19 April 2009)

 

8). Howard W. French (2000) “Tsukidate Journal; Meet a 'Stone Age' Man So 
Original, He's a Hoax”, The New York Times, USA, 7 Dec. 2000. 
(http://www.nytimes.com/2000/12/07/world/tsukidate-journal-meet-a-stone-age-man-so-original-he-s-a-hoax.html
 , dikunjungi pada 19 April 2009)

ikuti serial berkala teori evolusi di: 
http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=89&Itemid=86


 
Last Updated on Monday, 20 April 2009 15:44

Kirim email ke