Menarik untuk menyikapi istilah syukur dalam arti kata syukur. Syukur hendaklah 
bukan sebatas ucapan, tapi lebih dituntut kepada perbuatan dan tindakan wujud 
nyata yaitu dengan menjalani kehidupan sebagaimana fitrahnya kita sebagai 
manusia. Itulah yang disebut di dalam Quran bahwa apabila kita bersyukur, 
niscaya Tuhan akan menambah kenikmatannya.

Syukur pada tingkatan tasauf/sufistik adalah salah satu tahapan untuk mencapai 
“ridho” (kasta tertinggi seorang sufi). Sedangkan syukur pada tingkatan dasar 
adalah “rasa”. “Rasa” syukur ditingkat “rasa” memberi arti bahwa tidak akan ada 
kehidupan, atau kita tidak bisa menghirup udara yang digambarkan sebagai 
oksigen pada email sebelumnya, jika “rasa” itu tidak ada. Bayi menangis ketika 
dicubit, artinya dia bisa me-“rasa”-kan dan “rasa” itu diungkapkannya dengan 
menangis.

Syukur dengan bahasa “rasa” jelas lebih nyata daripada sekedar ucapan syukur. 
Tanpa mengucapkan “rasa” syukurpun kalau mimiknya sudah mengisyaratkan 
bersyukur sebenarnya sudah cukup. Mengapa….? Karena ” hakekat Syukur “ itu 
milik Tuhan…!.

Dalam konteks hubungan sosial misalnya, implentasi “rasa” syukur jelas tersurat 
dalam sebuah hadis bahwa ”Barang siapa yang tidak bersyukur terhadap sesama 
Manusia, maka dia sesungguhnya tidak bersyukur kepada Tuhan “. Ini berarti 
bersyukur terhadap sesama manusia dengan cara saling memberi dengan penuh rasa 
tulus jelas merupakan tanda bukti bersyukur kepada Tuhan.

Dalam konteks dengan alam pun memelihara adalah kata lain untuk men-syukuri, 
bahkan hukumnya wajib karena tidak kurang 12 ayat Tuhan mewajibkan agar manusia 
tidak membuat kerusakan alam, kerusakan lingkungan hidup, menjaga ekosistem, 
dsb.

Nah selamat bersyukur... semoga Allah SWT selalu memberi hidyahnya... 

Wassalam, 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke