Hukum Puasa Sunnah pada Hari Sabtu

Kategori: Fiqh dan Muamalah1 Komentar // 31 October 2011

http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/hukum-puasa-sunnah-pada-hari-sabtu.html

Sebagaian kalangan ada yang mempermasalahkan berpuasa pada hari Sabtu.
Terutama jika puasa Arofah, puasa Asyuro atau puasa Syawal bertepatan
dengan hari Sabtu. Apakah boleh berpuasa ketika itu? Semoga pembahasan
berikut bisa menjawab keraguan yang ada.



Larangan Puasa Hari Sabtu

Mengenai larangan berpuasa pada hari Sabtu disebutkan dalam hadits,

*áÇó ÊóÕõæãõæÇ íóæúãó ÇáÓóøÈúÊö ÅöáÇóø ÝöíãóÇ ÇÝúÊõÑöÖó Úóáóíúßõãú***

“Janganlah engkau berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan
bagi kalian.”[1] Abu Daud mengatakan bahwa hadits ini mansukh (telah
dihapus). Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.



Beberapa Puasa Ada yang Dilakukan pada Hari Sabtu

Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering melakukan puasa pada
hari Sabtu dan Ahad.



Dari Ummu Salamah, ia berkata,

*ßÇä ÃßËÑ Õæãå ÇáÓÈÊ æ ÇáÃÍÏ æ íÞæá : åãÇ íæãÇ ÚíÏ ÇáãÔÑßíä ÝÃÍÈ Ãä ÃÎÇáÝåã*
**

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa pada hari Sabtu dan
Ahad.” Beliau pun berkata, “Kedua hari tersebut adalah hari raya orang
musyrik, sehingga aku pun senang menyelisihi mereka.”[2]



Kedua: Boleh berpuasa pada Hari Jum’at dan Sabtu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada salah satu
istrinya yang berpuasa pada hari Jum’at,

« ÃóÕõãúÊö ÃóãúÓö » . ÞóÇáóÊú áÇó . ÞóÇáó « ÊõÑöíÏöíäó Ãóäú ÊóÕõæãöì ÛóÏðÇ
» . ÞóÇáóÊú áÇó . ÞóÇáó « ÝóÃóÝúØöÑöì »

“Apakah kemarin (Kamis) engkau berpuasa?” Istrinya mengatakan, “Tidak.”



Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, “Apakah engkau
ingin berpuasa besok (Sabtu)?” Istrinya mengatakan, “Tidak.” “Kalau begitu
hendaklah engkau membatalkan puasamu”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.[3]



Ketiga: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan berpuasa pada hari
Jum’at asalkan diikuti puasa pada hari sesudahnya (hari Sabtu).Dari Abu
Hurairah, ia mengatakan,

äåì ÑÓæá Çááå Õáì Çááå Úáíå æÓáã Úä Õæã íæã ÇáÌãÚÉ ÅáÇ Èíæã ÞÈáå Ãæ íæã ÈÚÏå.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada hari
Jum’at kecuali apabila seseorang berpuasa pada hari sebelum atau
sesudahnya.”[4] Dan hari sesudah Jum’at adalah hari Sabtu.



Keempat: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak melakukan puasa di bulan
Sya’ban dan pasti akan bertemu dengan hari Sabtu.



Kelima: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melakukan
puasa Muharram dan kadangkala bertemu dengan hari Sabtu.



Keenam: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan berpuasa enam hari
di bulan Syawal setelah sebelumnya berpuasa Ramadhan. Ini juga bisa bertemu
dengan hari Sabtu.



Ketujuh: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan berpuasa pada
ayyamul biid (13, 14, dan 15 Hijriyah) setiap bulannya dan kadangkala juga
akan bertemu dengan hari Sabtu.



Dan masih banyak hadits yang menceritakan puasa pada hari Sabtu.[5]



Dari hadits yang begitu banyak (mutawatir), Al Atsrom membolehkan berpuasa
pada hari Sabtu. Pakar ‘ilal hadits (yang mengetahui seluk beluk cacat
hadits), yaitu Yahya bin Sa’id enggan memakai hadits larangan berpuasa pada
hari Sabtu dan beliau enggan meriwayatkan hadits itu. Ha ini menunjukkan
lemahnya (dho’ifnya) hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu.[6]



Murid Imam Ahmad –Al Atsrom dan Abu Daud- menyatakan bahwa pendapat
tersebut dimansukh (dihapus). Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa
hadits ini syadz, yaitu menyelisihi hadits yang lebih kuat.[7]



Namun kebanyakan pengikut Imam Ahmad memahami bahwa Imam Ahmad mengambil
dan mengamalkan hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu, kemudian mereka
pahami bahwa larangan yang dimaksudkan adalah jika puasa hari Sabtu
tersebut bersendirian. Imam Ahmad ditanya mengenai berpuasa pada hari
Sabtu. Beliau pun menjawab bahwa boleh berpuasa pada hari Sabtu asalkan
diikutkan dengan hari sebelumnya.[8]



Kesimpulan:

Ada ulama yang menilai hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu adalah
lemah (dho’if) dan hadits tersebut tidak diamalkan. Dari sini, boleh
berpuasa pada hari Sabtu. Sebagian ulama lainnya menilai bahwa hadits
larangan berpuasa pada hari Sabtu adalah jayid (boleh jadi shahih atau
hasan). Namun yang mereka pahami, puasa hari Sabtu hanya terlarang jika
bersendirian. Bila diikuti dengan puasa sebelumnya pada hari Jum’at, maka
itu dibolehkan.[9]



Rincian Berpuasa pada Hari Sabtu

Dari penjelasan di atas, kesimpulan yang paling bagus jika kita mengatakan
bahwa puasa hari Sabtu diperbolehkan jika tidak bersendirian. Sangat bagus
sekali jika hal ini lebih dirinci lagi. Rincian yang sangat bagus mengenai
hal ini telah dikemukakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin
sebagai berikut:

Keadaan pertama: Puasa pada hari Sabtu dihukumi wajib seperti berpuasa pada
hari Sabtu di bulan Ramadhan, mengqodho’ puasa pada hari Sabtu, membayar
kafaroh (tebusan), atau mengganti hadyu tamattu’ dan semacamnya. Puasa
seperti ini tidaklah mengapa selama tidak meyakini adanya keistimewaan
berpuasa pada hari tersebut.



Keadaan kedua: Jika berpuasa sehari sebelum hari Sabtu, maka ini tidaklah
mengapa. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan
kepada salah satu istrinya yang berpuasa pada hari Jum’at,

« ÃóÕõãúÊö ÃóãúÓö » . ÞóÇáóÊú áÇó . ÞóÇáó « ÊõÑöíÏöíäó Ãóäú ÊóÕõæãöì ÛóÏðÇ
» . ÞóÇáóÊú áÇó . ÞóÇáó « ÝóÃóÝúØöÑöì »

“Apakah kemarin (Kamis) engkau berpuasa?” Istrinya mengatakan, “Tidak.”



Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, “Apakah engkau
ingin berpuasa besok (Sabtu)?” Istrinya mengatakan, “Tidak.” “Kalau begitu
hendaklah engkau membatalkan puasamu”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.[10]



Perkataan beliau “Apakah engkau berpuasa besok (Sabtu)?”, ini menunjukkan
bolehnya berpuasa pada hari Sabtu asalkan diikuti dengan berpuasa pada hari
Jum’at.



Keadaan ketiga: Berpuasa pada hari Sabtu karena hari tersebut adalah hari
yang disyari’atkan untuk berpuasa. Seperti berpuasa pada ayyamul bid (13,
14, 15 setiap bulan Hijriyah), berpuasa pada hari Arofah, berpuasa ‘Asyuro
(10 Muharram), berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah sebelumnya
berpuasa Ramadhan, dan berpuasa selama sembilan hari di bulan Dzulhijah.
Ini semua dibolehkan. Alasannya, karena puasa yang dilakukan bukanlah
diniatkan berpuasa pada hari Sabtu. Namun puasa yang dilakukan diniatkan
karena pada hari tersebut adalah hari disyari’atkan untuk berpuasa.



Keadaan keempat: Berpuasa pada hari sabtu karena berpuasa ketika itu
bertepatan dengan kebiasaan puasa yang dilakukan, semacam berpapasan dengan
puasa Daud –sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa-, lalu ternyata
bertemu dengan hari Sabtu, maka itu tidaklah mengapa. Sebagaimana Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan mengenai puasa satu atau dua hari
sebelum Ramadhan dan tidak terlarang berpuasa ketika itu jika memang
bertepatan dengan kebiasaan berpuasanya .



Keadaan kelima: Mengkhususkan berpuasa sunnah pada hari Sabtu dan tidak
diikuti berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya. Inilah yang dimaksudkan
larangan berpuasa pada hari Sabtu, jika memang hadits yang membicarakan
tentang hal ini shahih. –Demikian penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin-[11]



Keterangan Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) Mengenai
Puasa pada Hari Sabtu

Berikut Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’.

Soal:

Kebanyakan orang di negeri kami berselisih pendapat tentang puasa di hari
Arofah yang jatuh pada hari Sabtu untuk tahun ini. Di antara kami ada  yang
berpendapat bahwa ini adalah hari Arofah dan kami berpuasa karena bertemu
hari Arofah bukan karena hari Sabtu yang terdapat larangan berpuasa ketika
itu. Ada pula sebagian kami yang enggan berpuasa ketika itu karena hari
Sabtu adalah hari yang terlarang untuk diagungkan untuk menyelisihi kaum
Yahudi. Aku sendiri tidak berpuasa ketika itu karena pilihanku sendiri. Aku
pun tidak mengetahui hukum syar’i mengenai hari tersebut. Aku pun belum
menemukan hukum yang jelas  mengenai hal ini. Mohon penjelasannya.



Jawab:

Boleh berpuasa Arofah pada hari Sabtu atau hari lainnya, walaupun tidak ada
puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, karena tidak ada beda dengan
hari-hari lainnya. Alasannya karena puasa Arofah adalah puasa yang berdiri
sendiri. Sedangkan hadits yang melarang puasa pada hari Sabtu adalah hadits
yang lemah karena mudhtorib dan menyelisihi hadits yang lebih shahih.



Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.



Yang menandatangani fatwa ini: ‘Abdullah bin Ghodyan sebagai anggota,
‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
sebagai Ketua.[12]



Demikian pembahasan kami yang singkat ini. Semoga dengan pembahasan ini
dapat menghilangkan keraguan yang selama ini ada mengenai berpuasa pada
hari Sabtu. Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat.



Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi
sempurna.

Panggang, Gunung Kidul, 27 Dzulqo’dah 1430 H

Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id



[1] HR. Abu Daud no. 2421, At Tirmidzi no. 744, Ibnu Majah no. 1726. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 960.
Mengenai perselisihan pendapat mengenai hadits ini akan kami singgung insya
Allah.



[2] Shahih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir, no. 8934. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan.



[3] HR. Bukhari no. 1986.



[4] HR. Ibnu Majah no. 1723. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih.



[5] Lihat Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
2/73-75, ta’liq: Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim Al ‘Aql.



[6] Lihat Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 2/75.



[7] Idem



[8] Lihat Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 2/76.



[9] Ini kesimpulan yang kami ambil dari penjelasan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim, 2/75-76.



[10] HR. Bukhari no. 1986.



[11] Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,
20/57-58, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H.



[12] Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 11747,
juz 10, hal. 397, Mawqi’ Al Ifta


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
 Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar 
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    daarut-tauhiid-dig...@yahoogroups.com 
    daarut-tauhiid-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    daarut-tauhiid-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke