*AIR* by Syarif Niskala (also blogged at syarifniskala.com)
Air dalam berbagai bahasa adalah *de l’eau* (Perancis), *acqua* (Italia), * maji* (Swahili), *w**asser* (Jerman), *de agua* (Spanyol), *nước*(Vietnam), *cai* (Sunda), *banyu* (Jawa), *aia* (Padang), *lau* (Batak Karo), dan *bah*(Batak Simalungun). Semua bahasa pasti memiliki kosakata semakna dengan air. Semua bangsa pasti memiliki cara mengelola air. Tapi tidak akan pernah ada yang akan mampu memiliki air. Kita harus selalu minum air bukan karena di tubuh ini tidak ada air. Sejatinya tubuh kita 65 persennya terdiri atas air. Tapi mengapa kita kehausan dan membutuhkan air setiap saat? Itu semua karena kita tidak mampu memiliki atau mempertahankan air di tubuh kita sendiri. Seberapa kuat Anda mampu menahan buang air (besar atau kecil). Apakah Anda mampu menahan uap air yang keluar dari setiap desahan napas? Apakah Anda mampu tidak berkeringat? Ternyata, kita tidak membutuhkan air. Kita hanya membutuhkan kehadiran aliran air. Angin baru terasa kalau dia bergerak, air memberi manfaat kalau ia mengalir. Air mengalir di pohon untuk mengangkut zat hara. Air mengalir di sungai untuk memberi kehidupan di dalam dan di atas sungai. Air mengalir dalam tubuh untuk mendinginkan, melarutkan, atau sebagai media reaksi biokimia. Air mengalir melalui siklusnya untuk memberi kehidupan kolosal di muka bumi. Air tidak pernah ingin mengalir ke luar bumi ini karena dia memang hanya mengabdi untuk seisi bumi ini. Air cenderung memberi dampak buruk jika diam atau tidak mengalir, baik secara kinetik, fisika, kimia, maupun siklusnya. Air yang diam di pohon akan membusukkan batangnya. Air yang diam di tubuh akan menyebabkan keracunan. Air yang diam di wadah akan menjadi sarang penyakit dan menyebabkan korosi. Hanya air (gunung es) di kutub utara dan selatan yang diamnya justru memberi manfaat besar bagi manusia. Juga, air tidak akan pernah dapat dibeli. Ia terlalu berharga untuk hanya bisa ditukar uang. Kita membeli air minum dalam kemasan (AMDK) sebanyak 600ml seharga Rp3000 bukan untuk airnya. Sama sekali bukan. Kita mengeluarkan uang untuk air minum, air untuk mandi, air untuk hiasan (akuarium, air mancur), atau air untuk membersihkan (pakaian, piring, rumah) bukan untuk membeli airnya melainkan sebagai kompensasi keteledoran dan kesalahan kita! Seandainya saja kita tidak pernah mencemari air sungai, air hujan, air tanah, air laut, air sumur, atau air danau maka kita tidak perlu membayar perusahaan-perusahaan pengelola air untuk mendapatkan manfaat dari air. Bahkan mungkin mereka tidak akan pernah didirikan. Seandainya saja kita tidak merusak hutan dan tidak menutupi permukaan tanah, kita tidak akan membutuhkan pompa-pompa besar untuk menyedot air. Kita tidak membutuhkan pipa-pipa berkilometer untuk menyalurkannya. Kita tidak membutuhkan tenaga dan biaya mahal hanya sekadar untuk minum dan mencuci. Semua karena keteledoran, kealfaan, keserakahan, dan kekeliruan kita. Banjir, kekeringan, ketiadaan air bersih, naiknya permukaan air laut, hujan asam, dan segudang permasalahan terkait air disebabkan oleh tidak bijaknya kita menyikapi zat yang paling vital bagi kehidupan kita. Kebodohan terbesar kita adalah bersikap buruk pada pihak yang paling berjasa dalam kehidupan kita! Sejak zaman dinosaurus hingga zaman Facebook dan Twitter kini, jumlah air tetap sama. Tak berkurang sepersejuta persen pun! Yang berkurang adalah kualitasnya. Yang meningkat hanyalah pencemarannya. Yang bertambah adalah kotoran yang kita tambahkan padanya. Yang kita rusak adalah keseimbangan siklusnya. Karena harmoni alamiahnya kita ganggu maka kita yang harus membayar semua konsekuensi negatifnya, termasuk membayar mahal untuk mendapat manfaat darinya, yang pada awalnya gratis. Jika menilik sebab dan akibat, manakah yang lebih genting, melakukan konservasi air atau merestorasi budaya kita agar *water friendly*? Entahlah. Hanya satu pertanyaan untuk dijawab saat ini. Sudahkah Anda menemukan kembali, sikap terbaik berterima kasih pada air? from the note of @syarifniskala