Beda Tipis, Birokrasi dan Premanisme

Dikutip dari Kompas, 26 maret 2005 
PELBAGAI instansi di Indonesia dari tingkat pusat dan daerah menjadi
sarang "premanisme", pusat "ngobyek", dan bebas mengatur jam kerja.
Siang pertengahan pekan ini Kompas mendatangi Kantor Badan Pertanahan
Nasional di Bogor. Saat itu masih jam kerja, sekitar pukul 14.30,
tetapi sejumlah loket pelayanan, seperti bagian informasi, sudah
kosong ditinggalkan petugas.

SEJUMLAH petugas lain terlihat tidak peduli. Setelah ditanya, baru
mereka menjawab seperlunya- khas di kantor pemerintah- membuat
masyarakat dalam posisi membutuhkan dan menunduk terhadap mereka
seperti perlakuan pegawai kompeni kepada rakyat Hindia Belanda.

"Jam begini sudah mau tutup. Besok saja datang lagi," kata seorang
pegawai tanpa beranjak dari tempat duduk tempat dia mengobrol bersama
dua teman sekantor.

Setelah memaksakan diri bertanya sekali lagi, pertanyaan itu akhirnya
dijawab pegawai tersebut dan Kompas diminta pergi ke sebuah ruangan
untuk menemui petugas yang mengurus peningkatan hak atas tanah.
Setelah menjelaskan prosedur, petugas itu mengatakan, secara teori
proses tersebut selesai dalam 14 hari.

Beberapa waktu lalu Kompas yang tidak memperkenalkan diri sebagai
wartawan sempat ditolak mentah-mentah saat menanyakan status sebidang
tanah. Serba sulit dan birokratis, tetapi berujung pada tawaran: mau
dibantu?

Selanjutnya petugas Badan Pertanahan Nasional itu menyuruh kembali
esok hari untuk mengurus karena menjelang pukul 15.00 kantor sudah
akan tutup. Jauh lebih cepat dibandingkan dengan kantor swasta di
Jabotabek yang umumnya tutup pukul 17.00 dan sering kali lembur hingga
larut malam.

Meski dibantu orang dalam, tidak berarti persoalan selesai sesuai
dengan harapan. Pengalaman Ny Sri, seorang warga Bogor, beberapa waktu
lalu, mengurus peningkatan hak menghabiskan waktu selama
berbulan-bulan, mengeluarkan biaya puluhan juta rupiah dan berakhir
dengan kekecewaan. Status tanah satu-satunya tempat tinggal
keluarganya justru turun dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai.

Kerja santai dan pulang cepat serta mempersulit urusan adalah gambaran
singkat kinerja pegawai negeri. Pekan lalu Kompas saat berkeliling di
Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, juga mendapati kondisi serupa.
Sekitar pukul 13.00 dan pukul 14.00 kantor pemerintah sudah banyak
yang kosong.

Demikian pula di Kalimantan Timur yang kaya-raya, pegawai masuk kantor
terlambat dan pulang cepat merupakan hal biasa, seperti terlihat di
Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara.

MENURUT para pelaku usaha, dunia preman dan birokrasi di Indonesia
hanya memiliki perbedaan tipis, yakni sebatas seragam dinas! Kata
preman yang berarti perampok, penodong, dan pemeras dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Ketiga sejalan betul dengan kinerja "oknum" di
pelbagai jajaran birokrasi Indonesia.

Peras-memeras untuk mengurus pelbagai izin dari tingkat kelurahan
hingga pusat telah membuat ekonomi Indonesia terus melambat. Alih-alih
menjadi fasilitator, oknum pemerintah justru menghambat kinerja
perekonomian nasional.

Handri-bukan nama sebenarnya-seorang pengusaha elektronik, baru saja
mengeluarkan uang Rp 15 juta untuk mendapatkan dua lembar surat berkop
sebuah kecamatan di DKI Jakarta yang di bagian bawahnya bertuliskan
tidak dipungut biaya.

Surat tersebut sebetulnya hanya sebagai pengantar untuk mengurus pajak
atas dua bidang tanah yang baru saja dibeli di kawasan Jakarta Barat.
Biaya Rp 15 juta tersebut sudah merupakan harga diskon karena
sebelumnya oknum lurah yang mengeluarkan surat itu memasang tarif Rp
25 juta.

Zakaria, seorang pemilik mal di Jakarta, mengaku pihak pengelola telah
mengeluarkan uang Rp 1,6 miliar beberapa tahun lalu untuk membiayai
aparat DKI menertibkan pedagang kaki lima (PKL) dan parkir liar yang
menutup akses kompleks tersebut.

Memang, suasana sempat tertib untuk dua minggu saja. Sesudah itu PKL
dan parkir liar kembali tumpah ruah. Sebab, mereka telah membayar
setoran kepada oknum aparat dan preman setempat yang bahu-membahu
menguasai lahan publik, seperti jalan raya dan trotoar.

"Para PKL membayar uang bulanan dan uang harian kepada oknum aparat
besarnya bervariasi, Rp 1.000 hingga Rp 2.000 setiap hari. Ini sudah
praktik tahu sama tahu dan pengusaha yang berusaha secara sah justru
dirugikan," kata Zakaria.

Lain lagi pengalaman Mathew-bukan nama asli-asal Australia yang harus
menerima kenyataan pahit diminta membayar Rp 600 juta oleh seorang
bupati untuk mendapatkan izin membuka sebuah resor wisata. Pria yang
sudah tiga puluh tahun lebih merintis pelbagai industri wisata pantai
di Indonesia ini sangat kecewa atas perlakuan tersebut dan memilih
membuka resor di tempat lain.

"Saat saya memilih memindahkan bisnis, ternyata izin lebih mudah
diperoleh bahkan langsung diberikan gubernur. Indonesia bisa menjadi
surga wisata jika tidak ada hambatan birokrasi," kata Mathew yang kini
berbisnis di kawasan timur Indonesia.

Dia mencontohkan, kawasan Kuta di Bali adalah "Ibu Kota Surfer Dunia".
Ada sekitar 40 juta peselancar di seluruh dunia yang menjadi pasar
potensial bagi wisata pantai di Indonesia.

Kawasan Mentawai, Nias, Pantai Selatan di ujung timur Pulau Jawa, dan
sepanjang Kepulauan Sunda Kecil adalah surga bagi peselancar dengan
kualitas ombak dan eksotisme alam melebihi Hawaii di Amerika Serikat.

Bayangkan seandainya separuh dari 40 juta peselancar mau menghabiskan
waktu di Indonesia. Betapa besar devisa yang dihasilkan dan langsung
menggerakkan perekonomian rakyat.

Di sektor industri tidak ketinggalan pengalaman pahit dialami
Yohan-juga bukan nama asli-pengusaha pabrik sepeda motor di Jawa
Tengah yang telah menjadi bulan-bulanan birokrasi. Sejak awal
bermaksud mendirikan pabrik, oknum lurah setempat langsung mematok
biaya sekian puluh juta rupiah!

"Bahkan dia minta jatah memasukkan pegawai termasuk anaknya. Belum
lagi rongrongan dari pajak dan Bea Cukai turut menyusahkan kami. Bayar
pajak secara benar sesuai aturan justru disalahkan petugas. Kami pun
harus membuat dua bahkan tiga atau empat pembukuan sesuai anjuran
mereka. Seharusnya kami mendapat perlakuan khusus dan kemudahan dengan
melihat industri motor ini menghasilkan devisa bagi negara karena
diekspor ke sejumlah negara di Afrika dan Timur Tengah," kata Yohan.

Itulah realitas hidup di Indonesia, orang kecil dan dunia usaha harus
pasrah dan menjadi pelayan setia keinginan oknum birokrat yang
ternyata ada di mana-mana.

Bahkan di tingkat profesi sederhana seperti sopir angkutan kota
(angkot) pun tak luput dari jeratan kepentingan birokrasi. Asep,
seorang pengemudi angkot di Bogor, mengatakan, kemacetan lalu lintas
di Kota Bogor disebabkan pemberian izin trayek secara bebas oleh
instansi terkait.

"Sering kali satu surat trayek dipakai untuk tiga atau empat angkot.
Otomatis jalanan bertambah macet. Pengemudi merugi, tetapi oknum
aparat tidak mau tahu dan terus menikmati pendapatan dari perizinan
serta bisnis angkot di Bogor," kata Asep.

Dari memperoleh hal mendasar seperti mendapatkan tanah, hak dan tata
guna serta menjalankan usaha, bahkan bekerja sebagai sopir angkutan
kota pun, selalu menjadi sumber pendapatan sampingan para oknum
birokrat. Aneh memang, secara institusi tidak ada penyimpangan, tetapi
selalu ada oknum di hampir seluruh instansi pemerintah.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh
Indonesia (Gapmmi) Thomas Darmawan menjelaskan, tidak hanya pungutan
liar yang menghambat bangkitnya perekonomian. Perangkat peraturan yang
dibuat birokrasi di pusat dan daerah turut mempersulit pihak swasta
dan berdampak terhadap tingginya harga yang harus dibayar konsumen
serta mempersulit kesempatan kerja dan mengurangi kesejahteraan pekerja.

"Pelbagai kebijakan perpajakan atas sebuah produk dari bahan mentah
hingga bahan jadi membuat kita tidak kompetitif. Semisal pajak atas
pengadaan gandum, terigu, hingga produk biskuit membuat industri kita
kalah bersaing. Belum lagi persoalan pengadaan dan pemilikan tanah
yang sering tumpang tindih dan memakan biaya besar," kata Thomas.

Sebagai contoh, di China untuk membuka tambak udang diusahakan oleh
pemerintah kemudian ditawarkan kepada investor. Sedangkan di
Indonesia, dari awal ingin membuka tambak, sejuta masalah sudah
menghadang. Gangguan dari aparat pemerintah hingga oknum masyarakat
membuat pengusaha harus mengeluarkan biaya besar jauh hari sebelum
memulai usaha.

Menanggapi keluhan terhadap birokrasi, Kepala Bagian Humas Kabupaten
Bogor Muhammad Syahuri mengatakan, setidaknya di wilayah Bogor
pihaknya terus menjalankan reformasi birokrasi. Sejak beberapa tahun
terakhir jumlah dinas telah dirampingkan dari 16 menjadi 14 dan jumlah
badan di Pemerintah Kabupaten Bogor dikurangi dari enam menjadi lima.

"Kami sudah mengurangi belanja rutin dengan efisiensi kepegawaian.
Setiap dinas juga diharuskan memiliki standard operation procedure
yang diketahui masyarakat dan pengusaha sehingga jajaran pemerintah
betul-betul menjadi pelayan publik. Semisal pembuatan akta kelahiran
harus selesai dalam waktu paling lama dua minggu. Demikian pula proses
perizinan untuk dunia usaha," kata Syahuri.

Menurut dia, Pemerintah Kabupaten Bogor menyadari masih banyak
kelemahan dan membuka diri terhadap masukan masyarakat serta kritik
dari media massa. Dia mengakui masih banyak kelemahan dalam
inventarisasi data sehingga tidak tertutup kemungkinan terjadi kasus
sengketa tanah seperti terjadi di kawasan Puncak, terutama di lahan
bekas perkebunan. Namun, pihaknya terus mengupayakan koordinasi
antarinstansi untuk menjawab persoalan tersebut serta mengembangkan
kontrol terhadap jajaran pemerintah.

Syahuri mengatakan, kawasan Puncak dan Kabupaten Bogor merupakan
penyangga wilayah Jabotabek sehingga pihaknya secara serius menanggapi
persoalan tata ruang dan rencana wilayah. Penguasaan dan tata guna
lahan di Bogor akan dibenahi seiring dengan pembenahan kinerja birokrat.

Menyangkut soal pemberian komisi bagi aparat pemerintah dari
masyarakat, Syahuri mengatakan, selama hal itu didasari telah adanya
hubungan yang baik dan bukan bersifat memaksa, tentu wajar saja.
Pihaknya berharap masukan dari masyarakat dan media massa untuk
menindak jajaran birokrasi yang memaksa untuk mendapatkan imbalan
tertentu atas pelayanan publik yang diberikan.

Dia mengaku, masih banyak kelemahan yang perlu dibenahi seperti tata
guna tanah hingga manajemen angkutan kota di wilayah "Sejuta Angkot"
tersebut. Harus diakui, membuka diri bagi kritik, transformasi, dan
meningkatkan kesejahteraan merupakan jawaban untuk mengubah citra
birokrasi sebagai sarang "preman berseragam". (Iwan Santosa)





Archives terdapat di http://www.yahoogroups.com/group/desentralisasi-kesehatan
Situs web terkait http://www.desentralisasi-kesehatan.net


 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/desentralisasi-kesehatan/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke