Sebagai pengamat amatiran, saya ingin berpendapat yang mungkin tidak berkenan 
di hati para dokter. Karut marut pelayanan dan capaian kesehatan di negeri ini 
dimulai dari:
Pimpinan Negara yang tidak mempunyai visi tentang tugas negara untuk membuat  
rakyatnya sehat. Membuat rakyat sehat itu bukan (hanya) kepentingan rakyat 
tetapi lebih kepentingan negeri. Seperti kata Bismarck, “pekerja adalah juga 
bagian dari mesin produksi yang harus dirawat agar selalu dapat produktif.” Dan 
kata Foucault, “petani yang sakit-sakitan, tidak akan mampu berproduksi 
optimal”. Jadi membuat rakya sehat adalah bagian dari keinginan negeri untuk 
bisa berpoduksi dan bersaing dalam bidang ekonomi dengan negeri lain.
Pimpinan negeri ini (dan juga banyak kalangan cendekia) yang melihat bahwa 
program kesehatan adalah program “niat baik” pemerintah kepada rakyat. Lebih 
kepentingan rakyat, sehingga ya diusahakan semampunya. Juga karena program 
“niat baik” maka diutamakan pengobatan (dijanjikan gratis pula) kalau sakit.
Karena berorientasi kuratif, maka yang dipersoalkan adalah tersedianya dokter 
yang cukup. Dokter memang penting tetapi berkutat pada jumlah dokter untuk 
membuat rakyat sehat justru melupakan inti tugas negeri tadi. Untuk membuat 
rakyat sehat tidak harus dengan menyediakan dokter. Leimena dalam buku 
“Menjehatkan Rakjat”, berucap, “yang diperlukan untuk pedesaan adalah mantri 
hygiene”. Juga, “pemerintah jangan terlalu sibuk dengan masalah kuratif. 
Biarlah masyarakat yang berperanan dalam hal itu. Pemerintah lebih mengarahkan 
programnay kepada pereventif dan promotif”.
Para pemimpin dan dokter di negeri ini berpikiran bahwa hanya para dokter yang 
dapat menyelesaikan masalah kesehatan. lalu ditambah lagi, terutama dokter 
spesialis. Sehingga kalau tidak ada dokter, apapula spesialis, maka kiamatlah 
dunia kesehatan di negeri ini. 
Tetapi di sisi lain, para dokter juga sibuk dengan soal mencari uang. ini 
sah-sah saja. tetapi jangan dijadikan masalah yang membuat para dokter meski 
berjanji “akan memperlakukan sesame dokter sebagai mana saya ingin 
diperlakukan”, pada kenyataannya melihat dokter lain sebagai pesaing.


Ini saja dulu, lain kali kalau berkenan saya akan sambung lagi. mohon maaf 
kepada para Professor dan para dokter yang lebih piawai. Saya belum berbicara 
mengenai solusinya. Kalau pola pikir awal sudah berbeda, tentu solusi juga akan 
berbeda. Betatapun juga, usul dari seorang yang awam pun mungkin dapat menambah 
wawasan.

Salam hormat,

Kartono M


Sent from Windows Mail

Kirim email ke