Kompas, Kamis, 10 Maret 2005

Sulitnya Mencari Tempat Berobat Murah

DENGAN kain putih melingkar di kepalanya, Deswarni (50) menyusuri sepanjang Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Di bawah terik matahari yang menyengat, Deswarni berdiri sambil memegang spanduk di depan Gedung DPRD DKI Jakarta. Demi menuntut haknya, dia seolah lupa dengan penyakit jantung yang sudah belasan tahun dideritanya. "Kalau bukan kami sendiri, siapa lagi yang akan memperjuangkan nasib kami," ujarnya.

DESWARNI, warga Kampung Cimanggis, bersama ratusan orang lainnya, Rabu (9/3), berunjuk rasa menolak privatisasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Rebo, RSUD Cengkareng, dan RS Haji. Privatisasi dianggap merugikan masyarakat tak mampu seperti mereka. "Kalau diswastakan, biaya berobat sudah pasti akan menjadi lebih mahal," kata Deswarni.

Unjuk rasa yang dilakukan ratusan orang di Gedung DPRD mendesak agar anggota DPRD mau membatalkan swastanisasi RSUD Pasar Rebo, RSUD Cengkareng, dan RS Haji. Selain itu, mereka juga menuntut Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI mencabut Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13, Perda No 14, dan Perda No 15 Tahun 2004 tentang perubahan status RSUD menjadi PT.

"Rumah sakit pemerintah itu dibangun dari uang pajak rakyat dan menjadi milik negara. Kalau sekarang diswastakan, berarti menjadi milik sekelompok orang. Itu berarti ada manipulasi uang masyarakat," kata Pius Toa, tokoh masyarakat di Kelurahan Gedong.

Ia kemudian bercerita, di kampungnya rata-rata warganya bekerja sebagai pengupas bawang dengan upah Rp 5.000 per hari. Kalau RSUD diswastakan, warga harus berobat ke mana.

Sementara itu, Deswarni menceritakan, dia sudah menjadi pasien jantung di RSUD Pasar Rebo sejak tahun 1997. Sampai sekarang, Deswarni harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memeriksakan penyakitnya. Menurut dia, dirinya harus datang ke rumah sakit minimal setiap bulan sekali. Sekali berobat, perempuan yang sudah menjanda itu harus mengeluarkan uang minimal Rp 300.000. Itu belum termasuk jumlah uang yang harus dia keluarkan jika menjalani rawat inap.

Pengobatan yang memakan biaya ratusan hingga jutaan rupiah itu dirasakan sangat memberatkan Deswarni. Perempuan, yang membiayai sendiri kebutuhan hidupnya dengan berdagang kecil-kecilan, itu membiayai pengobatannya sendirian. "Padahal, saya juga punya anak-anak yang memiliki penyakit jantung," ungkap Deswarni.

Susahnya mencari tempat berobat yang murah juga dirasakan Inah (42), warga Kampung Gedong, Jakarta Timur. Inah yang hidup sebagai buruh mencuci ini selalu takut memeriksakan diri atau memeriksakan anaknya yang sakit.

Inah bukan takut dengan dokter. Tetapi, dia lebih takut jika tidak bisa membayar biaya pengobatan yang semakin hari semakin mahal. Inah teringat pengalamannya tiga tahun lalu saat melahirkan anak bungsunya di RSUD Pasar Rebo. Setelah melahirkan, Inah diberi obat yang harus dibelinya dengan harga Rp 51.000. "Karena sama sekali tidak punya uang, saya pergi begitu saja tanpa nebus obat-obatan," tutur Inah.

Sekarang pun Inah masih takut berobat. Penyakit gondok yang sudah beberapa tahun dideritanya juga tidak pernah diperiksakan ke rumah sakit. Menurut dokter yang pernah memeriksanya, untuk mengoperasi gondok di leher Inah, dibutuhkan biaya Rp 10 juta. "Habis itu saya tak berani bertanya-tanya lagi," kata Inah sambil memencet-mencet leher kirinya yang membengkak.

Inah hanyalah buruh cuci dengan upah Rp 150.000 per bulan. Setelah suaminya pergi, Inah harus membiayai tujuh anaknya sendirian. Upah dari mencuci pakaian dia gunakan untuk mengontrak rumah. Sedangkan untuk makan sehari- hari Inah harus mengupas bawang di Pasar Kramat Jati.

Suatu ketika anak bungsu Inah sakit diare. Ia hendak memeriksakan anaknya ke RS Pasar Rebo. Tetapi apa mau dikata, setelah diprivatisasi, biaya pendaftaran saja di rumah sakit tersebut sudah naik dari Rp 2.000 menjadi Rp 5.000. Biaya pendaftaran itu sama dengan upahnya mengupas bawang seharian. "Kalau upah mengupas bawang untuk ke rumah sakit, anak-anak saya makan apa," cetusnya.

UPAYA pemerintah menswastakan RSUD di Jakarta dirasakan sangat mengimpit masyarakat. Bagaimana tidak, setelah kebijakan Pemprov DKI yang menswastakan tiga RSUD di Jakarta, masyarakat masih harus terimpit dengan kenaikan harga BBM yang dilanjutkan dengan kenaikan harga barang-barang dan biaya transportasi.

Meski harga BBM terus dinaikkan, yang katanya untuk mendongkrak kesejahteraan di bidang kesehatan dan pendidikan, nyatanya orang-orang semacam Inah banyak yang tak merasakan manfaatnya. Jangankan mendapat diskon atau pengobatan gratis, melihat kartu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPK-Gakin) saja Inah belum pernah. Padahal, dengan kartu itu, Inah bisa mendapatkan pengobatan gratis.

Seperti dituturkan Inah, dia sudah tinggal di Jakarta sejak kecil. Dia juga sudah memiliki kartu tanda penduduk dan Kartu Keluarga di Kampung Gedong. Namun, hingga sekarang tidak satu pun kartu pengobatan gratis ada di tangannya. "Kalau sakit, ya nunggu diobatin sama majikan," tuturnya.

KEPALA Dinas Kesehatan Abdul Chalik Masulili berkali-kali mencoba meyakinkan bahwa swastanisasi RSUD tak berpengaruh terhadap pelayanan bagi pasien miskin. Meski sudah diswastakan, rumah sakit masih harus menyediakan 50 persen ruang rawat inap dan pelayanannya bagi pasien kelas III. Sedangkan pasien tidak mampu sepenuhnya akan ditanggung pemerintah dengan JPK-Gakin.

Sayangnya, jaminan yang diberikan bertolak belakang dengan kenyataan. Sekarang ini saja Pemprov DKI sudah mengajukan usulan ke DPRD untuk menaikkan tarif puskesmas dan RSUD di DKI. Kenaikannya gila-gilaan, bisa mencapai 400 persen.

Selain itu, Pemprov DKI juga berencana menswastanisasi seluruh RSUD yang ada di Jakarta. Meski rencana privatisasi tidak disetujui Departemen Kesehatan, Pemprov DKI ngotot jalan terus. Ada apa nih! (LUSIANA INDRIASARI)


Do you Yahoo!?
Yahoo! Small Business - Try our new resources site!
Yahoo! Groups Sponsor
ADVERTISEMENT
Children International
Would you give Hope to a Child in need?
 
· Click Here to meet a Girl
And Give Her Hope
· Click Here to meet a Boy
And Change His Life
Learn More


Yahoo! Groups Links

Kirim email ke