Kompas, Selasa, 22 Maret 2005

Pengentasan Kemiskinan, Kail atau Ikan

Oleh Ali Khomsan

PEMERINTAH tengah berancang-ancang menggelar poverty summit atau pertemuan tingkat tinggi untuk membahas kemiskinan. Dalam waktu satu minggu setelah diumumkannya rencana poverty summit, 3.000 proposal dari berbagai LSM telah masuk menawarkan konsep terbaik untuk memecahkan masalah besar bangsa, kemiskinan (Kompas, 22/2).

Tampaknya setelah sekian puluh tahun berperang melawan kemiskinan kita belum mempunyai grand strategy untuk membebaskan lebih dari 30 juta rakyat Indonesia yang menderita karena tekanan ekonomi. Padahal, kemiskinan harus diatasi secara berkesinambungan dari tahun ke tahun tanpa putus sehingga jumlahnya dikurangi seminimal mungkin.

Inti pemecahan masalah kemiskinan adalah tersedianya lapangan kerja dan hal ini dapat diwujudkan jika sektor industri dan pembangunan berjalan lancar. Sejak krisis ekonomi yang terjadi tahun 1998 kehidupan bangsa kian membaik. Pada tahun 1998 angka kemiskinan mencapai 49 juta dan tiga tahun berikutnya turun menjadi rata-rata 37 juta. Ini berarti tiga tahun pascakrisis ekonomi, kita belum dapat mengurangi jumlah orang miskin secara signifikan meski angka besarannya relatif lebih baik dibandingkan dengan saat krisis tahun 1998.

Ketersediaan lapangan kerja menjadi tanggung jawab berbagai sektor, seperti sektor pertanian, perindustrian, dan perdagangan. Sektor-sektor inilah yang akan menggerakkan ekonomi masyarakat dan memberikan kontribusi pendapatan pada setiap keluarga miskin.

Mereka yang telah mendapat pekerjaan tidak secara otomatis bebas dari kemiskinan. Ada orang yang bekerja dengan curahan waktu yang kurang sehingga penghasilannya juga minimal. Ada pula yang bekerja dengan upah tidak layak meski curahan waktunya maksimal.

ORANG miskin selalu ada di belahan bumi mana pun, bahkan di negara maju. Mereka ada yang hidup menggelandang, ada pula yang hidup normal. Yang hidup normal penampilannya tidak seperti orang miskin, tetapi tingkat penghasilannya yang menentukan bahwa dia miskin sehingga berhak mendapat charity dari pemerintahnya.

Hiruk-pikuk mengenai alih alokasi subsidi BBM kini masih digodok pemerintah. Sebenarnya lebih pas jika subsidi BBM untuk orang miskin diarahkan pada program charity. Oleh karena itu, tidak aneh jika muncul ide pembebasan SPP selama masa wajib belajar sembilan tahun, orang miskin dapat berkunjung ke puskesmas gratis, dan sebagainya.

Apabila hal ini akan dilembagakan maka sebenarnya kita hanya menyempurnakan konsep JPS (jaring pengaman sosial). Sebagian orang tidak setuju jika JPS dilestarikan karena katanya hal ini akan menumbuhkan sifat ketergantungan orang miskin pada program bantuan. Namun, coba tengok bagaimana Pemerintah Amerika Serikat merancang social security bagi rakyatnya yang miskin. Berpuluh-puluh tahun program charity bertahan dan manfaatnya sungguh besar dirasakan warga AS yang miskin.

Di bidang gizi, Amerika mencanangkan program WIC (Supplemental Food Proram for Women, Infants and Children), foodstamps, school lunch, school breakfast, school milk, dan nutrition for elderly. Semua dengan sasaran orang miskin. Selain itu ada program bantuan gas di musim dingin untuk rumah-rumah orang miskin. Sebagian besar program itu dilakukan dengan sistem voucher.

Ini semua sama dengan program JPS di Indonesia yang baru saja berakhir. Kita di Indonesia melalui program JPS mengimplementasikan program bantuan persalinan, makanan tambahan untuk anak balita, makan siang untuk anak jalanan, beasiswa SD-SLTA, beras miskin, dan sebagainya. Ini yang menurut saya harus menjadi bagian penting program kemiskinan. Kita tidak usah mempersoalkan pemeo mau beri kail atau ikan pada orang miskin. Kail memang penting, tetapi ikan juga penting. Penyediaan lapangan kerja dari berbagai sektor adalah kail, sedangkan program charity adalah ikan.

Untuk meningkatkan daya ungkit ekonomi orang miskin kita sering berulang- ulang memberikan modal bergulir yang boleh dikatakan gagal total. Di era Orde Baru dulu Departemen Pertanian meluncurkan program bergulir untuk wanita tani yang disebut Program Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG) berupa bibit tanaman, bibit unggas, dan bibit ikan. Departemen Sosial juga pernah memberikan bantuan domba bergulir. Program-program bergulir semacam ini umumnya tidak berhasil karena masyarakat tidak mau menggulirkan lagi modalnya pada anggota masyarakat yang lain. Sementara tindakan tegas kepada orang yang tak menggulirkan bantuan pemerintah juga tak pernah dilaksanakan karena alasan kemanusiaan. Jadi, lengkap sudah risiko kegagalan yang semakin besar dari program semacam ini.

JIKA saat ini ada 3.000 proposal dari LSM untuk program pengentasan kemiskinan, pemerintah harus jeli mencermatinya. Akan lebih baik jika Menko Kesra merumuskan dulu model pengentasan kemiskinan versi pemerintah yang disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Dalam hal ini Menko Kesra bisa meminta sumbangan pemikiran dari perguruan tinggi, lembaga penelitian, atau LSM. Dalam pelaksanaannya, pemerintah bisa mendelegasikan program kemiskinan kepada LSM agar kebocoran dana dapat diperkecil. Sebab, jika program kemiskinan ini diproyekkan oleh birokrat, 30 persen dana bakal menguap. Bukankah tingkat korupsi kita sekitar 30 persen?

Pemerintah harus berhati-hati menghitung dana subsidi BBM yang akan dialihkan ke program kemiskinan. Nilai tambah adanya program ini harus lebih besar dibandingkan dengan beban yang ditanggung orang miskin akibat naiknya harga BBM. Kenaikan BBM menimbulkan efek domino berupa naiknya harga berbagai kebutuhan masyarakat. Kalau ternyata orang miskin merasa lebih sengsara dengan adanya kenaikan BBM, sementara program kemiskinannya tidak dirasakan cukup signifikan, pemerintah akan menanggung gejolak sosial yang mungkin muncul di tingkat masyarakat.

Pemerintah sering terlalu bersemangat dalam menyosialisasikan program bantuan untuk orang miskin. Sebagai contoh, dalam program beras miskin masyarakat seharusnya dapat membeli 20 kg beras dengan harga Rp1.000/kg. Kenyataannya, mereka hanya dapat membeli 5-10 kg beras. Ini menimbulkan kekecewaan. Mengapa ini terjadi? Karena beras yang disediakan Perum Bulog tidak sebanding dengan jumlah orang miskin yang akan dicakup. Di masyarakat sendiri, jika ada program bantuan pemerintah, mereka berbondong-bondong menyatakan diri sebagai orang miskin.

Untuk menetapkan batas kemiskinan memang bukan urusan gampang. BPS (2001) menggunakan cut off point penghasilan Rp 100.000 per kapita per bulan untuk wilayah kota dan sekitar Rp 80.000 untuk desa. Sementara itu, BKKBN sejak beberapa tahun lalu menerapkan ukuran kemiskinan dengan pendekatan yang lebih operasional, yakni dengan membagi keluarga dalam kategori: Prasejahtera, Sejahtera I, Sejahtera II, Sejahtera III, dan Sejahtera III plus.

Keluarga dimasukkan dalam kategori Prasejahtera apabila tidak dapat memenuhi satu dari lima syarat berikut: melaksanakan ibadah menurut agamanya, makan dua kali sehari atau lebih, pakaian yang berbeda untuk berbagai keperluan, lantai rumah bukan dari tanah, dan bila anggota keluarga sakit dibawa ke sarana kesehatan.

Apabila dua pendekatan ukuran kemiskinan itu masih dianggap belum pas, perlu dirumuskan kembali hakikat kemiskinan dengan menambah beberapa variabel, misalnya, adanya anak usia sekolah yang tidak bersekolah, adanya anak di bawah umur yang turut mencari nafkah, adanya balita kurang gizi, orangtua terkena PHK. Untuk itu, berbagai institusi yang menaruh perhatian dalam masalah kemiskinan hendaknya dilibatkan dalam perumusan kriteria ini. Selanjutnya sosialisasi standar kemiskinan ini harus dilakukan di tingkat masyarakat agar mereka mengetahui hak-haknya apabila ada program-program kemiskinan yang akan diluncurkan oleh pemerintah.

Ali Khomsan Dosen Departemen Gizi Masyarakat IPB


Do you Yahoo!?
Yahoo! Small Business - Try our new resources site!
Yahoo! Groups Sponsor
ADVERTISEMENT
click here


Yahoo! Groups Links

Kirim email ke