Saudara Benny Wu yang budiman,

Judul buku yang saya miliki adalah Entrance to Vinaya (Vinayamukha)
dalam bahasa Inggris, terbitan Universitas Buddhis Mahamakut di
Thailand. Saya tidak tahu apakah sama atau tidak.
Terima kasih banyak atas tanggapan Anda, akan saya pelajari terlebih
dahulu. Sekali lagi terima kasih.

Metta,

Tan

--- In Dharmajala@yahoogroups.com, "Benny Wu" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Bro dh4m4duta,
>
> Apakah buku vinayamukha itu sama dengan buku "Ordination
Procedure" oleh
> pengarang yang sama juga ? Karena saya adanya yang itu dan seperti
isinya
> mirip sekali.
>
> Cuma berbagi pendapat saja yah, semoga benar.
>
> tentang pertanyaan pertama,
> Seingat saya dulu saya pernah mendapatkan penjelasan bahwa jika
seorang
> bhikkhu itu cacat maka pandangan umat awam yang memang masih penuh
dengan
> kilesa akan melihat rendah atau menghina bhikkhu tsb. Mungkin hal
tsb bisa
> membuat dampak buruk bagi sangha atau umat lainnya. Termasuk kasim
karena
> bisa menimbulkan keadaan yg tidak diinginkan mengingat sangha
adalah
> panutan umat.
>
> Tentang Pacittiya ke-66 dan 67,
> Disini yang menjadi patokan Sacittaka dan Acittaka adalah dengan
> niat/kesadarannya bukan karena wanitanya.
> Didalam Pacittiya semua yang dituliskan dengan niat/kesadaran
dianggap
> Sacittaka. Yang tanpa dianggap Acittaka.
> Kalau semua dianggap Acittaka, maka yang dengan niat/kesadaran
jadi tidak
> melanggar dong.
>
> CMIIW
>
> with Metta
>
>
>
>
> "dh4rm4duta" <[EMAIL PROTECTED]>
> Sent by: Dharmajala@yahoogroups.com
> 05/04/2006 05:56 PM
> Please respond to
> Dharmajala@yahoogroups.com
>
>
> To
> Dharmajala@yahoogroups.com
> cc
>
> Subject
> [Dharmajala] Diskusi beberapa topik menarik Vinaya
>
>
>
>
>
>
> Diskusi Tentang Vinaya
>
> Belakangan ini saya sedang menterjemahkan buku Vinayamukha (The
> Entrance to the Vinaya) karya Somdetch Phra Maha Samana Chao Krom
> Phraya Vajirananavarorasa. Ada beberapa hal dan pertanyaan menarik
> yang ingin saya diskusikan di sini.
>
> 1.Mengapa seorang yang rusak alat kelamin laki-lakinya tidak boleh
> bergabung dengan Sangha?
>
> Ada lima hal wajib (sampatti) yang harus dipenuhi bila seseorang
> hendak bergabung dengan Sangha:
>
> (1) Orang yang berhasrat untuk menerima upasampada haruslah pria.
>
> (2) Ia harus mencapai usia 20 tahun sebagaimana yang disyaratkan,
> dimana usia ini dihitung semenjak mulainya pembuahan (dengan
> menganggap bahwa janin berada dalam kandungan ibunya selama 6
bulan
> menurut penanggalan lunar).
>
> (3) Tubuh orang itu hendaknya mencerminkan seorang pria yang
> sempurna. Seorang kasim dengan demikian tidak diizinkan menjadi
> bhikkhu. Selain itu, organ-organ tubuh lainnya harus sempurna dan
> lengkap. Inilah yang dimaksud dengan terbebas dari kecacatan.
>
> (4) Ia hendaknya tidak pernah melakukan kejahatan-kejahatan sangat
> berat, seperti membunuh ibu, membunuh ayah, dan lain sebagainya.
>
> (5) Ia hendaknya tidak pernah melakukan pelanggaran-pelanggaran
yang
> dianggap berat oleh Buddhasasana, seperti melanggar aturan-aturan
> parajika sebelum ditahbiskan sebagai bhikkhu. Atau, kendati ia
> sebelumnya pernah menjadi bhikkhu, tetapi memiliki pandangan salah
> dan menganut keyakinan lainnya.
>
> Marilah kita ulas butir yang ketiga saja. Berdasarkan butir ketiga
> tersebut seseorang yang rusak organ kelamin prianya tidak dapat
> bergabung menjadi bhikkhu. Ini adalah suatu syarat yang tidak
dapat
> ditawar-tawar lagi, dan bila ternyata orang semacam itu telanjur
> diupasampadakan sebagai bhikkhu, maka ia harus diusir dari sangha.
> Terus terang, timbul pertanyaan dalam diri saya mengenai makna
dari
> butir aturan tersebut. Jika memang benar bahwa seorang samana
tidak
> menikah, apakah perlunya lagi organ kelamin pria? Saya masih belum
> menemukan jawaban masuk akal bagi hal ini. Sudilah kiranya rekan-
> rekan sekalian membantu memberikan jawabannya.
>
> 2.Sacittaka dan Acittaka
>
> Sacittaka berarti pelanggaran (apatti) yang dilakukan di bawah
> kesadaran dan dengan disertai niat sebelumnya. Sebaliknya acittaka
> adalah pelanggaran yang tidak disertai niat sebelumnya. Barangkali
> timbul pertanyaan, apakah adil jika seorang melakukan kesalahan
tanpa
> disertai niat sebelumnya dapat dianggap sebagai pelanggaran yang
> layak dijatuhi sanksi? Buku tersebut membandingkannya dengan
> pengadilan duniawi yang juga menjatuhkan hukuman bagi suatu
kesalahan
> kendati orang itu melakukannya tanpa sengaja. Contohnya adalah
> melanggar lampu lalu lintas. Meskipun kita mengatakan bahwa kita
> tidak sengaja melakukannya di hadapan polisi, tetap saja kita akan
> ditilang. Baik, penjelasan ini untuk sementara kita anggap masuk
akal.
> Kini kita akan mendiskusikan Pacittiya 51 mengenai minum minuman
> keras. Butir aturan tersebut merupakan acittaka, jadi baik
disengaja
> maupun tidak disengaja bila seorang bhikkhu minum minuman keras ia
> dianggap telah melakukan pelanggaran. Timbul beberapa pertanyaan
> dalam diri saya. Berdasarkan aturan tersebut, logikanya, bila
seorang
> bhikkhu tanpa sengaja minum air yang telah ditetesi oleh minuman
> keras walau setitik saja tanpa sepengetahuannya, maka ia telah
> dianggap melakukan pelanggaran. Jika demikian halnya, seseorang
yang
> benci kepada seorang bhikkhu dapat saja mencampuri minuman seorang
> bhikkhu dengan setitik minuman keras untuk mempermalukannya.
Apakah
> adil bila itu dianggap sebagai pelanggaran? Inilah pertanyaan yang
> hendak kita diskusikan. Saya telah berusaha merenungkan jawaban
bagi
> pertanyaan tersebut dan inilah hasilnya: Vinaya dimaksudkan untuk
> memperbaiki perilaku seorang bhikkhu dan meningkatkan kualitasnya.
> Jadi aturan pacittiya mengenai minuman keras di atas dimaksudkan
agar
> seorang pelanggar Vinaya tidak mencari celah untuk lolos dari
sanksi
> dengan mengatakan bahwa pelanggarannya itu "tidak disengaja."
Mudah
> saja mengatakan, "Saya tidak sengaja meminum minuman keras itu."
> Padahal ia memang sengaja meminumnya. Ini dapat diumpamakan dengan
> kita saat ditangkap polisi karena melanggar lampu atau tanda lalu
> lintas. Kita akan mengatakan bahwa itu semua terjadi di luar
> kesengajaan kita, padahal kita memang sebelumnya telah memiliki
niat
> melanggarnya. Hukum memang sengaja dibuat tanpa pandang bulu demi
> menjerat orang yang sengaja melanggarnya. Jadi sengaja atau tidak
> disengaja, Anda tetap harus mendapatkan sanksi. Inilah sisi
positif
> hukum, karena tidak mudah mengetahui apakah seseorang benar-benar
> sengaja atau tidak sengaja, selain dirinya sendiri. Tetapi masih
> tersisa pertanyaan, apakah ini adil bagi orang yang BENAR-BENAR
tidak
> sengaja. Sepintas memang terkesan tidak adil, karena orang itu
> sesungguhnya tidak berniat melakukan pelanggaran. Meskipun
demikian,
> bila kita merenungkan kembali, benar-benar susah menciptakan suatu
> hukum yang adil sepenuhnya. Saya menyimpulkan bahwa Vinaya juga
bukan
> suatu "hukum" yang 100 % adil dan benar. Hidup ini memang bersifat
> dukkha, jadi tidak ada sesuatupun yang 100 % memuaskan. Jika
aturan
> pacittiya di atas ditambahkan kalimat "hanya bagi yang sengaja
> meminumnya," maka akan banyak orang yang terdorong untuk mencicipi
> minuman keras dan setelah itu mengatakan, "Wah saya tidak sengaja
> meminumnya. Saya tidak tahu kalau itu adalah minuman keras."
> Komunitas bhikkhu akan menjadi rusak karenanya. Sekali lagi, tidak
> aturan yang dapat dijadikan solusi sempurna bagi segala sesuatu.
Oleh
> karena itu, seseorang juga hendaknya tidak terlalu melekat pada
> Vinaya. Demikianlah hasil pemikiran saya. Kendati demikian, saya
> masih belum puas dengan hasil pemikiran tersebut, sehingga memohon
> kesediaan rekan-rekan sekalian untuk berbagi wawasan mengenai hal
> tersebut.
> Pertanyaan berikutnya adalah mengenai Pacittiya 66 dan 67.
Pacittiya
> ke-66 menyebutkan bahwa bila seorang bhikkhu dengan sadar pergi
> dengan serombongan pencuri, maka ia telah melakukan pelanggaran.
> Sebaliknya, Pacittiya ke-67 mengatakan bahwa jika seorang bhikkhu
> dengan tanpa kesadaran dan sepengetahuannya telah pergi dengan
> serombongan wanita, maka ia dianggap telah melakukan pelanggaran.
> Jadi Pacittiya ke-66 dianggap sebagai suatu sacittaka, sedangkan
yang
> ke-67 dianggap sebagai suatu acittaka. Pertanyaan saya adalah
mengapa
> wanita dianggap memiliki "potensi merusak" yang lebih kuat
> dibandingkan dengan pencuri? Mengapa tidak semuanya digolongkan
> sebagai acittaka saja? Ini pertanyaan yang belum terpecahkan.
> Sebenarnya, jika semua butir aturan dijadikan acittaka, maka hal
ini
> memiliki nilai yang lebih positif, karena seorang bhikkhu akan
lebih
> berhati-hati dalam hidup kesehariannya. Tetapi perlu dipertanyakan
> pula apakah sikap hati-hati dalam setiap aspek ini benar-benar
> bermanfaat bagi perkembangan spiritual? Apakah ini tidak akan
> menjadikan seseorang menjadi merosot mementingkan hal-hal lahiriah
> saja?
>
> 3. Rangkuman pertanyaan
>
> Jadi pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab adalah:
>
> 1. Mengenai rusaknya organ kelamin pria dan izin bergabung dengan
> Sangha.
> 2. Perbedaan antara Pacittiya ke-66 dan 67.
>
> Terlepas dari semua itu, sebagai penutup akan saya kutipkan pula
apa
> yang telah dikemukakan oleh Yang Arya Vajirananavarorasa sebagai
> berikut:
>
> Para bhikkhu yang hendak mengikuti aturan dengan ketat, namun
tanpa
> pemahaman yang baik terhadap Vinaya, akan menjalankannya secara
> membuta. Mereka kini hidup pada zaman dan negeri yang berbeda,
> sehingga pastilah akan mengalami kesulitan dalam mempraktekkan
Vinaya
> tersebut secara membuta atau terlampau melekat pada tradisi-
tradisi
> kuno yang dipegang para bhikkhu di zaman dahulu - yang
sesungguhnya
> tidak mencerminkan sesuatu yang benar-benar penting. Akibat
kekakuan
> tersebut, Vinaya tidak akan memberikan banyak manfaat bagi mereka,
> selain berbagai permasalahan yang akan timbul. Barangsiapa yang
> mempraktekkan Vinaya tanpa disertai kesadaran mendalam serta
> kebijaksanaan, akan menjadi arogan dan berpikir bahwa mereka
> menjalankan Vinaya lebih ketat dibandingkan lainnya. Mereka
mencerca
> bhikkhu lainnya lebih buruk dalam hal pelaksanaan Vinaya ketimbang
> mereka. In imerupakan tindakan tak terpuji, karena akan
membangkitkan
> kejijikan bhikkhu lainnya terhadap kesombongan mereka, sehingga
> bhikkhu yang berpandangan salah tersebut akan menuai permasalahan
> bagi dirinya sendiri. (The Entrance to the Vinaya halaman 19)
>
> Semoga dapat menjadi topik diskusi yang menarik.
>
> Metta,
>
>
> Tan
> 30 April 2006
>
>
>
>
>
>
>
>
> ** Menyadari apa yang sesungguhnya sedang terjadi SAAT INI di
dalam diri
> saya maupun di luar diri saya **
>
> ** Kami kembali tuk hidup dalam kekinian yang menakjubkan; tuk
menanami
> taman hati kami benih-benih kebajikan; serta membuat fondasi
pengertian
> dan cinta kasih yang kokoh **
>
> ** Kami mengikuti jalur perhatian penuh, latihan tuk melihat dan
memahami
> secara mendalam agar mampu melihat hakikat segala sesuatu,
sehingga
> terbebas dari belenggu kelahiran dan kematian **
>
> ** Kami belajar tuk: berbicara dengan penuh cinta kasih, menjadi
penuh
> welas asih, menjadi perhatian terhadap pihak-pihak lain pagi
ataupun sore
> hari,  membawa akar-akar suka cita ke banyak tempat, membantu
sesama
> melepaskan kesedihan; dan tuk menanggapi dengan penuh rasa syukur
> kebajikan orang tua, para guru, serta sahabat-sahabat kami **
> Yahoo! Groups Links
>







** Menyadari apa yang sesungguhnya sedang terjadi SAAT INI di dalam diri saya maupun di luar diri saya **

** Kami kembali tuk hidup dalam kekinian yang menakjubkan; tuk menanami taman hati kami benih-benih kebajikan; serta membuat fondasi pengertian dan cinta kasih yang kokoh **

** Kami mengikuti jalur perhatian penuh, latihan tuk melihat dan memahami secara mendalam agar mampu melihat hakikat segala sesuatu, sehingga terbebas dari belenggu kelahiran dan kematian **

** Kami belajar tuk: berbicara dengan penuh cinta kasih, menjadi penuh welas asih, menjadi perhatian terhadap pihak-pihak lain pagi ataupun sore hari,  membawa akar-akar suka cita ke banyak tempat, membantu sesama melepaskan kesedihan; dan tuk menanggapi dengan penuh rasa syukur kebajikan orang tua, para guru, serta sahabat-sahabat kami **




SPONSORED LINKS
Religion and spirituality Spirituality


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke