Berbahagialah orang yang menyimpan Tali Pusat-nya Sewaktu Bayi!!!

Cerita  Ibu  gua  waktu  dulu,  klo  tali  pusat kita sewaktu bayi itu bisa kita
jadikan obat di saat kita sakit. Rendam di segelas air dan minum air tersebut.

Apakah mitos ato emang budaya ratusan tahun lalu itu emang Benar Adanya ??

Klo  sekarang  kita punya duit banyak saat ini, mungkin bayi-bayi kita bisa kita
simpan  tali  pusat di Bank Tali Pusat, klo kaga' ada duit, yah lanjutkan budaya
leluhur kita yang telah lama ada.

Mungkin  Peradaban  Sebelum  kita  Lebih  Maju  daripada  apa  yang  pernah kita
bayangkan!

Selamat Membaca :-)

--------------------------------------------------------------------------------

[ Sabtu, 11 Juli 2009 ]
Mengikuti Proses "Menabung" Tali Pusat Bayi ke Singapura (1)
Ambil Darah, Dokter Berpacu dengan Ari-Ari Bayi

Belajar  dari  pengalamannya  harus  ganti hati, ketika dua hari lalu memperoleh
cucu  kembar,  Dahlan  Iskan,  chairman/CEO  Jawa  Pos,  meminta agar tali pusat
cucunya  itu disimpan. Bukan dengan cara tradisional, melainkan dengan cara baru
yang  lagi  banyak  dicoba  di seluruh dunia: menyimpannya di bank tali pusat di
Singapura. Berikut laporan mengenai hal itu.

Nur Aini Rosilawati, Surabaya

---

Yang  disimpan  itu  sebenarnya  tidak  lagi  berupa tali pusat, tapi darah yang
diambil  dari  tali  pusat.  Darah  yang  sudah dimasukkan dalam kantong plastik
dengan  didesain khusus itulah yang dikirim ke Singapura. Di sana darah tersebut
dipisah-pisahkan lagi untuk hanya diambil inti selnya.

Inti  sel  darah  tali pusat itulah yang disimpan baik-baik di dalam tabung yang
dinginnya mencapai 196 derajat celcius di bawah nol. Kelak, siapa tahu, inti sel
darah  itu  diperlukan.  Yakni,  ketika  si  bayi, setelah besar atau tua kelak,
terkena penyakit.

Inti  sel  darah tali pusat tersebut bisa disuntikkan (ditransplantasikan) untuk
mengatasi penyakitnya itu. Misalnya, kelak si bayi mengalami sakit liver seperti
kakeknya. Maka, secara teoretis, tidak perlu lagi menjalani transplantasi. Cukup
diatasi  dengan  inti  sel  darah  tali  pusat  tersebut. (Lihat bagian 2 serial
tulisan ini besok).

Karena itulah, Dahlan mengizinkan wartawan Jawa Pos dan fotografernya ikut masuk
ke ruang persalinan di RS Surabaya Internasional ketika putrinya, Isna Fitriana,
melahirkan  bayi kembar itu Kamis lalu (9/7). Dengan begitu, mereka bisa melihat
langsung proses pengambilan darah dari tali pusat tersebut.

Bahkan, wartawan Jawa Pos sudah mendampingi Isna sejak sehari sebelumnya. Sebab,
untuk  mengikuti  program  penyimpanan  darah  tali  pusat  itu,  sang ibu harus
menjalani  serangkaian pemeriksaan sejak sehari sebelumnya. Tujuannya, terutama,
melihat  apakah  darah  sang ibu memiliki beberapa kelemahan. Misalnya, mengidap
virus atau penyakit.

Informasi  itu  diperlukan  untuk  membandingkan  dengan  darah  dari tali pusat
bayinya.  Lebih  khusus  lagi,  apakah  ada  virus  HIV/AIDS, hepatitis B dan C,
cytomegalovirus  (CMV),  dan  sifilis.  ''Jika hasil pemeriksaan darah ibu tidak
menunjukkan  adanya penyakit tersebut, darah bayi bisa disimpan di bank darah,''
terang Hidayat, branch representative Surabaya PT Cordlife Indonesia, perusahaan
penyimpanan  inti  sel  darah  tali  pusat di Singapura. Artinya, jika darah ibu
tercemar, bayinya juga mungkin mengidap penyakit tersebut. Dalam kondisi begitu,
darah dari tali pusat bayi tidak bisa disimpan dalam bank darah.

Hari  Kamis  lalu  itu,  pukul  10.00, Isna mulai dibawa ke ruang operasi. Istri
Martha  Dinata itu memang akan melahirkan secara caesar. "Sebenarnya, saya ingin
melahirkan secara alamiah saja. Tapi, saya sudah tidak kuat bergerak lagi," ujar
Isna yang kini menjadi pengusaha mandiri itu. "Baru 36 minggu saja sudah seperti
ini. Bagaimana kalau harus melahirkan pada minggu ke-40," tambahnya sambil terus
berbaring.  Kandungannya  memang  begitu  besar  sehingga tiap ke dokter pun dia
harus pakai kursi roda.

Kemudian, setelah bayi lahir, memang diketahui berat masing-masing bayi mencapai
2,6  kg dan 2,7 kg. Dokter yang menangani adalah Prof dr Suhartono DS SpOG KFER,
dokter   spesialis   kandungan  yang  juga  konsultan  fertilitas  endokrin  dan
reproduksi yang juga membantu kelahiran Isna itu 27 tahun lalu.

Pukul  10.30,  Isna  sudah  menjalani  pembiusan  lokal  yang  dilakukan oleh dr
Hardiono  SpAnKIC,  spesialis  anestesi.  Terdengar  jerit pelan dari mulut Isna
ketika jarum disuntikkan ke tulang punggungnya. Perawat berusaha memegangi tubuh
Isna  yang diposisikan melengkung, seperti udang, agar tidak bergerak. ''Ditahan
ya Mbak. Agak sakit,'' kata dr Hardiono.

Sesaat  kemudian,  Isna  mengatakan  kakinya sakit, namun tidak bisa digerakkan.
''Tidak  apa-apa,  itu memang efek obatnya,'' lanjut dr Hardiono. Beberapa menit
kemudian, Isna terlihat sudah mengantuk.

Tidak  lebih  dari  lima belas menit, Prof Suhartono, didampingi dr Hendra Sukma
Ratsmawan  SpOG,  masuk  ke  ruang  operasi.  Prof  Suhartono  melakukan  insisi
(pembedahan)  melintang  sekitar  delapan  sentimeter  pada  perut  Isna. Dengan
menggunakan pisau, Prof Suhartono dan dr Hendra membuka perut Isna hingga sampai
bagian rahim.

Sekitar  pukul  11.02,  lahirlah  bayi  pertama  berjenis kelamin laki-laki yang
beratnya  2.600  gram dan panjang 48 sentimeter. Dari situlah proses pengambilan
darah  tali  pusat  itu dimulai. Ketika dikeluarkan, tentu si bayi masih terikat
dengan  tali  pusat  yang  meng­hubungkannya  dengan  plasenta  (ari-ari).  Prof
Suhartono  lantas  menjepit  tali  pusat  itu  di dua tempat. Jarak antarjepitan
sekitar 5 cm.

Selesai  menjepit,  Prof  Suhartono lantas memotong tali pusat agar si bayi bisa
diserahkan  kepada  dr  Agus  Harianto  SpA (K), dokter anak yang akan memeriksa
kondisi sang bayi.

Tidak  sulit  bagi  dr  Hendra melakukan itu. Dia mencari vena yang memang mudah
dilihat  karena  berwarna  biru dari sisa tali pusat yang masih terhubung dengan
plasenta.  Vena  itulah yang dia coblos dengan jarum yang sudah terhubung dengan
kantong plastik.

Ketika dr Hendra mengambil darah tali pu­­sat dan dr Agus merawat bayi yang baru
di­putus  tali  pusatnya,  Prof Suhartono mulai mengambil bayi kedua. Yakni bayi
wanita  yang  beratnya  2.700 gram dengan panjang sama: 48 cm. Kepada bayi kedua
ini,  juga  dilakukan  proses  yang  sama.  Yakni  mengambil darah tali pusatnya
sebanyak kira-kira 100 ml.

Agar  darah  yang  bisa  diambil  cukup  ba­nyak,  Prof  Suhartono terlebih dulu
memperbaiki   posisi   tali   pusat  agar  tidak  melintir.  Prin­sipnya  memang
sebanyak-banyaknya   da­rah   yang  bisa  diambil.  Tentu  tujuannya  agar  bisa
mendapatkan  sebanyak-banyaknya  inti sel darah tali pusat itu. Kian banyak inti
sel  yang  bisa  didapat, kian tinggi sukses yang bisa dicapai -seandainya kelak
inti  sel darah itu dipergunakan untuk memperbaiki organ-organ tubuh yang sakit.
Karena  itu,  untuk memaksimalkan perolehan darah, Prof Suhartono sampai memijat
pelan bagian vena hingga seluruh darahnya keluar tuntas.

Prof   Suhartono  mengatakan,  pengambilan  darah  tali  pusat  harus  dilakukan
secepatnya. Sebab, ari-ari keluar paling lama empat menit setelah bayinya lahir.
Nah,  bila  ari-ari  sudah  keluar,  darah  tali  pusat  akan mengering. ''Jadi,
berkejaran  dengan  waktu.  Sebelum  ari-ari  keluar,  darah tali pusat sesegera
mung­kin diambil,'' terangnya.

Berapa   banyak  seharusnya  darah  tali  pusat  yang  diambil?  Prof  Suhartono
mengatakan, tidak ada batasan. ''Pokoknya, sebanyak mung­kin. Agar sel inti yang
disimpan  juga  tambah  banyak,''  katanya. Namun, menurut literatur, darah tali
pusat  yang  diambil  sebaiknya  lebih dari 50 ml. Dengan begitu, darah tersebut
bisa  dipro­ses  dengan  mesin  SEPAX,  mesin  pemisah sel inti dan bagian darah
lainnya. Jika kurang dari 50 ml, SEPAX tidak bisa berputar.

Dengan  demikian,  kurang dari 50 ml pun masih bisa. Tetapi, pemrosesannya harus
di­lakukan  secara  manual. Dengan pemrosesan secara manual, tingkat keefektifan
pemisahan  sel  inti  dan bagian darah lainnya hanya 82 persen. Lain halnya bila
menggunakan mesin SEPAX. Tingkat keefektifannya 96 persen. Ibarat jeruk, diperas
hingga hanya sarinya.

Darah  tali  pusat  tersebut  lantas diberi label, berisi nama ibu dan identitas
lengkapnya. Ke­mudian, dimasukkan dalam kantong plastik transparan. Selanjutnya,
dimasukkan  dalam  kit yang telah disediakan. ''Darah tersebut akan diterbangkan
dengan kurir khusus un­tuk bahan biomedis,'' kata Hidayat.

Karena  itu,  kotak  berisi  darah  tersebut juga tidak akan melewati x-ray saat
pemeriksaan di bandara. Paparan x-ray dikhawatirkan akan merusak struktur darah.
Pihak  kurir telah membuat sertifikat khusus mengenai hal tersebut. ''Sebelum 36
jam sudah harus sampai di bank darah Singapura,'' jelasnya.

Hidayat mengatakan, begitu sampai di Singa­pura, darah tali pusat akan menjalani
serangkaian  pemeriksaan.  Yakni,  bakteri, jamur, golongan darah dan rhesusnya,
serta  sel  CD34+.  Sel  CD34+  merupakan  bagian  penting  dalam proli­f­erasi,
produksi DNA agar menjadi jaringan.

Sama halnya dengan pemeriksaan darah ibu, darah tali pusat juga bebas dari bibit
pe­nyakit. Hidayat menuturkan, pemeriksaan atas darah tali pusat berlangsung dua
kali.  Se­belum  dan sesudah darah tali pusat tersebut diproses. ''Penting untuk
memastikan da­rah tidak tercemar,'' ujarnya.

Jika  terjadi  pencemaran, darah tidak bisa diberi antibiotik. Sebab, antibiotik
tidak  bisa  menghilangkan  endotoksin, komponen luar dari bakteri gram negatif.
''Bakterinya  memang terbunuh oleh antibiotik. Namun, endo­toksinnya tidak bisa.
Endotoksin  inilah  yang  bisa menimbulkan komplikasi pada tubuh bila suatu saat
nanti sel inti darah tali pusat tersebut digunakan,'' lanjutnya.

Dalam  kondisi  tercemar,  darah  tali  pusat  tidak  bisa digunakan lagi. Pihak
Cordlife  akan  memberi tahu kliennya mengenai hal tersebut. Jika dalam waktu 30
hari  tidak  ada  surat  pemberitahuan dari klien, Cordlife secara otomatis akan
membuang darah tercemar tersebut.

Kalau  dinyatakan  tidak  tercemar,  sel darah lantas diproses untuk diambil sel
intinya  saja. Pemrosesan darah tali pusat mengguna­kan triple bag. Tiga kantong
darah  dengan  ukur­an  berbeda.  Satu  kantong  besar  untuk  da­rah yang belum
diproses  dengan  mesin atau manual. Setelah diproses, sel inti darah yang nanti
disimpan  di  bank  darah  langsung  mengalir  ke  kantong lebih kecil. Sisanya,
ba­gian  darah  yang  tidak  terpakai, masuk ke kan­tong lain. Pemrosesan dengan
triple  bag  itu  meminimalkan  kontaminasi  saat pemisahan sel inti dari bagian
darah lainnya.

''Setelah  itu,  sel  inti darah tali pusat bisa langsung disimpan ke bank darah
dengan suhu minus 196 derajat Celcius,'' jelas Hidayat.

Penyimpanan  menggunakan  tabung  nitrogen.  Bila  sewaktu-waktu terjadi bencana
alam,  ada kemungkinan gas nitrogen habis. Da­lam kondisi begitu, sel darah inti
masih  tetap  aman hing­ga dua minggu. ''Sebelum dua minggu, gas nitrogen ha­rus
diisi lagi,'' terangnya. (bersambung/kum)

--------------------------------------------------------------------------------

[ Minggu, 12 Juli 2009 ]
Mengikuti Proses "Menabung" Tali Pusat Bayi ke Singapura (2-Habis)
Sel Induk Bisa Sembuhkan Leukemia Ganas

Teknologi   pengelolaan   darah   tali  pusat  (umbilical  cord  blood)  semakin
berkembang.  Dengan demikian, bukan hanya biayanya yang kini menjadi kian murah,
tetapi  juga  pemanfaatannya.  Di  beberapa  negara maju, darah bawaan bayi saat
lahir itu juga bisa disumbangkan untuk orang lain yang DNA-nya tidak sama dengan
si bayi.

NUR AINI ROSILAWATI, Surabaya

---

SEBENARNYA, teknologi pengelolaan darah tali pusat sudah ada lebih dari 30 tahun
lalu.  Tetapi,  teknologi  tersebut  baru  benar-benar  dikembangkan secara luas
setelah seorang dokter di Amerika Serikat berhasil mentransplantasikan sel induk
-yang  diambil  dari  darah  tali pusat- kepada seorang anak lelaki berumur enam
tahun  yang  menderita penyakit kelainan darah. Peristiwa bersejarah itu terjadi
pada 1988.

Seperti  yang disebutkan di bagian pertama tulisan ini kemarin, darah tali pusat
mengandung  sel-sel  induk  (stem  cells),  yang bisa meregenerasi diri sendiri.
Untuk  mengambil darah tali pusat dari bayi kembar Ny Isna Fitriana itu, Prof Dr
dr  Suhartono  DS  SpOG KFER dan dr Hendra Sukma Ratsmawan SpOG bertindak sangat
hati-hati.

Proses   dan  timing  yang  tepat  memungkinkan  dokter  mendapatkan  sel  induk
sebanyak-banyaknya  dari  darah  tali  pusat. Dari seorang bayi yang baru lahir,
umumnya dokter hanya mengambil 75-180 ml darah tali pusat.

Semakin  banyak  sel  induk  yang diperoleh, berarti semakin banyak manfaat yang
bisa  dilakukan.  Kalau  tidak  banyak,  sel induk tidak bisa dimanfaatkan untuk
transplantasi karena tindakan medis tersebut membutuhkan banyak sel induk.

Tentang  pemanfaatan  sel induk ini, masih ada beberapa kontroversi. Sampai 2006
saja, dokter-dokter ahli di Barat masih ada yang menentang penggunaan darah tali
pusat   untuk   pemakaian   sendiri   pada  kasus  leukemia,  pre-leukemia,  dan
penyakit-penyakit  bawaan.  Alasan  mereka,  kalau  penyakit-penyakit  itu sudah
dibawa   si   bayi   sejak  lahir,  berarti  di  sel  induknya  juga  sudah  ada
penyakit-penyakit itu.

Namun, pada musim panas tahun lalu beberapa percobaan membuktikan bahwa anggapan
di  atas  tidak berlaku. Buktinya, seorang anak yang menderita penyakit diabetes
tipe I (bawaan) bisa disembuhkan dengan cara mentransfusikan darah tali pusatnya
sendiri.

Ada  dua  bukti  lain yang diangkat para ahli untuk menggugurkan pendapat kolega
mereka  pada  2006  itu.  Bukti  pertama,  sembuhnya seorang anak yang menderita
penyakit   cerebral   palsy,   setelah   sel  induk  dari  darah  tali  pusatnya
ditransfusikan.  Cerebral  palsy  adalah  kelainan  motorik yang permanen akibat
tidak sempurnanya pertumbuhan jaringan otak.

Bukti kedua, disembuhkannya seorang anak yang menderita leukemia (kanker darah),
juga  dengan  sel  induknya  sendiri.  Tetapi,  ini  memang belum bisa dijadikan
patokan. Sebab, keberhasilan tersebut baru terjadi pada satu kasus itu saja.

Bahwa  sel  induk dari darah tali pusat bisa digunakan untuk menyembuhkan secara
total  seorang  penderita  leukemia  dari  tipe  yang  ganas, tampaknya, semakin
dipercaya  oleh  para  ahli.  Buktinya,  topik  itu  menjadi bahasan utama dalam
simposium  internasional  ke-7 Transplantasi Darah Tali Pusat, di San Fransisco,
Amerika Serikat, awal Juni lalu.

Ketika  para  dokter  ahli  membahas  dan  meneliti  penyakit apa saja yang bisa
diatasi  dengan  sel  induk  dari  darah  tali  pusat, beberapa negara bagian di
Amerika Serikat sudah mulai mengembangkan program donasi darah tali pusat. Salah
satunya di New York.

Dengan  dibukanya  program  ini,  semua  ibu bisa menyumbangkan darah tali pusat
bayinya  untuk  orang  lain.  Caranya  dengan memberi tahu bank darah tali pusat
untuk umum (publik), sebelum kandungannya genap berumur 34 minggu.

Tim dari bank darah tersebut lantas mendatangi si ibu untuk meminta tanda tangan
persetujuannya dan suaminya, serta mengambil sampel darah si ibu untuk diperiksa
''kebersihan" darahnya.

Proses  pemeriksaan,  pendaftaran,  dan  pengambilan darahnya sama persis dengan
yang dialami Ny Isna, putri CEO Jawa Pos Group Dahlan Iskan saat melahirkan anak
kembar (laki-laki dan perempuan) Kamis lalu (9/7).

Yang  membedakan  hanya  pada  biaya dan pemanfaatan darah tali pusat itu. Kalau
Isna  harus membayar sekitar Rp 15 juta per bayi, plus sekitar Rp 1,8 juta untuk
penyimpanan sel induk darah tali pusat bayinya per tahun, ibu yang menyumbangkan
darah tali pusat anaknya untuk kepentingan umum itu, gratis.

Mereka  tidak  mengeluarkan uang sepeser pun. Risikonya, sel induk darah bayinya
disimpan  tanpa  identitas.  Kecuali,  tentu  saja,  golongan darah, rhesus, dan
identitas penting lain dari darah itu.

Karena  sudah diserahkan kepada negara, tidak mungkin bagi si ibu maupun bayinya
untuk  suatu  saat  memanfaatkan  darah itu. Kecuali darahnya masih tersimpan di
situ.  Artinya,  belum  ditransplantasikan  ke  orang lain atau keburu digunakan
untuk  penelitian. Dan, karena darah itu tidak diberi identitas pemiliknya, yang
dicocokkan  adalah  data-data darahnya saja. Jadi, bisa saja, itu bukan miliknya
sendiri.

Meski di sana sudah ada bank darah tali pusat untuk umum, tidak berarti para ibu
tidak  bisa  menyimpan darah tali pusat bayinya untuk kepentingan pribadi? Pasti
bisa. Tetapi, ya seperti Ny Isna: Harus bayar.

Biaya  pengambilan  dan  pendaftarannya  lebih  mahal  daripada di Singapura dan
Indonesia.  Yakni,  sekitar  USD 2.000. Jasa pemeliharaan dan penyimpanannya USD
125  per tahun. Angka ini merupakan data 2007. Bisa jadi, sekarang sedikit lebih
mahal dari itu.

Melihat perkembangan teknologi dan semakin banyaknya peneliti yang tertarik pada
sel induk darah tali pusat ini, bisa dipastikan kelak ada ratusan jenis penyakit
yang  berhasil  disembuhkan  oleh  sel  induk  dari  darah  tali pusat. Saat ini
literatur  sudah  menyebutkan  bahwa  ada  sekitar  80  jenis penyakit yang bisa
disembuhkan oleh sel induk dari tali pusat.

Data  di  bank  darah  tali  pusat untuk publik yang ada di New York atau NYCBBP
menyebutkan  bahwa  20 persen dari 25 ribu darah tali pusat yang disumbangkan ke
situ  telah  ditransplantasikan.  Sekitar  satu  persennya  lagi digunakan untuk
riset.

Yang juga perlu diketahui, NYCBBP bukan satu-satunya badan pemerintah di AS yang
menangani  darah  tali  pusat.  Jadi,  kalau  semua  bank sejenis di sana dan di
negara-negara  maju  lain  melakukan riset, bisa dipastikan dalam beberapa tahun
mendatang,  bisa jadi, transplantasi pun tak lagi menggunakan donor hidup maupun
cadaver (dari tubuh yang mati batang otaknya).

Transplantasi  menggunakan  organ  dari  tubuh  lain  memiliki  potensi  rejeksi
(ditolak)  yang cukup besar. Karena itu, semua pasien transplan harus minum obat
antirejeksi seumur hidup.

Dengan  menggunakan  sel  induk dari darah tali pusat, organ yang rusak itu bisa
dibangun  kembali  tanpa  memerlukan  obat  antirejeksi,  karena "kontraktornya"
adalah sel induk dari tubuhnya sendiri.

Kegunaan  darah  tali pusat ini sebenarnya diketahui masyarakat sejak lebih dari
100   tahun  lalu.  Hanya,  cara  mereka  menyimpan  dan  memanfaatkannya  sulit
dibenarkan secara ilmiah.

Uniknya,  meski  teknologi  penyimpanan  dan  penggunaan  darah tali pusat sudah
sedemikian  maju,  ternyata  masih banyak anggota masyarakat yang menyimpan tali
pusat  bayinya  dengan  cara tradisional. Yakni, dibungkus kain atau disimpan di
laci.

Cerita  dr  Sulung  Budianto,  direktur RS Surabaya Internasional, misalnya. Dia
menyimpan  rapi tali pusat ketiga anaknya di laci lemari sampai sekarang. ''Saya
kan  hanya melakukan pesan orang tua agar tali pusat anak-anak disimpan semua,''
terangnya. Tali pusat itu disimpan di sebuah plastik kecil, lantas ditaruh dalam
laci.

Dia  lalu bercerita bahwa tali pusat tersebut bisa digunakan sebagai obat ketika
anak  (pemilik  tali  pusat)  sakit. Caranya, tali pusat digerus sedikit, lantas
direndam  dalam air. Airnya diminumkan ke anak yang sakit panas tinggi. Apa tali
pusat  tersebut pernah digunakan? Sulung menggelengkan kepala. ''Ya, tak pernah.
Sampai sekarang, tali pusatnya tetap kering,'' ungkapnya. (*)

--------------------------------------------------------------------------------

Have a Nice Day!

-- 
Cheers,
  Wie

ym : pr0t31n_w13




------------------------------------

[ Forum Kesehatan : http://www.medisiana.com ]Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/dokter_umum/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/dokter_umum/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:dokter_umum-dig...@yahoogroups.com 
    mailto:dokter_umum-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    dokter_umum-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke