Kalau Bung Karno, Untung & PKI bukan dalangnya, terus siapa donk?
Ki Anom atau Asep Sunandar? Pak Baskara bisa aja nih nulisnya.. :-P

Wassalam,

Irwan.K

Quote:
"..
Dalang pembantaian

Secara teoretis, tampaknya tidak akan terlalu sulit menemukan dalang dari
peristiwa itu,
khususnya pada tingkat nasional. Fakta bahwa pembunuhan terjadi pada minggu
ketiga
Oktober di Jawa Tengah, bulan November di Jawa Timur, dan bulan Desember di
Bali,
menunjukkan, pembunuhan itu tidak terjadi secara spontan dan serempak.
Terkesan ada koordinasi dan provokasi.

Dengan kata lain, ada unsur koordinatordan provokator, dan itu penting untuk
segera
diketahui publik. Seorang perwira militer memang pernah memimpin dan
mengoordinasikan
operasi pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagainya, tetapi
tampaknya
dia lebih merupakan semacam komandan lapangan saja (Siregar: 1995).

Besar kemungkinan, ada komando yang datang dari pihak yang lebih tinggi
daripada
dia di Jakarta.
..
Bung Karno tentu bukan dalangnya karena tak ada tanda-tanda dia pernah
berpikiran
membunuh secara massal anggota Partai Komunis atau partai politik apa pun di
negeri ini.
Letkol Untung juga bukan, karena pada 2 Oktober 1965 gerakan yang
dipimpinnya
telah gagal dan ia melarikan diri.

PKI juga tidak karena justru merekalah korban pembunuhan massal itu.
Akhirnya yang
tinggal hanya sedikit kemungkinan, dan itu mendesak untuk segera diteliti
lebih lanjut.
.."

---------- Forwarded message ----------
From: Ambon <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Dec 17, 2005 5:26 AM
Subject: [ppiindia] Dalang Tragedi 1965

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0512/17/opini/2290332.htm

Dalang Tragedi 1965

Baskara T Wardaya

Menarik sekali, akhir-akhir ini wacana Tragedi 1965 mencuat lagi ke
permukaan. Hal itu terjadi antara lain berkat terbitnya buku terjemahan
karya Antonie Dake, Sukarno File: Berkas-berkas Sukarno 1965-1967, Kronologi
Suatu Keruntuhan.

Telah timbul pro-kontra di masyarakat atas isi buku itu. Belum lama
berselang harian ini juga menurunkan dua artikel dan satu surat pembaca yang
secara lugas menanggapi buku itu (Kompas, 3 dan 13/12/2005).

Sedikit disayangkan, buku maupun kedua artikel itu lebih banyak berkisar
pada pertanyaan-pertanyaan di seputar siapa sebenarnya dalang di balik
operasi militer yang dilancarkan sejumlah perwira Angkatan Darat yang
menamakan diri Gerakan Tiga Puluh September pada 1 Oktober 1965.

Sebagaimana diketahui, di bawah pimpinan Letkol Untung kelompok itu
menjemput paksa sejumlah perwira militer di Jakarta. Penjemputan paksa itu
berujung pada tewasnya sejumlah perwira tinggi dan menengah Angkatan Darat,
yakni Aipda KS Tubun, dan Ade Irma Surjani Nasution.

Siapa sebenarnya tokoh kunci operasi militer itu? Hingga kini masih
merupakan misteri, dan hal itu telah menjadi fokus berbagai wacana, termasuk
tulisan-tulisan di atas.

Ratusan ribu

Wacana demikian tentu amat perlu. Tetapi jika tidak hati-hati bisa
menimbulkan kesan, tragedi tahun 1965 hanya terbunuhnya para tokoh itu.
Padahal, tragedi tahun 1965 bukan hanya itu. Ada tragedi lain yang tidak
kalah dahsyat, yakni dibunuhnya ratusan ribu warga masyarakat Indonesia
beberapa saat setelah terjadinya peristiwa pembunuhan para petinggi militer
itu apa pun justifikasinya. Mereka dibunuh di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali,
dan sejumlah tempat lain di Tanah Air. Kebanyakan dari mereka yang dibunuh
itu adalah rakyat biasa yang kemungkinan besar tak ada sangkut paut dengan
operasi militer yang dilakukan Letkol Untung dan kawan-kawan di Jakarta.

Dalam jumlah besar mereka dieksekusi tanpa melalui proses pengadilan,
sementara yang lolos dari eksekusi ditangkap dan dipenjara selama
bertahun-tahun, juga tanpa proses pengadilan.

Sejumlah tokoh militer dan politik yang diduga terkait operasi militer 1
Oktober 1965 itu memang diadili oleh suatu mahkamah khusus, tetapi sejauh
mana pengadilan itu fair masih merupakan tanda tanya. Jumlah yang dibunuh
itu begitu besar sehingga bisa jadi merupakan pembunuhan warga sipil
terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini.

Lepas dari siapa yang benar atau salah, pembunuhan itu mengingatkan, dalam
sejarahnya bangsa kita pernah melakukan pembantaian terhadap sesama warga
dengan cara dan dalam jumlah yang amat mengerikan.

Karena itu, perlulah tragedi berdarah itu terus diteliti dan dipelajari
sehingga tindakan di luar perikemanusiaan yang adil dan beradab seperti itu
tak akan terulang di masa datang. Dalam konteks itu pula penting mencari
tahu tidak hanya siapa dalang di balik pembunuhan 1 Oktober 1965, tetapi
juga dalang di balik pembunuhan massal pada pekan-pekan terakhir tahun 1965.
Penting pula mempelajari siapa yang terutama diuntungkan, serta apa saja
dampak tragedi itu bagi Indonesia saat itu, kini dan di masa depan.

Dalang pembantaian

Secara teoretis, tampaknya tidak akan terlalu sulit menemukan dalang dari
peristiwa itu, khususnya pada tingkat nasional. Fakta bahwa pembunuhan
terjadi pada minggu ketiga Oktober di Jawa Tengah, bulan November di Jawa
Timur, dan bulan Desember di Bali, menunjukkan, pembunuhan itu tidak terjadi
secara spontan dan serempak. Terkesan ada koordinasi dan provokasi.

Dengan kata lain, ada unsur koordinatordan provokator, dan itu penting untuk
segera diketahui publik. Seorang perwira militer memang pernah memimpin dan
mengoordinasikan operasi pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
sebagainya, tetapi tampaknya dia lebih merupakan semacam komandan lapangan
saja (Siregar: 1995).

Besar kemungkinan, ada komando yang datang dari pihak yang lebih tinggi
daripada dia di Jakarta. Kemungkinan macam itu tentu amat penting untuk
secepatnya dikaji masyarakat.

Jika dalam kasus operasi militer yang dilakukan Gerakan Tiga Puluh September
dugaan tentang siapa dalangnya berkisar pada sejumlah pihak (seperti Bung
Karno, PKI, Letkol Untung, Mayjen Soeharto, dan CIA), dalam kasus pembunuhan
massal 1965 dugaan serupa bisa lebih dipersempit.

Bung Karno tentu bukan dalangnya karena tak ada tanda-tanda dia pernah
berpikiran membunuh secara massal anggota Partai Komunis atau partai politik
apa pun di negeri ini. Letkol Untung juga bukan, karena pada 2 Oktober 1965
gerakan yang dipimpinnya telah gagal dan ia melarikan diri.

PKI juga tidak karena justru merekalah korban pembunuhan massal itu.
Akhirnya yang tinggal hanya sedikit kemungkinan, dan itu mendesak untuk
segera diteliti lebih lanjut. Dengan begitu, diharapkan penelitian dan
wacana tentang tragedi 1965 tidak lagi hanya berkisar pada pencarian dalang
Gerakan Tiga Puluh September saja, tetapi juga dalang pembantaian massal
1965-1966. Dengan kata lain, bahkan jika dalang dari operasi militer 1
Oktober 1965 telah ditemukan, masyarakat masih harus mencari siapa
sebenarnya dalang dari pembunuhan massal 1965.

Akhir kata, terpulang kepada masyarakat Indonesia (bukan hanya peneliti
asing) untuk mencari dan menemukan siapa sebenarnya tokoh kunci di balik
pembunuhan berskala besar itu. Terpulang kepada masyarakat, langkah apa yang
mau diambil jika tokoh itu akhirnya ditemukan.

Baskara T Wardaya Dosen Sejarah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
For $25, 15 Afghan women can learn to read. Your gift can make a difference.
http://us.click.yahoo.com/rQ8GtB/SdGMAA/cosFAA/GEEolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke