Saat sekarang ini di Indonesia, ‘kekayaan alam’-nya semakin banyak yang
dikuasai oleh pihak ‘asing’ dan disana diduga banyak terjadi praktik
’korupsi’ yang berskala besar. Pada saat ini, gejala tersebut terjadi
lebih cepat jalannya dibandingkan ketika pada masa Megawati dan Hamzah
Haz.

DPR dan DPD dirasa perlu didesak untuk segera membentuk semacam ‘pansus
atau kaukus’ untuk meneropong dengan jeli dan mengangkat ke permukaan
masalah persoalan eksploitasi pertambangan ini serta membongkar praktik
‘korupsi berskala besar’ yang terjadi disana.

Contoh beberapa proyek pertambangan yang dirasa perlu disoroti oleh DPR
antara lain adalah ; ‘Freeport’ di Timika Papua yang kerusakan
ekologinya diperkirakan telah mencapai 200 kilometer persegi sedangkan
disatu sisi rakyat tak pernah tahu berapa ratus ton emas dan perak yang
yang sudah diangkut dari sana ke luar negeri dan anehnya kontrak
karyanya telah diperpanjang lagi padahal kontraknya masih delapan tahun
lagi habis masa berlakunya ; terkait disini termasuk juga ‘Newmont’ di
Minahasa Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat ; selanjutnya adalah
‘Liquiefied Natural Gas Tangguh’ di Manokwari Papua yang harga jual gas
produksinya dipatok flat seharga 2,6 USD per MBTU padahal harganya
internasionalnya mencapai 9 USD per MBTU ; juga soal pengelolaan Sumur
Minyak di Cepu Jawa Timur. 

Proyek asingisasi ini tak berhenti sampai disini saja, ini juga
berhubungan dengan ‘agenda liberalisasi’ yang terkait dengan kepemilikan
dan pengelolaan SPBU-SPBU oleh asing ; kepemilikan saham mayoritas oleh
asing atas pabrik-pabrik semen semisal seperti Semen Padang, Semen
Gresik, Semen Cibinong, maupun Semen Tiga Roda.

Jika DPR dan DPD mau berjasa buat rakyat, maka seluruh fraksi diharapkan
secara bersama-sama membongkar persoalan ini, serta tentunya untuk
menanganinya secara tuntas perlu ada kemauan dan komitmen politik dari
pemerintah.

Demikian cuplikan berita yang berita selengkapnya dapat dilihat di :
SKHU Kompas, Kamis, 8 Januari 2006, Politik & Hukum, Pemberantasan
Korupsi : Di Sektor Pertambangan Diduga Terjadi Korupsi Berskala Besar.
Berita selengkapnya sebagai berikut : 
*****

Zaman hakekatnya tak pernah berubah, sejarah selalu berulang dan
peristiwa selalu berdaur ulang, hanya pelaku sejarahnya saja yang
berganti. Semenjak pasca Sultan Agung -sangat mungkin- berlanjut hingga
detik ini, sejarah suksesi tahta kekuasaan di negeri ini senantiasa
-berindikasi kental- bumbu intrik terlibatnya ‘beking’ dari korporasi
negara asing. Dimasa silam sejarah mencatat, bahwa para ‘calon’ pewaris
tahta atau para pangeran yang merasa dirinya pantas menjadi pewaris
tahta, telah tak segan meminta bantuan dan dukungan dari Portugis atau
Inggris atau Belanda dengan sarekat saudagar VOC-nya untuk membekingi
dirinya dalam usaha menggapai obsesi dirinya untuk naik ke atas tahta
singgasana kekuasaan pemerintahan negeri ini.  

Bantuan dan dukungan yang diberikan oleh dari pihak asing tersebut dapat
berupa biaya dan dana untuk membiayai usaha naik tahta, atau bahkan juga
ditambah dengan dukungan kekuatan senjata untuk menyingkirkan para
pesaingnya. Kemudian sejarah mencatat, pasca dirinya naik ke atas tahta,
maka kompensasi berupa monopoli dagang atau konsesi tanah perkebunan
diberikan oleh si-pewaris tahta itu kepada korporasi negara asing
tersebut sebagai konsekuensi balas budi atas bantuan dan dukungan yang
telah diberikan mereka kepada dirinya,  

Selanjutnya, generasi berganti generasi, secara perlahan cengkeraman itu
semakin erat dan kedaulatan negeri semakin tergerogoti, sampai akhirnya
-pada generasi yang kesekian- kedaulatan tahta tak lagi mempunyai arti.
Tak mungkin lagi seorang pangeran pewaris tahta dapat naik keatas
singgasana tanpa ‘restu’ dari korporasi negara asing tersebut. Sejarah
mencatat, karena kejelian dan ketepatannya dalam memilih calon yang
dibekinginya -diantara deretan pangeran pewaris tahta- maka korporasi
sarekat dagang VOC dari negeri Belanda mampu mengungguli Portugis dan
Inggris dalam menancapkan hegemoninya selama tiga setengah abad di
negeri ini.  

Hari ini dan masa mendatang, suksesi tahta di negeri ini tak lagi
‘perlu’ melibatkan kekerasan dan senjata, negeri ini telah menerapkan ‘
demokrasi sejati ’, Para pewaris tahta hanya dapat naik keatas
singgasana jika dalam pemilihan langsung mampu menjaring suara dukungan
terbanyak dari rakyatnya. Namun peluang dan celah bagi terlibatnya
‘beking’ korporasi asing -semacam VOC pada masa silam- bukan berarti tak
mungkin lagi. Aktivitas dan kegiatan kampanye untuk meraih simpati dan
dukungan rakyat -melalui iklan televisi maupun modus kampanye lainnya-
membutuhkan biaya dan dana yang teramat sangat besar. 

Siapakah -diantara deretan para pangeran pewaris tahta atau deretan para
pangeran yang merasa dirinya pantas menjadi pewaris tahta- yang tak akan
tergiur untuk meminta bantuan dan dukungan dari korporasi asing jika hal
itu yang memungkinkan tercapai obesisinya dan membuat dirinya dapat
menggapai tahta kekuasaan ?. Para penghamba syahwat kekuasaan tentu akan
tergiur melakukannya -seribu satu dalih pembenar dapat dihadirkan oleh
dirinya untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa yang dilakukannya itu
merupakan suatu kewajaran dan keniscayaan- tak perduli konsekuensi
kompensasi yang diminta oleh korporasi asing itu sama halnya dengan
menghisap sumsum tulang belulang rakyatnya.

Berikut ini adalah cuplikan artikel yang ditulis oleh Peter Dale Scott
yang menuliskan analisisnya mengenai peristiwa suksesi tahta di tahun
1965, diungkapkannya semburat nuansa terlibatnya ‘beking’ dari korporasi
dan pemerintahan negara asing beserta konsekuensi kompensasinya. Semoga
tak ada yang ‘tersinggung’ karenanya, sebab itu adalah biasa dalam
percaturan politik dan wajar dalam dunia bisnis. Mengapa kita musti
cemberut ?, toh sampai hari ini pun langit diatas negeri ini masih tak
runtuh, dan kehidupan masih berjalan utuh.    

Artikel berikut ini merupakan tulisan Peter Dale Scott yang pernah
dimuat dalam buletin Pasific Affairs No. 58 tahun 1985 terbitan English
Department University of California - Berkeley - Amerika Serikat. 

Tulisan singkat ini adalah subyek yang sangat penting, rumit, dan
memusingkan. Kisah lengkap mengenai periode yang rumit dan kurang
dimengerti ini bahkan akan tetap berada diluar jangkauan analisis
tertulis yang paling lengkap sekalipun. Banyak peristiwa yang menyangkut
kejadian seputar masa itu yang tidak didokumentasikan, sedangkan
dokumentasi yang tersisa dan terselamatkan banyak yang bersifat
kontroversial dan tidak dapat diverifikasi kebenarannya.

Kisah rumit dengan makna ganda ini, setelah diuraikan maka pada
hakekatnya lebih sederhana dan mudah dimengerti serta dipercaya
dibandingkan dengan versi resmi yang dikarang oleh Presiden Soeharto dan
sumber pemerintah Amerika Serikat. 

Tulisan ini berusaha membuktikan bahwa dengan mendorong ‘Gestapu’ maka
‘sayap kanan dalam Angkatan Darat’ dapat ‘menyingkirkan’ saingannya dari
‘kelompok tengah Angkatan Darat’. Hal ini selanjutnya membuka jalan
eliminasi bagi ‘golongan sipil sayap kiri’ yang sudah lama direncanakan,
dan skenario tunggal yang masuk akal untuk pengambilalihan kekuasan
sekaligus membangun kediktatoran militer.

Kuncinya adalah apa yang dinamakan ‘percobaan perebutan kekuasaan oleh
Gestapu’ yang pada lahirnya bersikap mendukung Soekarno, namun
sebenarnya menjadikan anggota pimpinan Angkatan Darat sebagai sasaran
utama. Faktanya, tidak seorang pun diantara para Jenderal Angkatan Darat
yang anti Soekarno yang menjadi sasaran Gestapu, kecuali yang bersifat
problematis secara nyata, yaitu Jenderal AH Nasution. Hubungan Soeharto
dengan Nasution sempat ‘membeku’ sesudah ada pemeriksaan karena dugaan
dan tuduhan korupsi -barter dan penyelundupan- pada tahun 1959. Hal itu
menyebabkan Soeharto dipindahkan jabatan-nya dari Panglima Kodam
Diponegoro. Fraksi yang paling taat dan setia mendukung Soekarno
-Jenderal Yani bersama lingkungan dekat para Jenderal Angkatan Darat-
dibunuh, yang membuka jalan perebutan kekuasaan oleh sayap kanan anti
Yani dan bersekutu dengan Soeharto. 

Harold Crouch dalam Tentara dan Politik di Indonesia menyebutkan bahwa
Markas Besar TNIAD pada tahun 1965 terbelah dalam dua kubu, kubu sayap
kiri dan kubu sayap kanan dengan ditengah-tengahnya ada para perwira
tinggi yang diangkat bersamaan dan loyal kepada Jenderal Ahmad Yani.
Kubu Jenderal Ahmad Yani ini enggan melawan kebijakan Presiden Soekarno
tentang persatuan nasional dan bersekutu dengan kelompok Komunis,
walaupun dalam sikapnya terhadap PKI, sikap kubu Yani ini sama dengan
sikap kubu sayap kanan -kubu Nasution- yaitu bersikap anti PKI. Tetapi
pada tahun 1965, masalah isu Soekarno merupakan isu yang bersifat
menjadi pemecah antara kubu Yani dan kubu Nasution. 

Gestapu hanyalah tahap pertama dari tiga tahapan; gerakan pendorong
‘coup’ sayap kiri, disusul dengan respon cepat Soeharto, dan dilanjutkan
dengan keruntuhan kecepatan tinggi kekuasan Soekarno. Distorsi kenyataan
bermuka dua yang munafik akan tetapi justru saling menunjang, ada
kesinambungan antara hasil yang telah dicapai, baik oleh Untung dengan
Gestapunya maupun respon Soeharto terhadap Gestapu tersebut. 

Pertama adalah Letnan Kolonel Untung dengan Getapu-nya yang berkedok
membela Presiden Soekarno, serta melanjutkan ‘tugasnya’ mengeliminasi
anggota Markas Besar Angkatan Darat yang pro Jenderal Ahmad Yani,
bersama-sama dengan unsur yang semula mendukung Jenderal Ahmad Yani,
kemudian juga terhadap pendukung Presiden Soekarno yang masih tersisa.
Pada 1 Oktober 1965, Letnan Kolonel Untung mengumumkan ‘secara mendua’
bahwa Presiden Soekarno dalam perlindungan Gestapu, padahal tidak,
Gestapu mengumumkan alih kekuasaan kepada Dewan Revolusi dengan tanpa
mengikutsertakan Presiden Soekarno. Keputusan Gestapu untuk menjaga
semua sisi Lapangan Merdeka, kecuali sisi timur tempat markas Kostrad,
dimana Mayor Jenderal Soeharto menjadi panglimanya berada.

Kedua adalah Mayor Jenderal Soeharto yang berperan seolah-olah sebagai
pembela status quo yang konstitusional serta berpura-pura melindungi
Presiden Soekarno, padalah sebenarnya bergerak sesuai dengan ‘rencananya
sendiri’ yang pada hakekatnya itu adalah mencegah Presiden Soekarno dan
pendukungnya untuk mengambil kembali kendali pemerintahan. Pengumuman
Mayor Jenderal Soeharto yang disiarkan RRI masih mempertegas bahwa
Angkatan Darat tetap setia kepada Presiden Soekarno, padahal ketika itu
Mayor Jenderal Soeharto tahu benar bahwa pembunuhan enam Jenderal itu
justru sebenarnya dilaksanakan oleh unsur-unsur pasukan yang mempunyai
hubungan dengan Letnan Konolel Untung, yaitu unsur-unsur dibawah
pimpinan Mayor Jenderal Soeharto sendiri. 

Banyak pasukan yang terlibat dalam pemberontakan apa yang dinamakan
Gestapu -di Jakarta maupun di Jawa Tengah- merupakan batalyon-batalyon
yang itu-itu juga yang memberi perbekalan kepada kompi-kompi yang
‘memberontak’ yang sekaligus juga digunakan untuk ‘melumpuhkan’ para
pemberontak. 

Dua pertiga pasukan brigade para ditambah satu kompi serta satu peleton
yang merupakan kesatuan Gestapu di Jakarta, dipimpin oleh perwira Divisi
Diponegoro maupun yang dipindahkan dan dekat dengan Soeharto. Salah satu
dari tiga pemimpin Gestapu Jawa Tengah, yaitu Letnan Kolonel Usman
Sastrodibroto adalah kepala seksi di Divisi Diponegoro yang
mengoperasikan dan menangani bisnis perkapalan yang didirikan oleh
Soeharto bersama rekan bisnisnya. Kompi itu berasal dari Yonif 454 dan
Yonif 530 yang sejak tahun 1962 merupakan pasukan Raiders dengan bantuan
utama dari Amerika Serikat. Salah seorang lagi dari tiga pimpinan
Gestapu di Jawa Tengah adalah Suherman, yang merupakan perwira dari
didikan Fort Leavenworth dan Okinawa Amerika Serikat,     

Rudolf Mrazek dalam The United States and the Indonesian Military
menyebutkan bahwa penempatan kedua fraksi yang bertentangan dengan
banyak struktur komando tetapi semuanya bermuara dan sangat dekat dengan
Soeharto, cukup memberikan penjelasan bagaimana Soeharto mampu
memulihkan keamanan dan ketertiban dalam kota tanpa ada letusan senjata.
Pertempuran antara Baret Hijau Yonif 454 dengan Baret Merah RPKAD di
Pangkalan Udara Halim berlangsung tanpa ada korban gugur seorang pun. Ia
juga mengaitkan penjajakan perdamaian dengan ditarik mundurnya beberapa
kesatuan terbaik ke Jawa pada pertengahan tahun 1965, yang mana hal itu
secara politis dapat juga ditanggapi sebagai persiapan mengambil-alih
kekuasaan negara.  

Prof. Benedict Andersen dan Mortimer pernah menyebut mempunyai suatu
kesan bahwa ‘singkatan istilah Gestapu’ itu sendiri merupakan satu
alasan lain dengan menganggap bahwa singkatan istilah Gestapu adalah
‘bikinan Amerika Serikat’. Dalam kaidah hukum DM dalam bahasa Indonesia
tidaklah dapat disebut istilah sebagai ‘Gerakan September Tiga Puluh”.
Menurut urutan kata dalam Bahasa Indonesia seharusnya disebut sebagai
‘Gerakan Tiga Puluh September’. Hal ini sama seperti mengatakan May
Teenth Four atau Mei Sepuluh Empat sebagai gantinya May Four Teenth atau
Empat Belas Mei.  

Selanjutnya, tulisan ini akan berlanjut dengan mempermasalahkan bahwa
‘Gestapu, respon Soeharto, dan pertumpahan darah’, termasuk dalam
‘skenario tunggal’ yang masuk akal untuk ‘pengambil-alihan kekuasaan’
oleh militer, suatu skenario -yang lagi-lagi- tidak lama setelah
diusulkan CIA untuk menangani Cile dan dalam batas-batas tertentu juga
di Kamboja. Dorongan dan bantuan untuk penggulingan kekuasaan oleh
militer yang datangnya dari Amerika Serikat, melalui CIA, militer,
yayasan Ford, serta Rand Corporation.
 
AS dan TNI-AD.
  
Sejak tahun 1953, Amerika Serikat berkepentingan membantu menggerakkan
‘krisis’ di wilayah Indonesia. Proyek ini dikenal sebagai ‘penyebab
langsung’ yang mendorong Soekarno mengakhiri ‘sistem parlementer’ dan
menyatakan keadaan darurat perang atau SOB pada 17 Maret 1957. Dokumen
NSC 171/1 tahun 1953 -dokumen resmi National Security Council atau Dewan
Kemanan Nasional Amerika Serikat- memuat pertimbangan pelatihan militer
sebagai sarana untuk meningkatkan pengaruh Amerika Serikat. 

CIA menyalurkan bantuan jutaan dollar, pada tahun 1957 sebuah Komisi
Pilihan Senat yang mempelajari CIA menemukan apa yang dinamakan ‘ada
bukti bahwa CIA terlibat dalam rencana pembunuhan Presiden Soekarno’.
Pada 1 Agustus 1958, Amerika Serikat mulai meningkatkan program bantuan
militer kepada Indonesia dalam bilangan dua puluh juta dollar dalam
setahun. Sebuah nota dari Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat
menjelaskan bahwa bantuan ini diberikan kepada Angkatan Darat Indonesia
guna melaksanakan rencana mengendalikan Komunisme. Sekalipun demikian,
pada tahun 1958, PKI tetap muncul sebagai gerakan massa terbesar di
Indonesia. Dalam buku Rand Corp yang diterbitkan oleh Badan Penerbit
Universitas Princeton, Guy Parker -dosen di Universitas California
merangkap konsultan pada Rand Corp-  mendesak rekanan dalam tubuh
Angkatan Darat Indonesia untuk ‘melaksanakan suatu misi’ dan untuk
‘menyerang menyapu bersih rumahnya’ serta mengambil alih tanggung-jawab
penuh dalam ‘kepemimpinan nasional’. 

Noam Chomsky dan ES Herman dalam The Washington Connection and Third
World Facism, serta David Mozinggo dalam Chinese Policy toward
Indonesia, menyebutkan bahwa fokus paling berarti dalam program
pelatihan dan bantuan Amerika Serikat adalah menyangkut hubungan yang
meningkat antara organisasi teritorial tentara dengan pemerintahan
sipil, hubungan politis dengan kelompok sipil, organisasi keagamaan dan
budaya, kelompok pemuda, veteran, serikat pekerja, organisasi petani,
partai politik, dan kelompok-kelompok tingkat lokal dan wilayah. 

Neville Maxwell -seorang peneliti senior pada institut Studi
Persemakmuram Universitas Oxford- dalam Journal of Contemporary Asia IX
menyebutkan bahwa boleh jadi perencanaan skenario Gestapu dan Anti
Gestapu sudah berawal sejak tahun 1964. Ia menuliskan juga bahwa : ‘
Beberapa tahun lalu saya sedang meneliti di Pakistan tentang latar
belakang diplomatik konflik India dengan Pakistan. Dalam kertas-kertas
Kementerian Luar Negeri yang sempat saya pelajari, saya menjumpai suatu
surat  yang tertanggal Desember 1964 dari salah seorang Duta Besar
Pakistan di Eropa kepada Menlu Ali Bhutto. Ia melaporkan sesuatu
percakapannya dengan perwira inteljen Belanda, dan perwira itu
memberikan informasi bahwa Indonesia akan jatuh ke pangkuan Barat
seperti sebuah apel busuk, badan-badan inteljen barat akan merancang
suatu coup komunis yang prematur dan ditakdirkan akan gagal ’.

AS melawan SOEKARNO.  

Banyak orang di Washington –khususnya Direktorat Perencanaan CIA- telah
lama menginginkan agar Soekarno disingkirkan. Ketika Lyndon Johnson
menaiki kursi Presiden segeralah disusul dengan perubahan politik yang
lebih anti Soekarno. Presiden Jhonson pada bulan Desember 1963 telah
memutuskan untuk menahan bantuan ekonominya ditengah keterpurukan
ekonomi Indonesia. Hal ini telah memberikan sumbangan secara aktif
kepada destabilisasi radikal ekonomi Indonesia, sehingga harga beras
antara Juni sampai September 1965 meningkat sampai empat kali lipat dan
harga dollar melangit.

Seperti juga kejadian di Cile, pemutusan semua bentuk bantuan ekonomi
secara berangsur kepada Indonesia dalam tahun 1962-1965 dibarengi dengan
pengalihan bantuan militer kepada unsur-unsur bersahabat dalam Angkatan
Darat Indonesia. Bantuan milter Amerika Serikat mencapai 39,5 juta
dollar dalam empat tahap dalam kurun waktu itu, dengan puncaknya sebesar
16,3 juta dollar dalam setahun.

Sepertinya sesuatu yang sulit dimengerti, justru sesudah Soekarno
menyatakan ‘go to hell with your aid’ dan menasionalisasikan
kepentingan-kepentingan ekonomi Amerika Serikat serta memanfaatkan dana
tunjangan Uni Soviet untuk menghadapi Inggris di Malaysia, justru
Amerika Serikat membantu mempersenjatai militer Indonesia. Orang-orang
hanya tidak menyadari saja apa yang sesungguhnya sedang berkembang.
Hakekatnya, konggres Amerika Serikat menyetujui untuk menangani pedanaan
militer Indonesia sebagai masalah yang terselubung dan rahasia.
Pendanaan oleh pemerintah Amerika Serikat hanya dialihkan dari
pembiayaan untuk Negera Indonesia ke komponen dan unsur yang paling
tidak setia kepada pemerintahnya. 

Hal ini berawal dari Undang-Undang Kedaaan Bahaya tahun 1957 yang
prosesnya dipercepat oleh adanya perjanjian Minyak yang dinegoisasikan
dengan Amerika Serikat tahun 1963. Telah terjadi peralihan serupa pula
dalam arus pembayaran perusahaan minyak Amerika Serikat, Stanvac dan
Caltex sekarang memberikan pembayaran yang lebih besar kepada Permina,
Perusahaan Minyak milik Angkatan Darat. George Benson yang memimpin
kelopok penasehat pelatihan militer Iltag di Jakarta kemudian telah
disewa oleh Permina sebagai pelobi di Washington. Berkaitan dengan hal
itu, Fortune pada bulan Juli 1973 pernah menuliskan bahwa perusahaan
Permina yang masih kecil memainkan peran kunci dalam pendanaan
operasi-operasi yang krusial, dan Angkatan darat tidak akan pernah
melupakan itu.

BANTUAN AS dan MASA PRA GESTAPU.

Pejabat-pejabat Amerika Serikat berusaha menciptakan kesan bahwa AS
berada diluar perencanaan kejadian Gestapu, namun hakekatnya mereka
berbohong, pada dasarnya mereka mengakui bahwa peranan bantuan AS dalam
periode pra Gestapu telah berjasa dalam membantu golongan anti komunis
dalam merebut kekuasaan. Meskipun pada tahun 1965 angka nilai pengiriman
MAP anjlok dari sekitar empat belas juta dollar sampai sedikitnya diatas
dua juta dollar, namun justru personil sipil ikut dihadirkan di
Indonesia untuk pertamakalinya dan jumlah personil militer MILTAG yang
kebanyakan adalah pasukan khusus baret hijau AS dari pangkalan Okinawa
yang ditempatkan di Indonesia tidaklah berkurang justru ditingkatkan.

Pada awal Mei 1965, pemasok militer -terutama Lockheed- dengan koneksi
CIA bernegoisasi dengan utusan Soeharto tentang penjualan perlengkapan
dengan hadiah untuk perantara sedemikian rupa sehingga lebih
menggerakkan pendukung Mayor Jenderal Soeharto. Sampai dengan saat itu,
Mayor Jenderal Soeharto baru dikenal sedikit saja sebagai pemimpin baru,
sebagai kelompok ketiga dalam Angkatan Darat disamping kelompok Jenderal
Ahmad Yani dan kelompok Jenderal AH Nasution. Pada bulan Juli 1965,
Rockwell Standard mengadakan persetujuan kontrak untuk memasok dua ratus
pesawat terbang ringan Aero Comander kepada Angkatan Darat Indonesia,
bukan kepada Angkatan Udara Indonesia. Dan lagi-lagi, agen penjulan
dalam transaksi ini adalah rekan politik dan bisnisnya Mayor Jenderal
Soeharto. 

San Fransisco Chronicle pada 24 Oktober 1980 menggambarkan salah satu
operasi USAF-Lockheed di Asia Tenggara dengan nama sandi Buttercup yang
beroperasi dari pangkalan udara Norton di California untuk keterlibatan
CIA dalam pembayaran imbalan komisi dengan Lockheed. Dana rahasia yang
dikelola oleh Angkatan Udara Amerika Serikat untuk kepentingan CIA telah
‘dicuci’ sebagai komisi atas penjualan perlengkapan dan jasa Lockheed
dengan tujuan memberi ‘hadiah politis’ kepada personil militer negara
asing.

Selain itu, beberapa korporasi perusahaan Amerika Serikat juga
menyatakan bahwa mereka berharap adanya dorongan peningkatan yang
berarti bagi kedudukan AS di Indonesia. Sebagai misal, pada bulan April
1965 Freeport telah mencapai ‘persiapan pendahuluan’ dengan
pejabat-pejabat Indonesia untuk proyek penambangan tembaga di Papua
Barat dengan nilai proyek sebesar 500 juta dollar. Pada 15 Agustus 1965,
World Oil juga telah melaporkan bahwa presiden perusahaan minyak
nasional yang kecil -Asamera- telah berpatungan dengan Pertamin untuk
membeli saham perusahaannya senilai 50 ribu dollar. Ini semua memberikan
bukti kebohongan terhadap pengetahuan umum bahwa perusahaan-perusahaan
AS tidak memulai negoisasi dengan orang-orang Indonesia sebelum sampai
Februari 1966.

OPERASI CIA di TAHUN 1965.

Terganggu oleh keengganan militer Cile bertindak terhadap Allende, CIA
menciptakan situasi yang tepat dan serasi, membuatnya dan
menyebarluaskan dengan pembiasan melalui operasi media, CIA memalsukan
sebuah dokumen yang mengakui pengungkapan dan pembongkaran rencana kaum
kiri untuk membunuh pimpinan militer Cile. 

Agen-agen CIA di Santiago membantu inteljen militer Cile merancang
dokumen, seolah-olah Allende dan pendukungnya merencanakan memenggal
para komandan militer Cile. Operasi tipu muslihat terhadap Allende
rupanya berkembang lebih jauh, dengan menakut-nakuti baik golongan kiri
dan kanan dengan pembunuhan yang baru dimulai oleh lawan-lawannya.
Jumlah dan model destabilisasi meyakinkan semua yang berkepentingan
bahwa mereka tidak ada harapan lagi untuk dilindungi status quo. Operasi
ini seperti ini melemahkan kalangan garis tengah dan menimbulkan banyak
provokasi kekerasan diantara golongan kiri maupun kanan. Anggota-anggota
serikat pekerja maupun jenderal-jenderal yang konservatif menerima kartu
kecil dengan tulisan tercetak kata-kata ancaman : Djakarta se acerca
atau Djakarta sudah semakin dekat.

Ada kesamaan antara kejadian yang mempercepat penggulingan Allende
dengan apa yang terjadi di Indonesia tahun 1965. Ralph Mc Gehee -mantan
anggota CIA- menyatakan pernah melihat dokumen CIA yang berisi laporan
yang dirahasiakan atas peran badan tersebut dalam memprovokasi Gestapu. 

Setahun sebelum Gestapu, di sebuah dokumen ada uraian tentang rencana
menggulingkan kaum pengikut Nasution melalui infiltrasi dalam tubuh
Angkatan Darat. sepanjang tahun 1965 ketegangan di Angkatan Darat
meningkat dengan desas-desus bahwa daratan China menyelundupkan senjata
untuk PKI guna mengadakan revolusi yang sudah dekat dan sebentar lagi
meletus. Cerita penyelundupan senjata dari China ditambah dengan
tuntutan PKI untuk membentuk Milisi Rakyat atau Angkatan Kelima serta
pelatihan Pemuda Rakyat di Lubang Buaya, sedikit banyak menakutkan bagi
tentara Indonesia. 

Sementara itu paranoia tentang coup PKI terus dihembuskan, terus
berlangsung selama berbulan-bulan dengan mengulang-ulang laporan bahwa
Dewan Jenderal yang didukung CIA sedang dirancang untuk menindas PKI.
Desas-desus seperti ini tidak hanya berasal dari sumber-sumber
anti-Amerika, bahkan terdapat dalam Washington Post yang ditulis oleh
Evans dan Novak. Kedua wartawan ini juga menuliskan bahwa Angkatan Darat
telah membentuk Komisi Penasehat secara diam-diam dan terdiri dari lima
jenderal untuk memberikan laporan kepada Jenderal Ahmad Yani dan
Jenderal Nasution tentang kegiatan PKI.

PKI siap tempur, sementara kelompok Nasution berharap bahwa PKI akan
menarik picu lebih dulu. Tetapi hal itu tidak juga kunjung dilakukan
oleh PKI. PKI tidak akan membiarkan diprovokasi seperti dalam peristiwa
Madiun. Situasi dan kondisi ini menjadikan kelompok garis tengah tidak
mempunyai alternatif lain kecuali memilih perlindungan dari yang lebih
kuat. Pada 14 September 1965, dua minggu sebelum ‘coup’, Angkatan Darat
Indonesia kembali diperingatkan bahwa ada rencana membunuh pimpinan
tentara empat hari kemudian.

Cerita dengan tujuan ini -dua minggu sebelum Gestapu- juga muncul di
harian Malaysia yang mengutip dari sumber di Bangkok, dan pada
gilirannya mengacu pada sumber dari Hongkong. Ketidakmungkinan dilacak
secara internasional seperti ini adalah gaya atau ciri-ciri cerita dalam
periode ini yang berasal dari apa yang dinamakan ‘orang dalam CIA’
sebagai ‘wurlitser yang perkasa’ milik mereka, yaitu jaringan ‘aset’
pers dunia yang digunakan oleh CIA atau badan sejenis M-16 dari Inggris
yang dapat menanamkan berita dengan tidak menimbulkan disinformasi.

Sudah barang tentu ‘dongeng’ tentang ‘Dewan Jenderal’ inilah yang
dinyatakan oleh Letnan Kolonel Untung sebagai sasaran dari coup Gestapu.
Terbunuhnya lima jenderal -selain Yani- oleh Gestapu, sejauh menyangkut
koinsidensi dengan jumlah jenderal yang ditulis oleh Washington Post
adalah hal yang signifikan. Akan tetapi hal itu menjadi kontradikstif
mengingat sudah lama beredar cerita di pers Amerika Serikat bahwa CIA
telah lama mencoret kedua jenderal itu -Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal
AH Nasution- karena dinilai enggan melawan Soekarno. Sehingga jika
skenario ‘elimininasi terhadap pesaing politik’ Soeharto di lingkungan
Angkatan darat melalui Gestapu harus dituduhkan kepada golongan kiri,
maka skenario Gestapu itu membutuhkan adanya pembangkitan kembali citra
anti komunis kepada kedua jenderal tersebut.

Pada tanggal 2 Agustus 1965, New York Times menerbitkan lagi ucapan
Nasution pada wawancara di tahun 1963 perihal sikapnya menaggapi
serangan terhadap pangkalan Inggris di Singapura. Hal itu sesungguhnya
bertujuan sekedar untuk menyatakan bahwa Jenderal AH Nasution -dimana
Nasution dianggap sebagai lawan paling gigih dari PKI dan sedangkan
Soekarno didukung oleh PKI- telah melancarkan kanpanye Angkatan Darat
sebagai suatu kekuatan anti Komunisme. 

Berkenaan dengan kampanye media yang menyertai skenario coup Gestapu
itu, Prof. Benedict Andersen dan Ruth Mc Vey mempertanyakan mengapa PKI
tidak menunjukkan dukungan kepada ‘coup Gestapu’ ketika coup itu sedang
berjalan ?, tetapi mengapa justru setelah gerakan itu ditumpas malahan
dengan gegabah tiba-tiba malahan di Harian Rakyat membuat tajuk rencana
yang berisi dukungan kepada ‘coup Gestapu’?. Mengapa pula waktu Soeharto
menguasai Jakarta dan menutup semua surat kabar justru tidak menutup
Harian Rakyat yang nyata-nyata merupakan surat kabar milik PKI ?. 

Duta Besar Marshal Green melaporkan suatu wawancara dengan Presiden
Nixon pada tahun 1967 : ‘ Pengalaman Indonesia menarik perhatian
Presiden Nixon, karena segala sesuatunya telah berlangsung dengan
baik-baik saja. Saya kira ia sangat tertarik pada seluruh pengalaman ini
dengan menunjuk cara yang harus kita lakukan dalam hubungan yang lebih
luas di Asia Tenggara umumnya dan mungkin di dunia ‘.

Mengutip memoar seorang mantan ahli inteljen angkatan laut Amerika
Serikat yang menyatakan bahwa AS berencana menggulingkan Sihanouk,
termasuk menyusupkan kelompok pembunuh yang dilatih AS dengan menyamar
sebagai Vietkong ke Pnom Penh untuk membunuh Sihanouk dengan dalih
Revolusi. Setelah pelantikan Presiden Nixon, pada tingkat tertinggi
pemerintah menghendaki agar ada pembunuhan yang moderat di pusat oleh
nyata-nyata golongan sayap kiri sebagai dalih untuk menggulingkan
kekuasaan sayap kanan.

Walau begitu, perlu diingat bahwa dari satu sudut pandang saja tentu
tidak seorang pun dapat menjamin menguasai kejadian dalam masa kacau
itu. Sehingga sepertinya agak lucu dan tolol untuk menganggap timbulnya
kekerasan pada tahun 1965 itu timbul satu-satunya dari pemerintah
Amerika Serikat, militer Indonesia, dan saling hubungan mereka dengan
inteljen Inggris dan Jerman serta Jepang mungkin juga Australia. PKI
sudah barang tentu juga mempunyai peran yang cukup besar dalam munculnya
histeria politik di tahun 1965. Suatu tulisan yang lebih panjang lagi
dapat mendiskusikan tindakan ‘pro-aktif-nya PKI’ dan juga Presiden
Soekarno sendiri dalam keruntuhan sosial ini. 

Namun menyatakan masalah keterlibatan Amerika Serikat dalam operasi
pembunuhan sistematis ini penting dan khususnya mengetahui lebih banyak
tentang laporan CIA yang dinyatakan dan dilihat sendiri oleh Ralph Mc
Gehee sebagai mantan anggota CIA. Penafsiran yang dapat dibandingkan
seperti itu membantu menjelaskan peranan orang Indonesia dalam
penggulingan pemerintahan di negara lain yang disponsori oleh Nixon,
seperti terhadap Sihanoek di Kamboja, penggulingan Presiden Allende di
Cile, dan sponsorship Amerika Serikat dewasa ini bersama dengan rezim
regu kematiannya di Amerika Tengah.

* * *
Disarikan dari : ‘ Amerika Serikat & Penggulingan Soekarno 1965-967 ’
tulisan Peter Dale Scott  yang diterbitkan oleh Penerbit Vision 3 -
Depok.
* * *
Wallahu’alambishawab
* * *
si-Pandir, Jakarta, 17 Desember  2005.
*******


  




















-- 
http://www.fastmail.fm - A no graphics, no pop-ups email service



Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke