Saat sekarang ini di Indonesia, kekayaan alam-nya semakin banyak yang dikuasai oleh pihak asing dan disana diduga banyak terjadi praktik korupsi yang berskala besar. Pada saat ini, gejala tersebut terjadi lebih cepat jalannya dibandingkan ketika pada masa Megawati dan Hamzah Haz.
DPR dan DPD dirasa perlu didesak untuk segera membentuk semacam pansus atau kaukus untuk meneropong dengan jeli dan mengangkat ke permukaan masalah persoalan eksploitasi pertambangan ini serta membongkar praktik korupsi berskala besar yang terjadi disana. Contoh beberapa proyek pertambangan yang dirasa perlu disoroti oleh DPR antara lain adalah ; Freeport di Timika Papua yang kerusakan ekologinya diperkirakan telah mencapai 200 kilometer persegi sedangkan disatu sisi rakyat tak pernah tahu berapa ratus ton emas dan perak yang yang sudah diangkut dari sana ke luar negeri dan anehnya kontrak karyanya telah diperpanjang lagi padahal kontraknya masih delapan tahun lagi habis masa berlakunya ; terkait disini termasuk juga Newmont di Minahasa Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat ; selanjutnya adalah Liquiefied Natural Gas Tangguh di Manokwari Papua yang harga jual gas produksinya dipatok flat seharga 2,6 USD per MBTU padahal harganya internasionalnya mencapai 9 USD per MBTU ; juga soal pengelolaan Sumur Minyak di Cepu Jawa Timur. Proyek asingisasi ini tak berhenti sampai disini saja, ini juga berhubungan dengan agenda liberalisasi yang terkait dengan kepemilikan dan pengelolaan SPBU-SPBU oleh asing ; kepemilikan saham mayoritas oleh asing atas pabrik-pabrik semen semisal seperti Semen Padang, Semen Gresik, Semen Cibinong, maupun Semen Tiga Roda. Jika DPR dan DPD mau berjasa buat rakyat, maka seluruh fraksi diharapkan secara bersama-sama membongkar persoalan ini, serta tentunya untuk menanganinya secara tuntas perlu ada kemauan dan komitmen politik dari pemerintah. Demikian cuplikan berita yang berita selengkapnya dapat dilihat di : SKHU Kompas, Kamis, 8 Januari 2006, Politik & Hukum, Pemberantasan Korupsi : Di Sektor Pertambangan Diduga Terjadi Korupsi Berskala Besar. Berita selengkapnya sebagai berikut : ***** Zaman hakekatnya tak pernah berubah, sejarah selalu berulang dan peristiwa selalu berdaur ulang, hanya pelaku sejarahnya saja yang berganti. Semenjak pasca Sultan Agung -sangat mungkin- berlanjut hingga detik ini, sejarah suksesi tahta kekuasaan di negeri ini senantiasa -berindikasi kental- bumbu intrik terlibatnya beking dari korporasi negara asing. Dimasa silam sejarah mencatat, bahwa para calon pewaris tahta atau para pangeran yang merasa dirinya pantas menjadi pewaris tahta, telah tak segan meminta bantuan dan dukungan dari Portugis atau Inggris atau Belanda dengan sarekat saudagar VOC-nya untuk membekingi dirinya dalam usaha menggapai obsesi dirinya untuk naik ke atas tahta singgasana kekuasaan pemerintahan negeri ini. Bantuan dan dukungan yang diberikan oleh dari pihak asing tersebut dapat berupa biaya dan dana untuk membiayai usaha naik tahta, atau bahkan juga ditambah dengan dukungan kekuatan senjata untuk menyingkirkan para pesaingnya. Kemudian sejarah mencatat, pasca dirinya naik ke atas tahta, maka kompensasi berupa monopoli dagang atau konsesi tanah perkebunan diberikan oleh si-pewaris tahta itu kepada korporasi negara asing tersebut sebagai konsekuensi balas budi atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan mereka kepada dirinya, Selanjutnya, generasi berganti generasi, secara perlahan cengkeraman itu semakin erat dan kedaulatan negeri semakin tergerogoti, sampai akhirnya -pada generasi yang kesekian- kedaulatan tahta tak lagi mempunyai arti. Tak mungkin lagi seorang pangeran pewaris tahta dapat naik keatas singgasana tanpa restu dari korporasi negara asing tersebut. Sejarah mencatat, karena kejelian dan ketepatannya dalam memilih calon yang dibekinginya -diantara deretan pangeran pewaris tahta- maka korporasi sarekat dagang VOC dari negeri Belanda mampu mengungguli Portugis dan Inggris dalam menancapkan hegemoninya selama tiga setengah abad di negeri ini. Hari ini dan masa mendatang, suksesi tahta di negeri ini tak lagi perlu melibatkan kekerasan dan senjata, negeri ini telah menerapkan demokrasi sejati , Para pewaris tahta hanya dapat naik keatas singgasana jika dalam pemilihan langsung mampu menjaring suara dukungan terbanyak dari rakyatnya. Namun peluang dan celah bagi terlibatnya beking korporasi asing -semacam VOC pada masa silam- bukan berarti tak mungkin lagi. Aktivitas dan kegiatan kampanye untuk meraih simpati dan dukungan rakyat -melalui iklan televisi maupun modus kampanye lainnya- membutuhkan biaya dan dana yang teramat sangat besar. Siapakah -diantara deretan para pangeran pewaris tahta atau deretan para pangeran yang merasa dirinya pantas menjadi pewaris tahta- yang tak akan tergiur untuk meminta bantuan dan dukungan dari korporasi asing jika hal itu yang memungkinkan tercapai obesisinya dan membuat dirinya dapat menggapai tahta kekuasaan ?. Para penghamba syahwat kekuasaan tentu akan tergiur melakukannya -seribu satu dalih pembenar dapat dihadirkan oleh dirinya untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa yang dilakukannya itu merupakan suatu kewajaran dan keniscayaan- tak perduli konsekuensi kompensasi yang diminta oleh korporasi asing itu sama halnya dengan menghisap sumsum tulang belulang rakyatnya. Berikut ini adalah cuplikan artikel yang ditulis oleh Peter Dale Scott yang menuliskan analisisnya mengenai peristiwa suksesi tahta di tahun 1965, diungkapkannya semburat nuansa terlibatnya beking dari korporasi dan pemerintahan negara asing beserta konsekuensi kompensasinya. Semoga tak ada yang tersinggung karenanya, sebab itu adalah biasa dalam percaturan politik dan wajar dalam dunia bisnis. Mengapa kita musti cemberut ?, toh sampai hari ini pun langit diatas negeri ini masih tak runtuh, dan kehidupan masih berjalan utuh. Artikel berikut ini merupakan tulisan Peter Dale Scott yang pernah dimuat dalam buletin Pasific Affairs No. 58 tahun 1985 terbitan English Department University of California - Berkeley - Amerika Serikat. Tulisan singkat ini adalah subyek yang sangat penting, rumit, dan memusingkan. Kisah lengkap mengenai periode yang rumit dan kurang dimengerti ini bahkan akan tetap berada diluar jangkauan analisis tertulis yang paling lengkap sekalipun. Banyak peristiwa yang menyangkut kejadian seputar masa itu yang tidak didokumentasikan, sedangkan dokumentasi yang tersisa dan terselamatkan banyak yang bersifat kontroversial dan tidak dapat diverifikasi kebenarannya. Kisah rumit dengan makna ganda ini, setelah diuraikan maka pada hakekatnya lebih sederhana dan mudah dimengerti serta dipercaya dibandingkan dengan versi resmi yang dikarang oleh Presiden Soeharto dan sumber pemerintah Amerika Serikat. Tulisan ini berusaha membuktikan bahwa dengan mendorong Gestapu maka sayap kanan dalam Angkatan Darat dapat menyingkirkan saingannya dari kelompok tengah Angkatan Darat. Hal ini selanjutnya membuka jalan eliminasi bagi golongan sipil sayap kiri yang sudah lama direncanakan, dan skenario tunggal yang masuk akal untuk pengambilalihan kekuasan sekaligus membangun kediktatoran militer. Kuncinya adalah apa yang dinamakan percobaan perebutan kekuasaan oleh Gestapu yang pada lahirnya bersikap mendukung Soekarno, namun sebenarnya menjadikan anggota pimpinan Angkatan Darat sebagai sasaran utama. Faktanya, tidak seorang pun diantara para Jenderal Angkatan Darat yang anti Soekarno yang menjadi sasaran Gestapu, kecuali yang bersifat problematis secara nyata, yaitu Jenderal AH Nasution. Hubungan Soeharto dengan Nasution sempat membeku sesudah ada pemeriksaan karena dugaan dan tuduhan korupsi -barter dan penyelundupan- pada tahun 1959. Hal itu menyebabkan Soeharto dipindahkan jabatan-nya dari Panglima Kodam Diponegoro. Fraksi yang paling taat dan setia mendukung Soekarno -Jenderal Yani bersama lingkungan dekat para Jenderal Angkatan Darat- dibunuh, yang membuka jalan perebutan kekuasaan oleh sayap kanan anti Yani dan bersekutu dengan Soeharto. Harold Crouch dalam Tentara dan Politik di Indonesia menyebutkan bahwa Markas Besar TNIAD pada tahun 1965 terbelah dalam dua kubu, kubu sayap kiri dan kubu sayap kanan dengan ditengah-tengahnya ada para perwira tinggi yang diangkat bersamaan dan loyal kepada Jenderal Ahmad Yani. Kubu Jenderal Ahmad Yani ini enggan melawan kebijakan Presiden Soekarno tentang persatuan nasional dan bersekutu dengan kelompok Komunis, walaupun dalam sikapnya terhadap PKI, sikap kubu Yani ini sama dengan sikap kubu sayap kanan -kubu Nasution- yaitu bersikap anti PKI. Tetapi pada tahun 1965, masalah isu Soekarno merupakan isu yang bersifat menjadi pemecah antara kubu Yani dan kubu Nasution. Gestapu hanyalah tahap pertama dari tiga tahapan; gerakan pendorong coup sayap kiri, disusul dengan respon cepat Soeharto, dan dilanjutkan dengan keruntuhan kecepatan tinggi kekuasan Soekarno. Distorsi kenyataan bermuka dua yang munafik akan tetapi justru saling menunjang, ada kesinambungan antara hasil yang telah dicapai, baik oleh Untung dengan Gestapunya maupun respon Soeharto terhadap Gestapu tersebut. Pertama adalah Letnan Kolonel Untung dengan Getapu-nya yang berkedok membela Presiden Soekarno, serta melanjutkan tugasnya mengeliminasi anggota Markas Besar Angkatan Darat yang pro Jenderal Ahmad Yani, bersama-sama dengan unsur yang semula mendukung Jenderal Ahmad Yani, kemudian juga terhadap pendukung Presiden Soekarno yang masih tersisa. Pada 1 Oktober 1965, Letnan Kolonel Untung mengumumkan secara mendua bahwa Presiden Soekarno dalam perlindungan Gestapu, padahal tidak, Gestapu mengumumkan alih kekuasaan kepada Dewan Revolusi dengan tanpa mengikutsertakan Presiden Soekarno. Keputusan Gestapu untuk menjaga semua sisi Lapangan Merdeka, kecuali sisi timur tempat markas Kostrad, dimana Mayor Jenderal Soeharto menjadi panglimanya berada. Kedua adalah Mayor Jenderal Soeharto yang berperan seolah-olah sebagai pembela status quo yang konstitusional serta berpura-pura melindungi Presiden Soekarno, padalah sebenarnya bergerak sesuai dengan rencananya sendiri yang pada hakekatnya itu adalah mencegah Presiden Soekarno dan pendukungnya untuk mengambil kembali kendali pemerintahan. Pengumuman Mayor Jenderal Soeharto yang disiarkan RRI masih mempertegas bahwa Angkatan Darat tetap setia kepada Presiden Soekarno, padahal ketika itu Mayor Jenderal Soeharto tahu benar bahwa pembunuhan enam Jenderal itu justru sebenarnya dilaksanakan oleh unsur-unsur pasukan yang mempunyai hubungan dengan Letnan Konolel Untung, yaitu unsur-unsur dibawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto sendiri. Banyak pasukan yang terlibat dalam pemberontakan apa yang dinamakan Gestapu -di Jakarta maupun di Jawa Tengah- merupakan batalyon-batalyon yang itu-itu juga yang memberi perbekalan kepada kompi-kompi yang memberontak yang sekaligus juga digunakan untuk melumpuhkan para pemberontak. Dua pertiga pasukan brigade para ditambah satu kompi serta satu peleton yang merupakan kesatuan Gestapu di Jakarta, dipimpin oleh perwira Divisi Diponegoro maupun yang dipindahkan dan dekat dengan Soeharto. Salah satu dari tiga pemimpin Gestapu Jawa Tengah, yaitu Letnan Kolonel Usman Sastrodibroto adalah kepala seksi di Divisi Diponegoro yang mengoperasikan dan menangani bisnis perkapalan yang didirikan oleh Soeharto bersama rekan bisnisnya. Kompi itu berasal dari Yonif 454 dan Yonif 530 yang sejak tahun 1962 merupakan pasukan Raiders dengan bantuan utama dari Amerika Serikat. Salah seorang lagi dari tiga pimpinan Gestapu di Jawa Tengah adalah Suherman, yang merupakan perwira dari didikan Fort Leavenworth dan Okinawa Amerika Serikat, Rudolf Mrazek dalam The United States and the Indonesian Military menyebutkan bahwa penempatan kedua fraksi yang bertentangan dengan banyak struktur komando tetapi semuanya bermuara dan sangat dekat dengan Soeharto, cukup memberikan penjelasan bagaimana Soeharto mampu memulihkan keamanan dan ketertiban dalam kota tanpa ada letusan senjata. Pertempuran antara Baret Hijau Yonif 454 dengan Baret Merah RPKAD di Pangkalan Udara Halim berlangsung tanpa ada korban gugur seorang pun. Ia juga mengaitkan penjajakan perdamaian dengan ditarik mundurnya beberapa kesatuan terbaik ke Jawa pada pertengahan tahun 1965, yang mana hal itu secara politis dapat juga ditanggapi sebagai persiapan mengambil-alih kekuasaan negara. Prof. Benedict Andersen dan Mortimer pernah menyebut mempunyai suatu kesan bahwa singkatan istilah Gestapu itu sendiri merupakan satu alasan lain dengan menganggap bahwa singkatan istilah Gestapu adalah bikinan Amerika Serikat. Dalam kaidah hukum DM dalam bahasa Indonesia tidaklah dapat disebut istilah sebagai Gerakan September Tiga Puluh. Menurut urutan kata dalam Bahasa Indonesia seharusnya disebut sebagai Gerakan Tiga Puluh September. Hal ini sama seperti mengatakan May Teenth Four atau Mei Sepuluh Empat sebagai gantinya May Four Teenth atau Empat Belas Mei. Selanjutnya, tulisan ini akan berlanjut dengan mempermasalahkan bahwa Gestapu, respon Soeharto, dan pertumpahan darah, termasuk dalam skenario tunggal yang masuk akal untuk pengambil-alihan kekuasaan oleh militer, suatu skenario -yang lagi-lagi- tidak lama setelah diusulkan CIA untuk menangani Cile dan dalam batas-batas tertentu juga di Kamboja. Dorongan dan bantuan untuk penggulingan kekuasaan oleh militer yang datangnya dari Amerika Serikat, melalui CIA, militer, yayasan Ford, serta Rand Corporation. AS dan TNI-AD. Sejak tahun 1953, Amerika Serikat berkepentingan membantu menggerakkan krisis di wilayah Indonesia. Proyek ini dikenal sebagai penyebab langsung yang mendorong Soekarno mengakhiri sistem parlementer dan menyatakan keadaan darurat perang atau SOB pada 17 Maret 1957. Dokumen NSC 171/1 tahun 1953 -dokumen resmi National Security Council atau Dewan Kemanan Nasional Amerika Serikat- memuat pertimbangan pelatihan militer sebagai sarana untuk meningkatkan pengaruh Amerika Serikat. CIA menyalurkan bantuan jutaan dollar, pada tahun 1957 sebuah Komisi Pilihan Senat yang mempelajari CIA menemukan apa yang dinamakan ada bukti bahwa CIA terlibat dalam rencana pembunuhan Presiden Soekarno. Pada 1 Agustus 1958, Amerika Serikat mulai meningkatkan program bantuan militer kepada Indonesia dalam bilangan dua puluh juta dollar dalam setahun. Sebuah nota dari Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat menjelaskan bahwa bantuan ini diberikan kepada Angkatan Darat Indonesia guna melaksanakan rencana mengendalikan Komunisme. Sekalipun demikian, pada tahun 1958, PKI tetap muncul sebagai gerakan massa terbesar di Indonesia. Dalam buku Rand Corp yang diterbitkan oleh Badan Penerbit Universitas Princeton, Guy Parker -dosen di Universitas California merangkap konsultan pada Rand Corp- mendesak rekanan dalam tubuh Angkatan Darat Indonesia untuk melaksanakan suatu misi dan untuk menyerang menyapu bersih rumahnya serta mengambil alih tanggung-jawab penuh dalam kepemimpinan nasional. Noam Chomsky dan ES Herman dalam The Washington Connection and Third World Facism, serta David Mozinggo dalam Chinese Policy toward Indonesia, menyebutkan bahwa fokus paling berarti dalam program pelatihan dan bantuan Amerika Serikat adalah menyangkut hubungan yang meningkat antara organisasi teritorial tentara dengan pemerintahan sipil, hubungan politis dengan kelompok sipil, organisasi keagamaan dan budaya, kelompok pemuda, veteran, serikat pekerja, organisasi petani, partai politik, dan kelompok-kelompok tingkat lokal dan wilayah. Neville Maxwell -seorang peneliti senior pada institut Studi Persemakmuram Universitas Oxford- dalam Journal of Contemporary Asia IX menyebutkan bahwa boleh jadi perencanaan skenario Gestapu dan Anti Gestapu sudah berawal sejak tahun 1964. Ia menuliskan juga bahwa : Beberapa tahun lalu saya sedang meneliti di Pakistan tentang latar belakang diplomatik konflik India dengan Pakistan. Dalam kertas-kertas Kementerian Luar Negeri yang sempat saya pelajari, saya menjumpai suatu surat yang tertanggal Desember 1964 dari salah seorang Duta Besar Pakistan di Eropa kepada Menlu Ali Bhutto. Ia melaporkan sesuatu percakapannya dengan perwira inteljen Belanda, dan perwira itu memberikan informasi bahwa Indonesia akan jatuh ke pangkuan Barat seperti sebuah apel busuk, badan-badan inteljen barat akan merancang suatu coup komunis yang prematur dan ditakdirkan akan gagal . AS melawan SOEKARNO. Banyak orang di Washington khususnya Direktorat Perencanaan CIA- telah lama menginginkan agar Soekarno disingkirkan. Ketika Lyndon Johnson menaiki kursi Presiden segeralah disusul dengan perubahan politik yang lebih anti Soekarno. Presiden Jhonson pada bulan Desember 1963 telah memutuskan untuk menahan bantuan ekonominya ditengah keterpurukan ekonomi Indonesia. Hal ini telah memberikan sumbangan secara aktif kepada destabilisasi radikal ekonomi Indonesia, sehingga harga beras antara Juni sampai September 1965 meningkat sampai empat kali lipat dan harga dollar melangit. Seperti juga kejadian di Cile, pemutusan semua bentuk bantuan ekonomi secara berangsur kepada Indonesia dalam tahun 1962-1965 dibarengi dengan pengalihan bantuan militer kepada unsur-unsur bersahabat dalam Angkatan Darat Indonesia. Bantuan milter Amerika Serikat mencapai 39,5 juta dollar dalam empat tahap dalam kurun waktu itu, dengan puncaknya sebesar 16,3 juta dollar dalam setahun. Sepertinya sesuatu yang sulit dimengerti, justru sesudah Soekarno menyatakan go to hell with your aid dan menasionalisasikan kepentingan-kepentingan ekonomi Amerika Serikat serta memanfaatkan dana tunjangan Uni Soviet untuk menghadapi Inggris di Malaysia, justru Amerika Serikat membantu mempersenjatai militer Indonesia. Orang-orang hanya tidak menyadari saja apa yang sesungguhnya sedang berkembang. Hakekatnya, konggres Amerika Serikat menyetujui untuk menangani pedanaan militer Indonesia sebagai masalah yang terselubung dan rahasia. Pendanaan oleh pemerintah Amerika Serikat hanya dialihkan dari pembiayaan untuk Negera Indonesia ke komponen dan unsur yang paling tidak setia kepada pemerintahnya. Hal ini berawal dari Undang-Undang Kedaaan Bahaya tahun 1957 yang prosesnya dipercepat oleh adanya perjanjian Minyak yang dinegoisasikan dengan Amerika Serikat tahun 1963. Telah terjadi peralihan serupa pula dalam arus pembayaran perusahaan minyak Amerika Serikat, Stanvac dan Caltex sekarang memberikan pembayaran yang lebih besar kepada Permina, Perusahaan Minyak milik Angkatan Darat. George Benson yang memimpin kelopok penasehat pelatihan militer Iltag di Jakarta kemudian telah disewa oleh Permina sebagai pelobi di Washington. Berkaitan dengan hal itu, Fortune pada bulan Juli 1973 pernah menuliskan bahwa perusahaan Permina yang masih kecil memainkan peran kunci dalam pendanaan operasi-operasi yang krusial, dan Angkatan darat tidak akan pernah melupakan itu. BANTUAN AS dan MASA PRA GESTAPU. Pejabat-pejabat Amerika Serikat berusaha menciptakan kesan bahwa AS berada diluar perencanaan kejadian Gestapu, namun hakekatnya mereka berbohong, pada dasarnya mereka mengakui bahwa peranan bantuan AS dalam periode pra Gestapu telah berjasa dalam membantu golongan anti komunis dalam merebut kekuasaan. Meskipun pada tahun 1965 angka nilai pengiriman MAP anjlok dari sekitar empat belas juta dollar sampai sedikitnya diatas dua juta dollar, namun justru personil sipil ikut dihadirkan di Indonesia untuk pertamakalinya dan jumlah personil militer MILTAG yang kebanyakan adalah pasukan khusus baret hijau AS dari pangkalan Okinawa yang ditempatkan di Indonesia tidaklah berkurang justru ditingkatkan. Pada awal Mei 1965, pemasok militer -terutama Lockheed- dengan koneksi CIA bernegoisasi dengan utusan Soeharto tentang penjualan perlengkapan dengan hadiah untuk perantara sedemikian rupa sehingga lebih menggerakkan pendukung Mayor Jenderal Soeharto. Sampai dengan saat itu, Mayor Jenderal Soeharto baru dikenal sedikit saja sebagai pemimpin baru, sebagai kelompok ketiga dalam Angkatan Darat disamping kelompok Jenderal Ahmad Yani dan kelompok Jenderal AH Nasution. Pada bulan Juli 1965, Rockwell Standard mengadakan persetujuan kontrak untuk memasok dua ratus pesawat terbang ringan Aero Comander kepada Angkatan Darat Indonesia, bukan kepada Angkatan Udara Indonesia. Dan lagi-lagi, agen penjulan dalam transaksi ini adalah rekan politik dan bisnisnya Mayor Jenderal Soeharto. San Fransisco Chronicle pada 24 Oktober 1980 menggambarkan salah satu operasi USAF-Lockheed di Asia Tenggara dengan nama sandi Buttercup yang beroperasi dari pangkalan udara Norton di California untuk keterlibatan CIA dalam pembayaran imbalan komisi dengan Lockheed. Dana rahasia yang dikelola oleh Angkatan Udara Amerika Serikat untuk kepentingan CIA telah dicuci sebagai komisi atas penjualan perlengkapan dan jasa Lockheed dengan tujuan memberi hadiah politis kepada personil militer negara asing. Selain itu, beberapa korporasi perusahaan Amerika Serikat juga menyatakan bahwa mereka berharap adanya dorongan peningkatan yang berarti bagi kedudukan AS di Indonesia. Sebagai misal, pada bulan April 1965 Freeport telah mencapai persiapan pendahuluan dengan pejabat-pejabat Indonesia untuk proyek penambangan tembaga di Papua Barat dengan nilai proyek sebesar 500 juta dollar. Pada 15 Agustus 1965, World Oil juga telah melaporkan bahwa presiden perusahaan minyak nasional yang kecil -Asamera- telah berpatungan dengan Pertamin untuk membeli saham perusahaannya senilai 50 ribu dollar. Ini semua memberikan bukti kebohongan terhadap pengetahuan umum bahwa perusahaan-perusahaan AS tidak memulai negoisasi dengan orang-orang Indonesia sebelum sampai Februari 1966. OPERASI CIA di TAHUN 1965. Terganggu oleh keengganan militer Cile bertindak terhadap Allende, CIA menciptakan situasi yang tepat dan serasi, membuatnya dan menyebarluaskan dengan pembiasan melalui operasi media, CIA memalsukan sebuah dokumen yang mengakui pengungkapan dan pembongkaran rencana kaum kiri untuk membunuh pimpinan militer Cile. Agen-agen CIA di Santiago membantu inteljen militer Cile merancang dokumen, seolah-olah Allende dan pendukungnya merencanakan memenggal para komandan militer Cile. Operasi tipu muslihat terhadap Allende rupanya berkembang lebih jauh, dengan menakut-nakuti baik golongan kiri dan kanan dengan pembunuhan yang baru dimulai oleh lawan-lawannya. Jumlah dan model destabilisasi meyakinkan semua yang berkepentingan bahwa mereka tidak ada harapan lagi untuk dilindungi status quo. Operasi ini seperti ini melemahkan kalangan garis tengah dan menimbulkan banyak provokasi kekerasan diantara golongan kiri maupun kanan. Anggota-anggota serikat pekerja maupun jenderal-jenderal yang konservatif menerima kartu kecil dengan tulisan tercetak kata-kata ancaman : Djakarta se acerca atau Djakarta sudah semakin dekat. Ada kesamaan antara kejadian yang mempercepat penggulingan Allende dengan apa yang terjadi di Indonesia tahun 1965. Ralph Mc Gehee -mantan anggota CIA- menyatakan pernah melihat dokumen CIA yang berisi laporan yang dirahasiakan atas peran badan tersebut dalam memprovokasi Gestapu. Setahun sebelum Gestapu, di sebuah dokumen ada uraian tentang rencana menggulingkan kaum pengikut Nasution melalui infiltrasi dalam tubuh Angkatan Darat. sepanjang tahun 1965 ketegangan di Angkatan Darat meningkat dengan desas-desus bahwa daratan China menyelundupkan senjata untuk PKI guna mengadakan revolusi yang sudah dekat dan sebentar lagi meletus. Cerita penyelundupan senjata dari China ditambah dengan tuntutan PKI untuk membentuk Milisi Rakyat atau Angkatan Kelima serta pelatihan Pemuda Rakyat di Lubang Buaya, sedikit banyak menakutkan bagi tentara Indonesia. Sementara itu paranoia tentang coup PKI terus dihembuskan, terus berlangsung selama berbulan-bulan dengan mengulang-ulang laporan bahwa Dewan Jenderal yang didukung CIA sedang dirancang untuk menindas PKI. Desas-desus seperti ini tidak hanya berasal dari sumber-sumber anti-Amerika, bahkan terdapat dalam Washington Post yang ditulis oleh Evans dan Novak. Kedua wartawan ini juga menuliskan bahwa Angkatan Darat telah membentuk Komisi Penasehat secara diam-diam dan terdiri dari lima jenderal untuk memberikan laporan kepada Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal Nasution tentang kegiatan PKI. PKI siap tempur, sementara kelompok Nasution berharap bahwa PKI akan menarik picu lebih dulu. Tetapi hal itu tidak juga kunjung dilakukan oleh PKI. PKI tidak akan membiarkan diprovokasi seperti dalam peristiwa Madiun. Situasi dan kondisi ini menjadikan kelompok garis tengah tidak mempunyai alternatif lain kecuali memilih perlindungan dari yang lebih kuat. Pada 14 September 1965, dua minggu sebelum coup, Angkatan Darat Indonesia kembali diperingatkan bahwa ada rencana membunuh pimpinan tentara empat hari kemudian. Cerita dengan tujuan ini -dua minggu sebelum Gestapu- juga muncul di harian Malaysia yang mengutip dari sumber di Bangkok, dan pada gilirannya mengacu pada sumber dari Hongkong. Ketidakmungkinan dilacak secara internasional seperti ini adalah gaya atau ciri-ciri cerita dalam periode ini yang berasal dari apa yang dinamakan orang dalam CIA sebagai wurlitser yang perkasa milik mereka, yaitu jaringan aset pers dunia yang digunakan oleh CIA atau badan sejenis M-16 dari Inggris yang dapat menanamkan berita dengan tidak menimbulkan disinformasi. Sudah barang tentu dongeng tentang Dewan Jenderal inilah yang dinyatakan oleh Letnan Kolonel Untung sebagai sasaran dari coup Gestapu. Terbunuhnya lima jenderal -selain Yani- oleh Gestapu, sejauh menyangkut koinsidensi dengan jumlah jenderal yang ditulis oleh Washington Post adalah hal yang signifikan. Akan tetapi hal itu menjadi kontradikstif mengingat sudah lama beredar cerita di pers Amerika Serikat bahwa CIA telah lama mencoret kedua jenderal itu -Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal AH Nasution- karena dinilai enggan melawan Soekarno. Sehingga jika skenario elimininasi terhadap pesaing politik Soeharto di lingkungan Angkatan darat melalui Gestapu harus dituduhkan kepada golongan kiri, maka skenario Gestapu itu membutuhkan adanya pembangkitan kembali citra anti komunis kepada kedua jenderal tersebut. Pada tanggal 2 Agustus 1965, New York Times menerbitkan lagi ucapan Nasution pada wawancara di tahun 1963 perihal sikapnya menaggapi serangan terhadap pangkalan Inggris di Singapura. Hal itu sesungguhnya bertujuan sekedar untuk menyatakan bahwa Jenderal AH Nasution -dimana Nasution dianggap sebagai lawan paling gigih dari PKI dan sedangkan Soekarno didukung oleh PKI- telah melancarkan kanpanye Angkatan Darat sebagai suatu kekuatan anti Komunisme. Berkenaan dengan kampanye media yang menyertai skenario coup Gestapu itu, Prof. Benedict Andersen dan Ruth Mc Vey mempertanyakan mengapa PKI tidak menunjukkan dukungan kepada coup Gestapu ketika coup itu sedang berjalan ?, tetapi mengapa justru setelah gerakan itu ditumpas malahan dengan gegabah tiba-tiba malahan di Harian Rakyat membuat tajuk rencana yang berisi dukungan kepada coup Gestapu?. Mengapa pula waktu Soeharto menguasai Jakarta dan menutup semua surat kabar justru tidak menutup Harian Rakyat yang nyata-nyata merupakan surat kabar milik PKI ?. Duta Besar Marshal Green melaporkan suatu wawancara dengan Presiden Nixon pada tahun 1967 : Pengalaman Indonesia menarik perhatian Presiden Nixon, karena segala sesuatunya telah berlangsung dengan baik-baik saja. Saya kira ia sangat tertarik pada seluruh pengalaman ini dengan menunjuk cara yang harus kita lakukan dalam hubungan yang lebih luas di Asia Tenggara umumnya dan mungkin di dunia . Mengutip memoar seorang mantan ahli inteljen angkatan laut Amerika Serikat yang menyatakan bahwa AS berencana menggulingkan Sihanouk, termasuk menyusupkan kelompok pembunuh yang dilatih AS dengan menyamar sebagai Vietkong ke Pnom Penh untuk membunuh Sihanouk dengan dalih Revolusi. Setelah pelantikan Presiden Nixon, pada tingkat tertinggi pemerintah menghendaki agar ada pembunuhan yang moderat di pusat oleh nyata-nyata golongan sayap kiri sebagai dalih untuk menggulingkan kekuasaan sayap kanan. Walau begitu, perlu diingat bahwa dari satu sudut pandang saja tentu tidak seorang pun dapat menjamin menguasai kejadian dalam masa kacau itu. Sehingga sepertinya agak lucu dan tolol untuk menganggap timbulnya kekerasan pada tahun 1965 itu timbul satu-satunya dari pemerintah Amerika Serikat, militer Indonesia, dan saling hubungan mereka dengan inteljen Inggris dan Jerman serta Jepang mungkin juga Australia. PKI sudah barang tentu juga mempunyai peran yang cukup besar dalam munculnya histeria politik di tahun 1965. Suatu tulisan yang lebih panjang lagi dapat mendiskusikan tindakan pro-aktif-nya PKI dan juga Presiden Soekarno sendiri dalam keruntuhan sosial ini. Namun menyatakan masalah keterlibatan Amerika Serikat dalam operasi pembunuhan sistematis ini penting dan khususnya mengetahui lebih banyak tentang laporan CIA yang dinyatakan dan dilihat sendiri oleh Ralph Mc Gehee sebagai mantan anggota CIA. Penafsiran yang dapat dibandingkan seperti itu membantu menjelaskan peranan orang Indonesia dalam penggulingan pemerintahan di negara lain yang disponsori oleh Nixon, seperti terhadap Sihanoek di Kamboja, penggulingan Presiden Allende di Cile, dan sponsorship Amerika Serikat dewasa ini bersama dengan rezim regu kematiannya di Amerika Tengah. * * * Disarikan dari : Amerika Serikat & Penggulingan Soekarno 1965-967 tulisan Peter Dale Scott yang diterbitkan oleh Penerbit Vision 3 - Depok. * * * Wallahualambishawab * * * si-Pandir, Jakarta, 17 Desember 2005. ******* -- http://www.fastmail.fm - A no graphics, no pop-ups email service Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional? Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/