Meskipun telah diguncang gempa besar yang meluluh-lantakkan sebagian besar wilayah Bantul, sebagian wilayah Gunung Kidul, sebagian kecil kota Yogya dan Kulon Progo. Namun aktivitas bisnis esek-esek di jalan Pasar Kembang Yogyakarta tampaknya tak terpengaruh, tetap berjalan terus seperti biasa. Mereka seakan tidak perduli, meskipun didekat tempat mereka bertransaksi terdapat Masjid yang dipenuhi pengungsi gempa.
  
  “ Disini amana mas, yang rusak itu Malioboro “, kata mereka. Memang, hotel melati dan rumah tempat esek-esek di daerah Sarkem tak tersentuh kerusakan dan selamat dari gempa. Hanya hotel Mendut saja yang terlihat sedikit mengalami keretakan kecil pada dindingnya.
  
  Begitu pantauan detikcom pada hari Rabu tanggal 31 Mei 2006 disepanjang jalan Pasar Kembang Yogyakarta.
  
  Dikutip dari : ‘ Digoyang Gempa, Bisnis Esek-esek Yogya Jalan Terus ‘, Detikcom, 31/05/2006, 03:18 WIB.
  *
  
  Di pagi itu, di sebuah kos yang berada di sekitar jalan Solo, Sleman Yogyakarta. Usai melipat sarung dan Sajadah, Anton mengambil ponselnya, kemudian mengajak Rudi untuk nonton video porno di ponselnya itu.
  
  Kedua mahasiswa salah satu universitas swasta itu  selanjutnya larut dalam keasyikan menonton video porno di ponsel. Mata mereka tak berkedip Saking asyik dan seriusnya, mereka tak tersadarkan bahwa gempa mengguncang.
  
  "Nonton sih nonton, tapi jangan goyang-goyang dong", ujar Rudi. "Siapa yang goyang-goyang, orang goyang sendiri", jawab Anton. Sesaat kedua saling berpandangan dan spontan berteriak "Gempa, gempa, tolong", jerit mereka.
  
  Sejurus kemudian, genteng berjatuhan, dinding bangunan kos mereka retak-retak. Namun Anton berhasil menyelamatkan handphone-nya. "Selamat, selamat handphoneku selamat", kata Anton bersyukur.
  
  Demikian, Afifa, mahasiswi psikologi Universitas Gajah Mada, sahabat kedua mahasiswa itu, menuturkannya kepada detikcom pada hari Rabu tanggal 31 mei 2006.
  
  Dikutip dari : ` Cerita Gempa : Asyik Nonton Video Porno, Gempa Menggoyang ', Detikcom, 31/05/2006, 08:05 WIB.
  * 
  
  Bagaimana jika suatu saat `pudar' pamor kota Yogyakarta sebagai kota pelajar dan pendidikan ?.
  
  Berbeda karakteristiknya dengan Solo yang ekonomi masyarakatnya ditopang oleh industri dan perdagangan, sebagaian besar sebagai buruh dan sebagian kecil lainnya sebagai tauke juragan pabrik. Yogyakarta, ekonomi masyarakatnya ditopang oleh banyaknya mahasiswa dan pelajar pendatang yang menuntut ilmu. Pariwisata juga memberikan andilnya, terutama home industry kerajinan. Berbeda dengan Bali, kedatangan turis mancanegara memberikan kontribusi, namun tak sebesar kedua hal tersebut.
  
  Sesungguhnya, banyaknya mahasiswa pendatang dan pelajar pendatanglah yang telah memberikan kontribusi besar terhadap ekonomi kotanya. Suntikan `uang segar' dari luar wilayahnya yang mengalir secara kontinyu setiap bulannya kepada ekonomi masyarakat Yogyakarta, membuat ekonomi kotanya menjadi terhidupi. Dampaknya, kesenjangan sosial masyarakat Yogyakarta lebih tipis intervalnya, kerawanan konflik sosialnya juga relatif kecil, jika dibandingkan kota tetangganya yaitu Solo.
  
  Label kota pelajar ini memberikan kontribusi sedemikian besar, dan mekanisasi menetes kebawahnya berjalan baik serta merata ke segala lapisan masyarakatnya. Mulai dari simbok-simbok penjual makanan, penjual makanan lesehan, penjual makanan angkringan, para pensiunan penyedia jasa kos-kosan, sopir-sopir angkutan `colt campus', para pengusaha bisnis pendidikan formal segala jenjang dari SMA sampai Program Doktoral, para pengusaha bisnis pendidikan informal segala jenjang dari bimbingan tes SPMB sampai bahasa inggris, para pengusaha retailer fashion seperti matahari store dan lainnya, para retailer kendaraan roda dua dan perusahaan leasingnya, para retailer buku cetakan, dan lain sebagainya.
  
  Namun sayangnya, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, sesungguhnya mulai banyak kalangan yang mengkhawatirkan nilai lebih kota Pelajar yang memberikan sumbangan kepada ekonomi masyarakatnya itu terancam akan memudar. Pemakaian narkoba serta peri kehidupan yang mulai permisif, isunya merebak dan mencoreng pamor kota Pelajar itu.
  
  Bagaimanapun juga kedua isu itu lambat laun tentu akan membuat para orangtua meninjau kembali rencananya melepas buah hatinya untuk menuntut ilmu dan hidup `mandiri' di di kota ini. Siapa orangtua yang tak miris melihat insan-insan muda berbeda jenis kelamin di kota ini telah begitu bebas masuk dan ngendon beberapa saat didalam kamar kosnya ?.
  
  Seliberal dan semodern apapun orangtua Indonesia pada umumnya, tentunya masih belum rela anak remajanya hidup serumah tanpa nikah. Sepermisif apapun orangtua Indonesia pada umumnya, tentunya masih belum rela anak gadisnya  mempraktekkan ideologi kebebasan memakai tubuhnya sendiri dengan melakukan seks pra nikah.
  
  Sesekuler apapun orangtua Indonesia pada umumnya, tentunya masih belum rela anak gadisnya mempraktekkan ideology pengasurtamaan
  gender dengan melakukan aborsi. Sebarat apapun orangtua Indonesia pada umumnya, tentunya masih belum rela anak lelaki mudanya mempraktekkan ideology kebebasan seksual dengan kemana saja mengantungi kondom dalam saku celananya.
  
  Kumpul kebo, berhubungan seks di kamar kos, serta hal-hal serupa yang lainnya, telah menjadi semacam fakta. Sekalipun pemerintah DIY sekuat tenaga mencoba menepis berita-berita miring itu. Bagaimana dapat ditepis habis jika para orangtua di rantau mendapati fakta kehidupan anaknya demikian itu ?.
  
  Namun, akan ada hambatan `moral' yang akan melingkupi gerak langkah pemerintah DIY dalam meredam laju `liberalisasi' norma kehidupan masyarakatnya. Bagaimana akan mampu meredamnya ketika elite masyarakat dan pemerintahnya justru terlihat mempunyai ideologi yang relatif cukup `permisif' dalam soal yang harus diperangi aparat pemerintah dan masyarakatnya ?.
  
  Fakta memperlihatkan `kemben' ala modern sudah jamak dipakai oleh para anak muda kota ini. Memang, cara berfikir masyarakat telah cukup `modern' untuk tak serta merta mengkorelasikan gaya pamer bagian tubuh vitalnya dengan gaya seks bebas. Namun, bagaimana jika fakta kehidupan telah dialami sendiri oleh para orangtua gadis dan pemuda yang mempraktekkan gaya hidup seks bebas ?. Masihkah akan tetap menafikan korelasi itu dengan cara fikir seperti para juru kampanye permisifme terhadap pornografi dan pornoaksi ?.
  
  Kemben modern yang memperlihatkan pusar dan belahan dada ala thaktop inilah yang diperjuangkan untuk dilestarikan agar tetap hidup di keseharian masyarakat Yogyakarta ?.
  
  Jika bencana dan kematian yang merenggut nyawa dan harta para kawulo alit yang tak berdosa ini tak juga mampu menjadi nasihat dari-Nya, bagaimana jika kelak justru para kawulo alit akan menerima dampaknya secara sosial ekonomi kehidupannya sebagai akibat lanjut dari pamor Kota Pelajar dengan budaya permisifnya ?.
  
  Seharusnya para Pepunden Kawulo dan para Pengageng Priayi Yogyakarta Hadiningrat lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi perjuangan pelestarian budaya kemben di masyarakatnya. Toh, hari ini busana kemben yang asli hanya marak di kalangan abdi dalem dilingkungan dalam benteng kraton dan kemben pakaian peranakan yang asli tinggal berlaku untuk penziarah makam Imogiri serta acara budaya lainnya. Sementara dikeseharian, justru kemben modern ala thank top dan rok yang memperlihatkan celana dalamnya yang marak di mal-mal Yogyakarta seperti di Malioboro Mall dan Galeria.
  
  Pamor inikah yang ingin diraih oleh Kota Pelajar ?.
  
  Wallahu'alambishawab.
  Yogyakarta, 31 Mei 2006.
  *
  
  
  

           
---------------------------------
Yahoo! Messenger with Voice. PC-to-Phone calls for ridiculously low rates.

[Non-text portions of this message have been removed]





Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke [EMAIL PROTECTED]




SPONSORED LINKS
Financial professional Business finances Small business finance
Business degree finance


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke