Quote:".. Dakwah dan Politik Menurutnya, dalam perspektif Al-Quran, politik seharusnya menjadikan filosofi dakwah sebagai acuan, tapi sulitnya termasuk realitas yang sering kita lihat dalam perilaku partai-partai yang mengaku berdasarkan Islam, yakni sikut-menyikut, perang ayat, dan masing-masing ingin "memaksa" Tuhan untuk berpihak kepada kepeingan jangka pendeknya, yaitu posisi politik dan ekonomi. .." Kalau Tuhan sudah diajak berpihak, siapa yang bisa ngalahin, coba? :-p Gak peduli tuh orang bener" berpihak pada publik atau cuma boneka (mantan) pemimpin yang zhalim, misalnya..
Wallahu a'lam.. CMIIW. Wassalam, Irwan.K ---------- Forwarded message ---------- From: Y Rakhmat < [EMAIL PROTECTED]> Date: Jul 8, 2006 11:20 PM Subject: Prof Syafii Maarif: TEOLOGI MAUT MASIH MENGANCAM INDONESIA Prof Syafii Maarif: TEOLOGI MAUT MASIH MENGANCAM INDONESIA Sinar Harapan, Jumat 07 Juli 2006 Jakarta Ketika bangsa Indonesia masih rapuh dan ringkih secara moral, saat elite masih mati rasa terhadap lingkungan sekitar, dan langkah perbaikan fundamental di semua bidang tidak terwujud dalam waktu dekat, Indonesia masih akan menghadapi aksi-aksi kekerasan dan teror yang dibingkai dalam teologi maut "Teologi maut yang dianut oleh mereka yang menganggap diri sebagai pejuang syahid, akan tetap mempunyai pengikut, meski para pemimpin puncaknya telah ditangkap atau terbunuh dalam operasi pemberantasan terorisme," kata mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Syafii Maarif ketika memberikan public lectures bersama Nono Anwar Makarim dan Faisal Basri dalam peringatan lima tahun terbitnya kembali Harian Umum Sore Sinar Harapan di Jakarta, Kamis (6/7) siang. Dalam paparan panjang berjudul "Politik, Dakwah, dan Teologi Maut", Syafii Maarif menjelaskan bagaimana para pengikut teologi maut itu begitu cinta dan hormat pada pemimpin mereka yang notabene minim pengetahuannya tentang keislaman. Dan, tanpa merasa berdosa, mereka menyebar teror dan maut, hanya karena ingin mati syahid. Syafii mengutip beberapa catatan harian dari para pengikut teologi maut yang merakit bom. Di situ digambarkan, betapa para pengikut ini sangat mengagungkan Dr. Azahari Hussein, Noordin M Top dan lain-lain. "Tindakan teror Israel ke Palestina melatarbelakangi aksi bom bunuh diri. Tapi, mengapa tindakan maut itu diekspor ke Indonesia? Ini yang tidak nalar. Mengapa Indonesia dijadikan target sasaran bom bunuh diri?"tanyanya. Dia menjelaskan teologi maut tidak laku di negara maju dan makmur seperti Malaysia. Tapi, di Indonesia yang miskin dan timpang serta terbelenggu utang Rp 1.300 triliun, teori itu menjadi lahan subur bagi kekuatan-kekuatan militan destruktif, baik yang keras dalam wacana, tapi bukan teroris, maupun keras dalam wacana dan sekaligus kejam dalam tindakan. "Selama suasana kumuh dan timpang saat ini belum juga membaik dan tidak ada kesungguhan untuk mengubahnya maka Indonesia akan tetap rentan bagi mereka yang haus kekuasan melalui kekerasan," ujar Syafii Maarif. Dakwah dan Politik Menurutnya, dalam perspektif Al-Quran, politik seharusnya menjadikan filosofi dakwah sebagai acuan, tapi sulitnya termasuk realitas yang sering kita lihat dalam perilaku partai-partai yang mengaku berdasarkan Islam, yakni sikut-menyikut, perang ayat, dan masing-masing ingin "memaksa" Tuhan untuk berpihak kepada kepentingan jangka pendeknya, yaitu posisi politik dan ekonomi. "Sulit sekali praktik politik itu dapat dijinakkan oleh dakwah yang menjunjung tingi moral dan sikap santun," ujar Syafii sambil menambahkan bahwa di dunia nyata tidak mudah bagi kita untuk membedakan kelakuan politik antara mereka yang mengaku percaya kepada wahyu dan mereka yang tidak hirau lagi dengan segala prinsip yang berhulu kepada nilai-nilai profetik transendental. Dalam situasi seperti ini, lanjut Syafii, muncul sekelompok kecil orang dengan jubah dakwah, tapi di otak belakang mereka sarat dengan libido kekuasaan ingin mengubah Indonesia menjadi sebuah negara teokratis, karena Pancasila dinilai gagal mencapai tujuan utamanya berupa terciptanya "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Ironisnya, negara yang diidamkan seperti itu, tidak ada contohnya di muka bumi sekarang ini. Jangan Bebani Rakyat Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri mengatakan pemerintah jangan membebani masyarakat kecil dengan pungutan-pungutan pajaknya demi menaikkan rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pemerintah, dalam hal ini, Ditjen Pajak seharusnya membidik orang-orang yang telah menikmati suntikan obligasi rekap senilai Rp 650 triliun semasa krisis perbankan 1998. Hal ini dilakukan guna menambah "darah segar" untuk menggerakkan perekonomian nasional. "Pada kenyataannya, aset mereka (konglomerat-red) justru mengalami kenaikan dengan kebijakan pemerintah pada waktu itu," katanya. Faisal mengatakan tax ratio saat ini yang masih 13,7 persen dari PDP seharusnya bisa ditingkatkan menjadi 17-18 persen. Pada kesempatan itu, ia juga mendesak perusahaan-perusahaan yang ada kaitannya dengan penguasa sekarang seperti Bosowa Group dan Bakrie Group juga membayar pajak dengan benar. Pada kenyataannya, perusahaan-perusahaan di atas dengan besarnya laba yang dicetak diragukan telah menunaikan seluruh kewajibannya. "Ini terbukti mereka tidak ada yang masuk dalam daftar 100 pembayar pajak terbesar," katanya. Faisal juga menyoroti perusahaan-perusahaan yang hampir ambruk, namun semenjak si pemilik masuk dalam lingkaran kekuasaan justru banyak mendapatkan proyek infrastruktur besar seperti monorel, pembangunan rel kereta dari Manggarai ke bandara dan juga subway. "Padahal dalam tiga tahun terakhir, kinerja PT Bukaka Teknik Utama Tbk sangat buruk. Ini dibuktikan dari opini disclaimer oleh akuntan publik atas laporan keuangannya," katanya. Faisal berpendapat seharusnya otoritas pasar modal menindak tegas perusahaan terbuka yang tidak memenuhi aturan pasar modal mengenai tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). "Di samping itu, perusahaan-perusahaan di atas merupakan debitur yang tidak beritikad baik di Bank BUMN," katanya. Ia juga mencermati kemampuan perbankan nasional dalam menyalurkan masih sangat lemah dimana dengan dana pihak ketiga yang mencapai Rp 1.200 triliun namun yang berhasil disalurkan dalam bentuk kredit ke masyarakat hanya Rp 700 triliun. "Penyaluran kredit sangat lambat dan pertumbuhannya juga rendah," katanya. Kondisi ini diperparah dengan kenyataan di mana dana pemerintah pusat yang dialokasikan ke pemerintah daerah nyatanya sebagian besar hanya disimpan dalam bentuk deposito di Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang kemudian oleh bank tersebut ditempatkan kembali dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI). "Ini tentunya sangat membebani pemerintah pusat, padahal dana-dana tersebut sangat diperlukan untuk membangun proyek-proyek infrastruktur di daerah," tambahnya. (suradi/sigit wibowo/danang joko murdono) [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Something is new at Yahoo! Groups. Check out the enhanced email design. http://us.click.yahoo.com/SISQkA/gOaOAA/yQLSAA/GEEolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional? Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/