*Quote:*

*"..*

Dalam sidang kabinet tersebut setidaknya ada dua menteri yang terus-terusan
bertahan bahwa angka kemiskinan memang turun. Mereka sejak awal telah
membentuk sebuah tim pakar untuk "mengawal" data kemiskinan, pertumbuhan,
inflasi, dan pengangguran supaya tampak lebih kinclong. Intinya, ada upaya
sistematis untuk menutupi kesalahan dengan kesalahan berikutnya. Beruntung
pada sidang itu, Kepala BPS menyatakan bahwa tingkat kemiskinan memang naik
sehingga kemudian Presiden memerintahkan untuk memublikasikan apa adanya.
Bahkan, sesudah itu pun masih ada operasi bawah tanah untuk memengaruhi staf
BPS melalui jaringan intelektual 'partikelir'. Karena upaya mereka di BPS
menemui hambatan, dua ahli soal kemiskinan dari negeri Paman Sam yang
dibiayai oleh lembaga donor tertentu akan didatangkan. Kita ucapkan selamat
datang kepada para economic hit man.

***.."
*

Jadi ada yang ngawal angka yang bakal dirilis BPS toh? :-(
Klo 'manipulasi' kaya' gini dosa gak ya? :-p
Dosa? Makanan dari apaan tuh? (sorry) Ngehe..



Wassalam,

Irwan.K

*-----------
*

*KOMPAS - Kamis, 07 September 2006*

*Mengurai Polemik Kemiskinan *

 *Iman Sugema*

Jumat (1/9) pekan lalu merupakan hari yang paling menyedihkan bagi saya dan
teman-teman di Tim Indonesia Bangkit. Pasalnya, prediksi kami benar, yaitu
telah terjadi peningkatan jumlah orang miskin di tahun 2005-2006. Hal
tersebut telah dikonfirmasi oleh Badan Pusat Statistik atau BPS yang
menyatakan bahwa tingkat kemiskinan di bulan Maret 2006 telah menjadi 17,75
persen, yang lebih tinggi dibandingkan 13 bulan sebelumnya, yakni 15,97
persen.

Kenaikan angka kemiskinan dalam setahun terakhir merupakan kejadian luar
biasa karena berlawanan dengan tren sebelumnya. Selama tujuh tahun
berturut-turut dari tahun 1998 ke tahun 2005, tingkat kemiskinan berhasil
turun.

Hati kami mendung karena beban bangsa ini menjadi semakin berat. Sekadar
meratapi dan mewacanakan kemiskinan sama sekali tidak akan menolong
saudara-saudara kita yang berkubang dalam lumpur kemiskinan yang lebih pedih
dibandingkan dengan lumpur Lapindo. Lantas apa yang harus kita perbuat?

*Jangan ulangi kesalahan*

Pertama, tentunya pemerintah tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama di
masa yang akan datang. Syarat utama untuk hal ini adalah meyakini bahwa
meningkatnya angka kemiskinan adalah produk dari kebijakan pemerintah, yakni
kenaikan harga BBM yang overdosis, program kompensasi yang tidak memadai,
ketidakberhasilan dalam melakukan stabilisasi harga kebutuhan pokok, dan
masalah kualitas pertumbuhan ekonomi. Sudah banyak yang membahas masalah
ini, sekarang kita tinggal mengambil hikmahnya.

Intinya, kalau kita tidak bisa menciptakan pertumbuhan yang disertai
pemerataan dan sementara program kompensasi tak bisa sepenuhnya kita
sediakan, jalan terbaik untuk menghindari kemiskinan adalah jangan
sekali-kali menciptakan inflasi yang melebihi batas kemampuan masyarakat
bawah untuk menanggungnya. Sebesar 20 persen populasi yang berada di atas
garis kemiskinan adalah mereka yang sangat rentan terhadap gejolak harga.
Mereka adalah kelompok pekerja yang berpenghasilan tidak menentu dan petani
gurem. Mereka hanya memiliki kemampuan yang sangat terbatas untuk
memperbaiki penghidupan dan karena itu daya beli mereka sangat sensitif
terhadap inflasi. Sekali lagi, jangan ciptakan inflasi yang berlebihan.

Akan tetapi, terkadang untuk tidak mengulangi kesalahan adalah sebuah
pekerjaan yang sulit karena harus diawali dengan kesadaran bahwa memang
telah terjadi kesalahan. Sebagai contoh, dalam sebuah sidang kabinet dua
minggu yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono betul-betul marah dan
merasa dipojokkan atas data yang dilaporkan dalam pidato 16 Agustus. Marah
karena tidak pernah satu menteri pun yang melaporkan data kemiskinan yang
sebenarnya, dan merasa dipojokkan karena para menteri yang dianggap kompeten
tidak melakukan pembelaan di hadapan publik.

Dalam sidang kabinet tersebut setidaknya ada dua menteri yang terus-terusan
bertahan bahwa angka kemiskinan memang turun. Mereka sejak awal telah
membentuk sebuah tim pakar untuk "mengawal" data kemiskinan, pertumbuhan,
inflasi, dan pengangguran supaya tampak lebih kinclong. Intinya, ada upaya
sistematis untuk menutupi kesalahan dengan kesalahan berikutnya. Beruntung
pada sidang itu, Kepala BPS menyatakan bahwa tingkat kemiskinan memang naik
sehingga kemudian Presiden memerintahkan untuk memublikasikan apa adanya.
Bahkan, sesudah itu pun masih ada operasi bawah tanah untuk memengaruhi staf
BPS melalui jaringan intelektual 'partikelir'. Karena upaya mereka di BPS
menemui hambatan, dua ahli soal kemiskinan dari negeri Paman Sam yang
dibiayai oleh lembaga donor tertentu akan didatangkan. Kita ucapkan selamat
datang kepada para economic hit man.

*Resep konvensional*

Kedua, harus ada langkah komprehensif dan sistematis dalam jangka panjang
dan jangka pendek untuk mengentaskan kemiskinan. Berdasarkan pengalaman,
pengurangan angka kemiskinan paling banter hanya 1,2 persen per tahun. Itu
karena program yang dilakukan hanya mengikuti resep konvensional dengan
mengandalkan pertumbuhan ekonomi semata. Tak ada yang salah dengan
pertumbuhan ekonomi kalau saja dibarengi dengan pemerataan dan penciptaan
lapangan kerja.

Laju penurunan angka kemiskinan seperti di atas tentunya akan terasa sangat
lamban dan tidak bisa dipakai sebagai strategi untuk memenuhi janji kampanye
Presiden dan Wapres. Dengan demikian, harus ada perubahan strategi yang
sangat mendasar, yaitu strategi pembangunan yang langsung menyentuh pada
akar masalahnya, yakni kemiskinan dan pengangguran.

Pada intinya, kita ingin melihat bahwa strategi pro-poor, pro-employment,
dan pro-growth diimplementasikan secara terintegrasi, tidak diterjemahkan
secara terpisah. Contoh riilnya adalah pembangunan infrastruktur berupa
megaproyek jalan tol. Kalau kita hanya mengejar pertumbuhan semata, sah saja
untuk membangun jalan tol dengan memakai mesin. Namun, karena kita ingin
menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya, bisa saja dipersyaratkan
untuk memakai teknologi padat karya walaupun jangka waktu pengerjaannya
lebih lama.

Sekarang pun sebetulnya pemerintah sedang menggodok konsep pengembangan
biofuel. Kalau ingin gampang, kita undang investor besar untuk membangun
lima juta hektar sawit dan jarak melalui beragam insentif dan fasilitas
kemudahan. Namun, kalau kita ingin agar pemerataan juga terjadi, mungkin
pola perkebunan inti rakyat menjadi pilihan yang baik.

Akhir kata, kemiskinan telah terjadi dan mari kita menatap ke depan dengan
mengubah strategi pembangunan. Guru saya bilang, poor people were not borned
to be poor,
but they are tipically the victim of poor policy. Tak usah kita ratapi
karena saudara kita sedang menunggu pemecahan masalah secara segera.

*Iman Sugema* *Senior Economist, Inter-CAFE, Institut Pertanian Bogor *


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Check out the new improvements in Yahoo! Groups email.
http://us.click.yahoo.com/7EuRwD/fOaOAA/yQLSAA/GEEolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke