Salam,

Kepada Ibu Siti Darojah, terimakasih atas peringatannya.Jazaakillah khairal 
jazaa`. Saya telah teledor akibat kebiasaan membaca cepat
Saya meminta maaf atas "tuduhan" saya bahwa BSM memfasilitasi proyek perkebunan 
emas. Yang benar adalah BRISyariah yang "dikait-kaitkan dengan perkebunan 
emas". (saya tidak punya istilah yang lebih tepat, silakan perbaiki redaksinya 
dan mohon maaf jika tidak berkenan). Lihat situs http://www.kebunemas.com/. Di 
sana tertulis Raker BRI Syariah, Suasana Seminar KebunEMAS.
Saya tidak sedang mengatakan BRISyariah mempunyai produk ini. Saya sudah 
memahami apa yang mas Gunawan sampaikan sebelumnya.
Sekali lagi mohon maaf untuk pihak BSM.
Saya mengambil hikmah yang mahal dari "sentilan" ibu Siti Darojah. Terimakasih, 
bu.

Untuk mas Achmad, jangan khawatir, saya juga muqallid kok mas. Saya malah gak 
suka anti madzhab. Saya muqallid pada DSN kok. Saya setuju sekali dengan fatwa 
DSN No: 
25/DSN-MUI/III/ 2002. Masalahnya, mohon maaf kalau diulangi lagi, adakah fatwa 
ini mau diterapkan juga untuk metode Kebun Emas? Saya melihat adanya perbedaan 
antara rahn dalam fatwa dengan rahn spekulatif kebun emas, meskipun perbedaan 
itu boleh dibilang tipis. 
Pengambilan keputusan hukum yang berkaitan dengan muamalah (dalam arti sempit) 
khan alangkah indahnya jika dikaitkan dengan efek ekonominya secara luas. 
Artinya tidak sebatas melihat zhahir dalil nash an sich. Saya melihat rahn 
kebun emas -jika dibiarkan meluas- akan berakibat pada buruknya aktifitas 
sektor riil (sekedar menyebut salah satu perbedaan). Padahal sektor riil yang 
bergejolak adalah jargon unggulan ekonomi syariah (meskipun fakta empiris belum 
mendukung jargon tersebut sepenuhnya). Inilah yang membuat saya tidak 
sependapat menggunakan fatwa no.25 untuk meligitimasi proyek kebun emas.
Misteri di balik larangan riba khan bahwa Tuhan menghendaki sektor riil 
berkembang.
Begitu juga misteri ilahi di balik kecaman terhadap penimbunan emas & perak 
yang tidak ditunaikan zakatnya (At Tawbah, 34). Semangat ayat ini juga 
mendorong kemajuan sektor riil. Jangan dipahami saya mengaitkan apa adanya ayat 
ini dengan modus operandi kebun emas. Tidak. Yang dilarang berdasarkan apa 
adanya ayat ini adalah menimbun dan tidak membayar zakatnya. Sementara yang 
saya maksud adalah semangat dari ayat ini. (Sayyidina Ali RA mempunyai 
pandangan yang unik sehubungan dengan At Tawbah, 34 ini)

Jadi maksud saya dengan ungkapan "misteri ilahi" atau "semangat" adalah apa 
yang ada di belakang nash. Bukan apa adanya (zhahir) nash. Mudah-mudahan ini 
bisa dipahami.
Sekali lagi, semangat larangan riba dan ancaman At Tawbah, 34 adalah Tuhan 
menghendaki sektor riil hidup.
Ini -dalam hemat saya- yang menjadi masalah pada kasus kebun emas.

Fatwa DSN tentang rahn no. 25 khan berbicara rahnan sich yang lagi-lagi dalam 
hemat saya tidak meng-cover rahn metode kebun emas. Fatwa rahn-nya saya setuju 
tetapi apakah fatwa itu mau ditarik ke bawah untuk juga menjadi fatwa 
pembenaran atas rahn metode kebun emas. Ini isu yang saya timbulkan dalam milis 
ini. Wajar jika saya kemudian "menggugat" penggunaan kata syariah dalam subyek 
email-nya. Saya memandang diperlukan sebuah fatwa baru untuk metode kebun emas 
ini. Lalu saya "menyarankan" (mohon maaf jika kata ini terkesansok tau) agar 
pengambilan fatwa selain dibangun di atas nash, juga mengaitkan kasusnya dengan 
efek ekonomi-nya secara luas dalam kacamata Islam.

Lalu apakah saya menginginkan fatwa haram untuk metode kebun emas agar saya 
puas dan tidak "berisik"?
Tidak seperti itu, kita terlanjur disituasikan bahwa fatwa hanya menelurkan 
haram dan halal. Tidak begitu. Fatwa itu khan penjelasan hukum syar'i yang 
bersumber dari argumen (dalil) atas pertanyaan yang timbul. Nah hukum syar'i 
(taklifiy) itu khan ada 5 (lima). Dengan demikian fatwa tidak selalunya 
mempunyai jawaban haram dan halal/mubah. Bisa jadi makruh (sebaiknya jangan 
deh), sunnah (ayo dilakukan) atau wajib (kudu). Jadi, jangan berasumsi jika 
menolak penerapan fatwa no.25 untuk kasus kebun emas berarti haram. Tidak 
seperti itu. Lalu hukumnya apa? Sementara ini yo mboh. Diskusikan saja terus 
biar ada masukan-masukan baru dari teman-teman hingga menghasilkan kesimpulan, 
minimal kesimpulan masing-masing anggota milis atau hingga bosan sendiri.

Lalu bagaimana dengan prinsip Ushul al Fiqh, yang bunyinya "Pada prinsipnya, 
dalam hal yang berkaitan dengan transaksi keuangan adalah diijinkan kecuali ada 
dalil yang melarangnya"? Bukankah dengan prinsip ini metode kebun emas 
diijinkan karena tidak ditemukan larangannya?

pertama, dari mana kita tahu bahwa tidak ada dalil yang melarangnya? Harus 
dibedakan antara tidak tahu dengan tidak ada. Prinsip ini mengajak kita untuk 
melakukan kajian mendalam berkaitan kasus muamalah yang kita hadapi.
kedua, prinsip ini tidak sepenuhnya disepakati,

 , "
Sampai sini saya berharap isykaal saya dapat dipahami. Tidak ada tendensi 
apa-apa.


 

Terimakasih,
Faishol 


      

Kirim email ke