~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Layanan Informasi Aktual eskol@mitra.net.id ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Hot Spot: Jumat, 4 Pebruari 2005
Panggilan Keimanan Kita ``````````````````````````````` Benny Susetyo, Sekretaris Eksekutif Komisi HAK Konferensi Wali Gereja Indonesia PERSOALAN yang saat ini melanda bangsa ini begitu kompleks. Tidak bisa tidak, untuk memecahkannya membutuhkan sebuah kerja ekstra keras dari anak-anak bangsa. Semua harus bersatu padu membangun masa depan Indonesia yang cerah. Bersatu padu untuk tidak tergantung pada orang lain. Kata Bung Karno, kita harus menjadi bangsa berdikari, berdiri di kaki sendiri. Membangun kemandirian bangsa akan membuat bangsa ini memiliki keadaban. Itu merupakan cita-cita luhur dari bangsa ini. Sekarang persoalannya adalah bagaimana peranan agama memberikan sumbangan spiritualitas untuk menggerakkan bangsa ini bangkit dari kelumpuhan? Bencana yang bertubi-tubi yang menimpa bangsa ini merupakan sebuah tanda di mana kita semua harus terpanggil untuk merumuskan kembali orientasi dasar kebangkitan sebuah bangsa. Agama hanyalah salah satu alat yang diberikan oleh Tuhan untuk membenahi berbagai penyelewengan dan penyimpangan terhadap nilai kemanusiaan. Karena agama adalah hanya sebagai 'alat' atau 'media', maka untuk sungguh-sungguh mampu bangkit dari keterpurukan, agama tidak bisa dijadikan sebagai tujuan hidup. Agama adalah sebuah proses, dan bukan hakikat terjauh yang ingin dijangkau oleh manusia. Karena agama adalah suatu proses, maka kedudukannya tidak tunggal dan tidak boleh dipandang tunggal. Karena agama berdasarkan jumlah doktrin dan sejarahnya tidak tunggal, maka sesungguhnya yang tunggal adalah nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Manusia memiliki kemampuan memilih mana alat yang memberikannya kesegaran rohani. Manusia bebas memilihnya. Karena agama berdasarkan sifat dan doktrinnya tidak tunggal, maka memandang "agamaku" sebagai kebenaran tunggal dan itu sering mengakibatkan pandangan "agamamu" sebagai kutukan, adalah suatu jalan menuju kerusakan dan kehancuran. "Agamaku" hanyalah alat yang harus bisa membangkitkan momentum untuk berdiri bersama-sama. Masing-masing agama harus memiliki pandangan yang sama untuk memperbaiki kehidupan secara kolektif. Membangun dialog yang produktif bagi kebaikan semua umat manusia. Itulah mengapa peristiwa bencana ini harus dijadikan sebagai momentum umat beragama (apa pun agamanya) untuk mengembalikan kembali wajah keadaban publik bangsa ini. Ini merupakan saat tepat untuk membangun solidaritas kemanusiaan bagi semua lapisan masyarakat. Peran agama begitu urgen bagi pembangunan kembali etos kerja bangsa ini. Kebangkitan sebuah bangsa akan ditandai etos kerja keras dan disiplin yang tinggi. Tanpa itu, jangan pernah bermimpi memiliki bangsa yang besar! Tapi rupanya kedua sifat di atas ini masih kurang dimiliki oleh bangsa ini karena budaya "jalan pintas" yang merajalela, dan semuanya begitu mudah didapat dengan cara instan. Etos buruk ini berakar dari ketidakjujuran yang dimulai sejak dini dalam masyarakat kita. Pendidikan kita tidak pernah serius mengajarkan nilai fair play dan keutamaan hidup sejak dini. Pendidikan sejak dini telah dirusak oleh budaya korup yang dibuat oleh elite politik dengan membuat kebijakan serbakelabu. Kebijakan yang dibuat tidak pernah berpijak pada poros rakyat, melainkan selalu menguntungkan poros negara dan pasar. Negara secara ideal memang harus mengabdi pada rakyat, namun dalam kenyataannya lebih mengabdi pada poros pasar. Poros pasar ditandai dengan ideologi darwinis, siapa yang kuat dia akan berkuasa. Ini menjadi cara berpikir dari kalangan "bisnismen hitam" dan "politisi hitam" di negeri kita. Para "bisnismen hitam" inilah yang menguasai lembaga politik dan badan publik, dan aktornya sekaligus. Aktor yang dikuasai oleh "bisnismen hitam" itulah yang sering berperilaku seperti "politisi hitam". Hal ini membuat bangsa ini tidak mampu mengolah kekayaan alam secara baik demi kemakmuran rakyat. Kenyataan yang kita lihat, kekayaan hanya dinikmati oleh elite-elitenya saja. *** Adanya peristiwa alam yang luar biasa ini hendaknya membuat umat beragama merefleksi kembali peranan untuk memberikan orientasi baru. Yakni, mengembangkan spiritualitas kemandirian dalam tubuh bangsa ini. Penggalian nilai-nilai keagamaan yang universal di mana setiap umat beragama meyakini Tuhan Semesta Alam memberikan kepada manusia untuk mengolah alam semesta demi kemakmuran bersama. Dalam realitas ini manusia kerap kali tidak mampu mengendalikan dirinya. Sikap rakus telah berhasil menciptakan ketimpangan dalam struktur masyarakat. Harus disadari bahwa sering ketimpangan terjadi karena dosa struktural. Atau karena kebijakan yang dibuat elite politik yang mengatasnamakan rakyat, tapi sekaligus mengambinghitamkannya. Politik "atas nama" inilah yang melembaga selama ini. Ini membuat potensi ekonomi rakyat sulit dikembangkan. Orientasi pembangunan hanya sekadar membangun hal yang bersifat monumental dan mengabaikan hal yang mendasar, yakni kebutuhan akan aktualitas nilai humanitas. Kebutuhan untuk merealisasikan nilai kemanusiaan dan keadilan ini tak pernah secara jelas menjadi orientasi kehidupan bersama. Kita harus menyadari kenyataan kekinian yang paradoks. Peranan agama hanya dibutuhkan untuk mengisi orientasi yang selama ini lebih bersifat mekanistis dan cenderung mengingkari realitas kehidupan sesungguhnya. Sering bahkan agama hanya dijadikan alat untuk melegitimasi kepentingan politik dan modal belaka. Inilah yang membuat nilai kemanusiaan menjadi kering karena semuanya direduksi dalam kepentingan ekonomi saja. Orientasi kemanusiaan hanya pada kepentingan ekonomi belaka. Manusia menjadi tereduksi dalam keterasingan (alienation) dengan lingkungannya sendiri. Ketidakpedulian pada lingkungan inilah membuat tata kehidupan menjadi terganggu. Gangguan terhadap tata lingkungan ini membuat segala gerak hidup menjadi lambat. Jelaslah bahwa saat ini kita harus membangun habitus baru dalam menjalani ritus kehidupan berbangsa. Budaya alternatif kalau perlu dimunculkan sebagai suatu pola pandang dan perilaku yang menjadi tandingan terhadap pola pandang dan perilaku yang berlaku umum dalam masyarakat. Dengan membangun dan mengembangkan budaya alternatif, akar-akar yang menyebabkan korupsi, kerusakan lingkungan, kekerasan dan penyelewengan kekuasaan diharapkan dapat diatasi. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah keberanian untuk membangun habitus baru dari semua agama yang berorientasi pada kemanusiaan. Dengan gerakan yang sistematis dan mengarah pada perubahan, agama akan menjadi pinonir terdepan perubahan bangsa ini. Tuhan telah menganugerahkan momen kebangkitan melalui bencana ini untuk memperbarui diri. Momentum ini harus dijadikan perubahan habitus bangsa dan didorong kuat-kuat oleh semangat beragama individu untuk kepentingan kolektif. Sejarah anak negeri ini perlu diperbarui dengan mengubah cara kerja lama yang korup dan premanistik, menuju cara kerja yang berlandaskan moralitas agama dengan tujuan menciptakan perdamaian dan kemanusiaan. Dengan demikian, pemulihan martabat kemanusiaan menjadi penting bila agama-agama bersatu untuk bersama menghadapi bencana ini. Ini adalah momentum agama untuk bertemu. Bukan sekadar untuk melihat masalah bersama, tetapi lebih dalam lagi agama-agama mendorong kembali umat manusia untuk menggunakan daya nalar yang sehat untuk membantu perkembangan dan kehidupan manusia. Sudah saatnya kita harus berani keluar dari realitas sempit "agamaku" untuk mewujudkan kesadaran bersama dalam membangun tata dunia baru. Tata dunia baru telah dirumuskan oleh bapak bangsa ini dalam cita-cita kemerdekaan: untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas dan berkeadilan. Kini saatnya umat beragama harus berani melepaskan baju keagamaan mereka. Persoalan ini adalah tentang kemanusiaan, bukan tentang "agamaku". Agama harus kembali kepada nilai dasarnya, yakni kemanusiaan. Bukankah, siapa yang mencintai kaum miskin dan mereka yang menderita adalah orang yang mencintai Tuhannya?*** http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2005020402140029