Boed,
Saya juga mengucapkan Selamat Idul Fitri 1429 H, mohon maaf lahir batin.
Artikel yang anda sertakan  untuk renungan kita di hari yang fitri ini, bagus 
sekali dan aktual. Tetapi saya pernah juga menyampaikan saran berupa cerita 
dibawah ini bilamana ada yang berminat keluar dari "ZONA NYAMAN"  . Tetapi 
karena sudah terlalu lama saya 
sudah lupa sumber artikel tersebut.

Oleh karena itu juga kalau artikel tentang KODOK dibawah ini suda pernah 
disampaikan dalam milis ini, mohon yang dari saya diabaiakan saja.

Terima kasih.

Salam,

Tosman.

Kisah Tentang Kodok.
Seorang staff ditempat saya bekerja dulu, katakanlah namanya Si A,  datang 
minta pendapat saya apakah Si A  tersebut sudah waktunya pindah ke perusahaan 
lain yang sejenis yang menawarkan gaji dan jabatan lebih tinggi. Saya katakan, 
bahwa saya tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut karena menyangkut nafkahnya 
dan tentunya juga menyangkut kesejahteraan keluarganya. Salah - salah memberi 
nasehat, saya akan ketempuhan karena nasehatnya dianggap nggak bener. Tetapi 
saya jawab dengan cerita tentang seekor kodok. Kodok adalah binatang yang dapat 
menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu udara atau air dimana dia berada. Kalau 
seekor kodok ditempatkan dalam sebuah panci yang berisi air adem dan nyaman, 
dan pancinya diletakkan diatas kompor, maka suhu tubuh kodok tersebut dapat 
menyesuaikan diri dengan suhu air yang mulai panas. Pertanyaannya adalah kapan 
sang kodok harus segera kelompat keluar dari panci dan kemana?.
Terlambat keluar dari panci maka akan jadi kodok rebuslah dia. Seperti artikel 
diatas, sang kurcaci yang tidak keluar segera dari ZONA NYAMAN mati kelaparan, 
ketika ZONA NYAMANnya punah. Tetapi juga kalau melompat salah, masuk kedalam 
kompor maka jadi kodok pangganglah dia. Oleh karena itu ada dua hal yang perlu 
dipertimbangkan kalau mau kelua dari ZONA NYAMAN, yaitu timing - waktu yang 
tepat dan TUJUAN / SASARAN YANG TEPAT.  
Ternyata Si A, kemudian keluar / pindah ketempat yang menawarinya dengan gaji 
dan jabatan yang lebih tinggi. Tetapi tiga bulan kemudian Si A kembali kesaya 
minta diterima kembali, karena perusahaan ditempat Si A baru bekerja tersebut 
dilikwidasi .
Tetapi ini hanya sekedar sumbang pikir. Selanjutnya sih terserah anda.,
Salam,
Tosman

--- On Mon, 10/6/08, [EMAIL PROTECTED] <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From: [EMAIL PROTECTED] <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [exbe2de] Lentera Jiwa
To: "Estika" <estika@yahoogroups.com>
Date: Monday, October 6, 2008, 2:11 AM










    
            



Selamat Idul Fitri 1429 H, mohon maaf lahir batin.

Saya sertakan artikel berikut untuk renungan kita di hari yang fitri ini.

Kalau artikel ini suda pernah disampaikan dalam milis ini, mohon diabaiakan 
saja.

Terima kasih.

Salam,

boedi dayono

============ ========= ========= ========= ========= ========= ======
Lentera Jiwa
Senin, 25 Agustus 2008 23:55 WIB
http://www.kickandy .com/?ar_ id=MTEzOA= =


Banyak yang bertanya mengapa saya mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi 
Metro TV. Memang sulit bagi saya untuk meyakinkan setiap orang yang bertanya 
bahwa saya keluar bukan karena ‘pecah kongsi’ dengan Surya Paloh, bukan karena 
sedang marah atau bukan dalam situasi yang tidak menyenangkan. Mungkin terasa 
aneh pada posisi yang tinggi, dengan ‘power’ yang luar biasa sebagai pimpinan 
sebuah stasiun televisi berita, tiba-tiba saya mengundurkan diri.

Dalam perjalanan hidup dan karir, dua kali saya mengambil keputusan sulit. 
Pertama, ketika saya tamat STM. Saya tidak mengambil peluang beasiswa ke IKIP 
Padang. Saya lebih memilih untuk melanjutkan ke Sekolah Tinggi Publisistik di 
Jakarta walau harus menanggung sendiri beban uang kuliah. Kedua, ya itu tadi, 
ketika saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Metro TV.

Dalam satu seminar, Rhenald Khasali, penulis buku Change yang saya kagumi, 
sembari bergurau di depan ratusan hadirin mencoba menganalisa mengapa saya 
keluar dari Metro TV. ‘’Andy ibarat ikan di dalam kolam. Ikannya terus membesar 
sehingga kolamnya menjadi kekecilan. Ikan tersebut terpaksa harus mencari kolam 
yang lebih besar.’’ 

Saya tidak tahu apakah pandangan Rhenald benar. Tapi, jujur saja, sejak lama 
saya memang sudah ingin mengundurkan diri dari Metro TV. Persisnya ketika saya 
membaca sebuah buku kecil berjudul Who Move My Cheese.Bagi Anda yang belum 
baca, buku ini bercerita tentang dua kurcaci. Mereka hidup dalam sebuah labirin 
yang sarat dengan keju. Kurcaci yang satu selalu berpikiran suatu hari kelak 
keju di tempat mereka tinggal akan habis. Karena itu, dia selalu menjaga 
stamina dan kesadarannya agar jika keju di situ habis, dia dalam kondisi siap 
mencari keju di tempat lain. Sebaliknya, kurcaci yang kedua, begitu yakin 
sampai kiamat pun persediaan keju tidak akan pernah habis.

Singkat cerita, suatu hari keju habis. Kurcaci pertama mengajak sahabatnya 
untuk meninggalkan tempat itu guna mencari keju di tempat lain. Sang sahabat 
menolak. Dia yakin keju itu hanya ‘dipindahkan’ oleh seseorang dan nanti suatu 
hari pasti akan dikembalikan. Karena itu tidak perlu mencari keju di tempat 
lain. Dia sudah merasa nyaman. Maka dia memutuskan menunggu terus di tempat itu 
sampai suatu hari keju yang hilang akan kembali. Apa yang terjadi, kurcaci itu 
menunggu dan menunggu sampai kemudian mati kelaparan. Sedangkan kurcaci yang 
selalu siap tadi sudah menemukan labirin lain yang penuh keju. Bahkan jauh 
lebih banyak dibandingkan di tempat lama.

Pesan moral buku sederhana itu jelas: jangan sekali-kali kita merasa nyaman di 
suatu tempat sehingga lupa mengembangkan diri guna menghadapi perubahan dan 
tantangan yang lebih besar. Mereka yang tidak mau berubah, dan merasa sudah 
nyaman di suatu posisi, biasanya akan mati digilas waktu.

Setelah membaca buku itu, entah mengapa ada dorongan luar biasa yang 
menghentak-hentak di dalam dada. Ada gairah yang luar biasa yang mendorong saya 
untuk keluar dari Metro TV. Keluar dari labirin yang selama ini membuat saya 
sangat nyaman karena setiap hari ‘keju’ itu sudah tersedia di depan mata. Saya 
juga ingin mengikuti ‘lentera jiwa’ saya. Memilih arah sesuai panggilan hati. 
Saya ingin berdiri sendiri.

Maka ketika mendengar sebuah lagu berjudul ‘Lentera Jiwa’ yang dinyanyikan 
Nugie, hati saya melonjak-lonjak. Selain syair dan pesan yang ingin disampaikan 
Nugie dalam lagunya itu sesuai dengan kata hati saya, sudah sejak lama saya 
ingin membagi kerisauan saya kepada banyak orang.

Dalam perjalanan hidup saya, banyak saya jumpai orang-orang yang merasa tidak 
bahagia dengan pekerjaan mereka. Bahkan seorang kenalan saya, yang sudah 
menduduki posisi puncak di suatu perusahaan asuransi asing, mengaku tidak 
bahagia dengan pekerjaannya. Uang dan jabatan ternyata tidak membuatnya 
bahagia. Dia merasa ‘lentera jiwanya’ ada di ajang pertunjukkan musik. Tetapi 
dia takut untuk melompat. Takut untuk memulai dari bawah. Dia merasa tidak siap 
jika kehidupan ekonominya yang sudah mapan berantakan. Maka dia menjalani sisa 
hidupnya dalam dilema itu. Dia tidak bahagia. 

Ketika diminta untuk menjadi pembicara di kampus-kampus, saya juga menemukan 
banyak mahasiswa yang tidak happy dengan jurusan yang mereka tekuni sekarang. 
Ada yang mengaku waktu itu belum tahu ingin menjadi apa, ada yang jujur bilang 
ikut-ikutan pacar (yang belakangan ternyata putus juga) atau ada yang karena 
solider pada teman. Tetapi yang paling banyak mengaku jurusan yang mereka 
tekuni sekarang -- dan membuat mereka tidak bahagia -- adalah karena mengikuti 
keinginan orangtua.

Dalam episode Lentera Jiwa (tayang Jumat 29 dan Minggu 31 Agustus 2008), kita 
dapat melihat orang-orang yang berani mengambil keputusan besar dalam hidup 
mereka. Ada Bara Patirajawane, anak diplomat dan lulusan Hubungan 
Internasional, yang pada satu titik mengambil keputusan drastis untuk berbelok 
arah dan menekuni dunia masak memasak. Dia memilih menjadi koki. Pekerjaan yang 
sangat dia sukai dan menghantarkannya sebagai salah satu pemandu acara 
masak-memasak di televisi dan kini memiliki restoran sendiri. ‘’Saya sangat 
bahagia dengan apa yang saya kerjakan saat ini,’’ ujarnya. Padahal, orangtuanya 
menghendaki Bara mengikuti jejak sang ayah sebagai dpilomat.

Juga ada Wahyu Aditya yang sangat bahagia dengan pilihan hatinya untuk 
menggeluti bidang animasi. Bidang yang menghantarkannya mendapat beasiswa dari 
British Council. Kini Adit bahkan membuka sekolah animasi. Padahal, ayah dan 
ibunya lebih menghendaki anak tercinta mereka mengikuti jejak sang ayah sebagai 
dokter.

Simak juga bagaimana Gde Prama memutuskan meninggalkan posisi puncak sebuah 
perusahaan jamu dan jabatan komisaris di beberapa perusahaan. Konsultan 
manajemen dan penulis buku ini memilih tinggal di Bali dan bekerja untuk 
dirinya sendiri sebagai public speaker. 

Pertanyaan yang paling hakiki adalah apa yang kita cari dalam kehidupan yang 
singkat ini? Semua orang ingin bahagia. Tetapi banyak yang tidak tahu bagaimana 
cara mencapainya.

Karena itu, beruntunglah mereka yang saat ini bekerja di bidang yang 
dicintainya. Bidang yang membuat mereka begitu bersemangat, begitu gembira 
dalam menikmati hidup. ‘’Bagi saya, bekerja itu seperti rekreasi. Gembira 
terus. Nggak ada capeknya,’’ ujar Yon Koeswoyo, salah satu personal Koes Plus, 
saat bertemu saya di kantor majalah Rolling Stone. Dalam usianya menjelang 68 
tahun, Yon tampak penuh enerji. Dinamis. Tak heran jika malam itu, saat 
pementasan Earthfest2008, Yon mampu melantunkan sepuluh lagu tanpa henti. 
Sungguh luar biasa. ‘’Semua karena saya mencintai pekerjaan saya. Musik adalah 
dunia saya. Cinta saya. Hidup saya,’’ katanya.

Berbahagialah mereka yang menikmati pekerjaannya. Berbahagialah mereka yang 
sudah mencapai taraf bekerja adalah berekreasi. Sebab mereka sudah menemukan 
lentera jiwa mereka.








      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      

Kirim email ke