Blog Kompasiana
Tahun Baru Imlek, Kebudayaan Cina di Indonesia
Luqman Kumara |  13 Februari 2010  |  11:04

Sudah sepuluh kali terakhir ini kalau tidak salah Tahun Baru Imlek alias Tahun 
Baru Cina dijadikan sebagai bagian dari hari libur Nasional Republik Indonesia. 
Era KH Abdurrachman Wahid merupakan penyegaran dan cahaya baru khususnya bagi 
etnis Tionghoa yang ada di Indonesia, setelah lebih dari 30 tahun tidak 
diperbolehkan menunjukkan jatidirinya sebagai suatu suku bangsa. Masih segar 
dalam ingatan, sebelum tahun 1998, apa saja yang berbau Cina dianggap tidak 
nasionalis, tidak patriotik, dan dalam banyak hal dikait-kaitkan dengan 
komunisme di RRC. Hal ini berlangsung ketika hubungan Indonesia dengan Cina 
terputus pada tahun 1966 dan baru mengalami perbaikan pada tahun 1989.

Pelarangan atas segala macam hal berbau Cina berlangsung dalam banyak cara. 
Seperti keharusan mengganti nama dari nama Cina ke nama Indonesia atau nama 
Cina yang diindonesiakan, pelarangan agama Konghuchu sehingga etnis Tionghoa 
harus memilih salah satu dari lima agama yang diakui di Indonesia, penutupan 
sekolah-sekolah berbahasa Cina sampai dilarangnya penggunaan bahasa Cina secara 
meluas diseluruh Indonesia, serta perlakuan-perlakuan diskriminatif lainnya 
seperti dipersulitnya mereka memasuki ranah politik, militer dan bahkan hingga 
masalah kewarganegaraan dimana untuk mengurus KTP saja harus menunjukkan surat 
bukti kewarganegaraan Indonesia (yang seharusnya tidak perlu, karena mereka 
yang kelahiran Indonesia secara otomatis adalah WNI). Warna Cina hanya nampak 
pada klenteng-klenteng yang pada masa Orde Baru sangat terbatas kegiatannya. 
Kendati Feng Shui (atau bahasa selatannya Hong Shui)
Tapi dengan terbukanya klep ketertutupan ini pasca 1998, perlahan kebudayaan 
Cina mulai kembali menunjukkan jatidirinya ditengah masyarakat Indonesia. 
Bahkan pada awal tahun 2000-an salah satu televisi swasta terkemuka ditanah air 
mulai menayangkan berita berbahasa Mandarin setiap hari dengan durasi setengah 
jam dan berlangsung hingga kini. Aneka macam budaya Cina-pun mulai kembali 
ditekuni seperti makin maraknya grup Barongsai yang anggotanya bukan hanya dari 
etnis Tionghoa, melainkan juga dari kalangan pribumi tanpa memandang asal usul 
dan agamanya (pendek kata kesenian Barongsai sudah menjadi milik bersama), 
Wushu, Kungfu dan kursus bahasa Mandarin.

Kebangkitan Budaya Minoritas
Belakangan kian banyak keturunan Cina Indonesia yang dengan terbuka menyebut 
dirinya sebagai etnis Tionghoa. Kendati sebenarnya mereka berasal dari suku 
Hokkien, Hokchia, Teochew, Hakka (Ge), Kanton, Mandarin dan sebagainya, namun 
di Indonesia mereka dianggap satu sebagai etnis Cina alias Tionghoa (atau kalau 
di Metrotv disebut Chaina.. sebunyi dengan Caina bahasa Sunda yang artinya 
‘airnya’). Kesadaran ini muncul seperti dengan keterbukaan mereka menyebut diri 
sebagai umat Tri Dharma (khususnya Konghuchu) dan mengganti agama dalam KTP 
mereka dengan Konghuchu.
Segala sesuatu yang berbau Cina kini sudah menjadi kelaziman, kendati huruf 
Cina hanya muncul sporadis tidak seperti di Malaysia atau Singapura. Kesadaran 
ini mirip dengan kebangkitan suku Cornish di Inggris Barat Daya (daerah 
Penzance) yang berusaha membangkitkan kembali Bahasa Cornish setelah dua abad 
menghilang dan mulai membuahkan hasil dengan diakuinya bahasa Cornish sebagai 
bahasa daerah di Inggris Raya.

Tentunya budaya Cina di Indonesia ini akan berbeda dengan yang ada di Malaysia, 
karena secara sejarah dan sosio-politik keduanya sudah terpecah dan identitas 
keindonesiaan dikalangan etnis Tionghoa inipun bervariasi pada setiap 
individunya. Tapi, yang bisa diambil sebagai garis besar, etnis Cina Indonesia 
dalam banyak hal bisa jauh lebih nasionalis dibanding dengan orang pribumi 
Indonesia sendiri. Banyak kisah yang menyebutkan bahwa orang Cina Indonesia 
dimancanegara mengidentifikasi dirinya sebagai orang Indonesia. Bangsa 
Indonesia bersuku Tionghoa.
Pada Tahun Harimau ini, mudah-mudahan terjadi perubahan berarti. Apalagi dengan 
semakin diakuinya aneka budaya khas Tionghoa diberbagai segi hidup masyarakat 
Indonesia, diharapkan akan membentuk suatu harmonisasi yang luar biasa, 
pembauran yang hakiki, bukan pembauran semu seperti yang terjadi selama era 
sebelumnya. Meski stereotype dan diskriminasi masih ada.
Dalam contoh kecil ditempat saya kuliah, saya bisa melihat betapa mahasiswa 
pribumi dan mahasiswa keturunan Cina bisa membaur dengan gayengnya. Tidak ada 
pengkotak-kotakan pergaulan berdasarkan ras dengan menggunakan bahasa persatuan 
yang sama dan tentunya visi perkawanan yang sebangun. Budaya minoritas (berlaku 
juga pada budaya-budaya daerah) bukan ancaman bagi persatuan bangsa, sepanjang 
bisa diatur dengan sebaik-baiknya dan tetap pada koridor sebagai pemerkaya 
budaya bangsa Indonesia.

Saya bangga dengan kemajemukan, kendati mengalami proses asimilasi (baik 
asimilasi parsial atau total) tentunya setiap minoritas berhak mempertahankan 
meski sebagian dari budaya leluhurnya. Revitalisasi budaya seperti budaya Cina 
ini tidak perlu ditakuti, karena toh mereka sudah menyatakan dan merasa 
memiliki Indonesia ini sebagai tanah tumpah darah mereka, bukan Chungkuo atau 
Tiongkok yang merupakan tanah asal leluhur mereka.

Tulisan yang berhubungan dengan artikel ini dapat dibaca 
http://luxsman.blogspot.com/2010/02/tahun-baru-imlek-bukan-hari-raya-agama.html




Kirim email ke