Rekan-2 FPK,
tulisan yang sangat menyentuh hati serta perasaan, karena nyaris tidak beda 
dengan kenyataan yang mengitari keseharian rakyat kebanyakan sekarang ini. 
Namun saya pun yakin, masih cukup banyak manusia yang tidak mengerti inti pesan 
tulisan ini. Lebih disayangkan lagi, sebagian dari yang tidak mengerti itu, 
adalah kalangan (secara quantitative memang minoritas, tapi qualitative 
sebenarnya berbobot) yang telah berhasil (entah dengan cara yang seperti apa?) 
meraih kewenangan yang sekarang berada ditangan nya.
Salam,
bodo

--- In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, iwan piliang <iwan.pili...@...> 
wrote:
>
> Saya  tinggal di 
> bilangan Guntur, Setiabudi Jakarta Selatan. Guntur lebih dikenal karena 
> di pojokan Jalan Sultan Agung dan Perempatan Jalan Guntur ada markas 
> Polisi Militer (PM).  Di belakang penjara PM Guntur, ada Pasar Manggis, 
> tempat kami acap membeli kebutuhan sehari-hari. Tak terkecuali gas 
> elpiji ukuran 3 kg.  Sekelimut pengalaman memakai tabung gas elpiji 3 kg
>  dan kisah  pemberhentian langkah di saat menjelang berbuka puasa 
> Ramadan hari pertama di Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan. SEJAK
>   menjelang Ramadan, hingga puasa hari pertama, suatu kehebohan nyata di
>  Pasar Manggis, Guntur, Jakarta Selatan. Tabung gas elpiji 3 kg, tak 
> bertanda Standar Nasional Industri (SNI) tidak  bisa ditukarkan lagi ke 
> pedagang. Tabung terakhir  kami pakai, bagian  mulut lehernya diberi 
> ikat karet gelang, kajai, kata orang Minang. Suatu
>  petang aku pulang. Di dapur  aku menyium bau gas. Sertamerta aku cabut 
> selang tabung,  lalu membawa "melon"  ke halaman. Dan kini tabung itu 
> tak mau diterima pedagang, padahal sebelumnya dibeli dari pedagang 
> sama.Dan di belakang Pasar Manggis ada perkampungan padat, yang 
> sehari-hari warga membeli gas dengan tabung gas tanpa SNI itu. Keajaiban
>  demikian,agaknya, mungkin cuma terjadi di ranah Indonesia. Di
>  awal Ramadan ini, menikmati hidup sebagai rakyat,  ihwal berpisahnya 
> nyawa  dari badan akibat meleduknya tabung gas, membuat jasad bisa bak 
> sampah. Seakan murah. "Tukang gas yang 12 kg tak lewat. 
> Telepon ke  penjual agen agak dekat rumah, dia bilang tidak ada  petugas
>  antar," kata isteri saya. Maka dengan berjalan kaki, dan 
>  menenteng tabung  "melon" ringan, menjadi pilihan keluarga kami membeli
>  gas. Apalagi pedagang penjual gas "melon": yang suka keliliang juga tak
>  lewat. Kenyatan demikian, manalah dipedulikan oleh 
> Pertamina. Segenap pimpinan Pertamina, jajarannya, asyik sibuk  dengan 
> rutinitas yang ada. Lagian, mereka di kantoran, sudah pasti melepaskan 
> tanggung jawab ke para distributor, dealer dan segenap turunannya. Dengan
>  logika demikian, mereka membenarkan diri, tetapi dengan rendah hati  
> saya katakan: bolehlah sebagai orang biasa bertanya, bagaimana 
> pengawasan produsen terhadap barang dagangan produksinya? Apalagi urusan gas 
> elpiji ini memang monopoli Pertamina memproduksi? Dalam
>  kerangka inilah kepapaan sebagai orang biasa menjadi kian tergerus asa.
>  Bentuk kekecewaan publik satu dua meretas ke aksi datangnya warga ke 
> istana: setelah cara dan segenap akal menjadi percuma menyampaikan kata,
>  tak tahu lagi harus mengadu ke mana? Puncaknya  seorang 
> Susi Hariani yang membawa anaknya, Ido,  cacad panggang,  dari 
> Bojonegoro mengadu ke istana, 18 Juli lalu  - - untungnya kini sudah 
> dalam penanganan rumah sakit dibiayai pemerintah. Lebih banyak masalah tak 
> mengemuka ke media! Lebih berjibun mengendap di bawah permukaaan. Kami
>  tinggal hanya dipisahkan Jalan Sultan Agung dan Kali Ciliwung, hitungan
>  jarak  tak sampai dua ratus meter, bersebelahan dengan kawasan Menteng,
>  Jakarta Pusat, dan tidak pula  sampai lima ratus meter dari kediaman 
> Rumah Dinas Wapres, mengalami keadaan tabung gas bermasalah, bagaimana 
>   pula warga di banyak daerah? Jika di pusat Jakarta saja,
>  tabung gas bermasalah beredar banyak, kuat dugaan saya, angka 9 juta 
> tabung bermasalah  dari 45 juta  elpiji 3 kg tabung beredar kini, lebih 
> besar lagi. Angka sembilan itu kini bisa jadi sudah sembilan belas, atau
>  bisa jadi dua puluh sembilan? Kedengaran mengarang memang. Tetapi
>  sebuah angka rabaan bisa jadi bukan omong kosong, karena tidak  ada 
> program darurat,  aksi cepat,  Pertamina memverifikasi  perihal 
> ke-pah-poh-an ini. Hilangnya nyawa puluhan orang  mereka 
> anggap biasa. Sama biasanya dengan pulang perginya mereka  bekerja di 
> Pertamina sehari-hari menunaikan tugas, terkadang membuat mereka 
> bagaikan robot, melupakan aras  manusia. Macam melihat robot itulah body 
> language 
>  Dirut Pertamina dalam sosialisasi penggunaan tabung gas 3 kg belakangan
>  di televisi. Bahkan dalam iklan layanan masyarakat yang mereka buat 
> pun, sang  Dirut  hanya berujar, "Tabung Gas Pertamina Aman". Tanpa ada 
> kerendah-hatian, membeberkan  dalam satu paparan, langkah-langkah 
> tanggap telah mereka lakukan, lalu prihatin mendalam dari musibah  telah
>  terjadi. Laku demikian,  akibat langgam hidup, tak pernah
>  lagi mau bersinggungan dengan kenyatan hidup sehari-hari.. Tak ingin 
> lagi merasakan bagaimana memasak dengan minyak tanah, bagaimana 
> merasakan antri minyak tanah. Ketar-ketir terror"melon". Nah bila insan 
> "begawan" demikian dominan mengaku memimpin segenap kepentingan rakyat, 
> sulit memang berharap bahwa mereka akan mampu menjiwai denyut-kejut 
> rakyat, kusut-masai, mereka cincai-cincai!   SATU
>   jam lebih menjelang berbuka  Ramadan hari pertama. Saya sengaja mampir
>  ke Pintu Air Manggarai, yang diarsiteki Herman van Breen, pada 1922. 
> Dulu agaknya, kawasan pengatur aliran air mengatasi banjir kanal barat 
> ini bisa jadi tampak besar sekali. Kini, bila Anda  
> berdiri di tepiannya, di sebelah kanan menumpuk batang kayu  
> berdiameter  lebih tiga pagutan orang biasa. Di sampingnya menumpuk 
> gelondongan kayu lain lebih kecil. Bersebelahan, potongan-potongan kecil
>  pecahan kayu digelontor air pasang. Bau sekitar anyir. Anda yang alergi 
> bau, saya pastikan akan hacin-hacin. Petang
>  itu saya perhatikan dua anak muda tampak memancing. Mereka bilang suka 
> dapat lele,mujair, sesekali ikan gabus. Gabus bila di Riau dikenal 
> Ruting, jenis ikan darat banyak gizi, sekaligus dianggap  makanan 
> menyehatkan pria. Di bagian kiri ada jalan menuju ke 
> tepian air bercorak coklat. Saya perhatikan menggunung sampah mulai dari
>  kasur hanyut, bantal, kursi pun ada. Urusan  botol plastik, patahan 
> kayu-kayu pendek selengan, jangan ditanya jumlahnya. Seorang
>  bapak tua, tampak mengait pakai galah setiap aliran barang yang ada. Ia
>  pilah-pilah botol plastik, ember plastik pecah-belah dan barang 
> plastik  khanyut lainnya. Dari binar matanya terlihat bagaikan orang 
> mencari butiran intan di Martapura, Kalimantan Selatan. Di
>  bagian atas bersebelahan dengan jembatan  kereta api Manggarai, sebuah 
> gubuk seukuran kandang ayam, menaungi  tempat tinggal seorang nenek tua.
>  Nenek bongkok itu menjemur potongan kayu basah dari kali. Ia hidup dari
>  menjual potongan-potongan kayu kecil yang kini kian dicari masyarakat 
> sebagai kayu bakar. Petang  merembang menjelang  berbuka 
> pusa itu, saya membayangkan sosok Fauzi Bowo, Sang Gubernur Jakarta ini,
>  ada berdiri di samping saya. Ia ada sebagai rakyat biasa, melihat 
> bagaimana gunungan sampah, bau apek, kumuh,  anyir, dan nenek tua renta 
> tidak nyinyir masih bekerja. Sayang, yang saya terima dari
>  sang Gubernur sehari menjelang Ramadan, hanya ucapan selamat menunaikan
>  puasa Ramadan via SMS saja.  Ia mengajak semoga amalan puasa diterima  
> Tuhan. Terima kasih gubernur. Selama Ramadan
>  pula dirilis ke media oleh  Pemda DKI , gubernur akan berkeliling 
> melakukan  Shalat tarawih. Tak ada agenda menginjak kenyataan riil 
> kehidupan warga DKI, yang air got, paritnya,  mampat, kalinya belum 
> bersih jua. Giliran hujan, air berlepak-peak di jalanan, kemacetan 
> menjadi-jadi. Solusi angkutan massal belum juga 
> terealisir. Proyek MRT sudah tiga tahun bergulir, terindikasi baru hanya
>  memakan APBD untuk perencanaan tok, sudah lebih Rp 200 miliar. Anehnya,
>  Monorail, jelas-jelas terindikasi lebih - - sebagaimana pernah saya 
> tulis di Sketsa - - kepada perebutan kepentingan pengusaha, bukan demi 
> kepentingan publik, tak berani juga diputuskan untuk  dilanjutkan oleh 
> sang gubernur. Pilar-piliar Monorail  yang berdiri kini dengan  
> investasi awal PT Adhi Karya, tetap saja berderetan karat sunyi. Apakah 
> kemudian lalu menunggu ada warga DKI menampar muka gubernur dan segenap 
> jajaran pemda DKI dalam arti riil? Tulisan
>  Sketsa Ramadan ini aku tulis dengan ajakan, sebelum tamparan riil itu 
> terjadi, macam "kenekatan" Ibu Ido datang ke  istana, marilah beramadan 
> dalam arti riil, jauhkan diri dari seremoni. Apalagi beribadah demi 
> seremoni. Injaklah bumi, temuilah rakyat, rasakan denyut kehidupan 
> rakyat nyata. Toh semua dana kalian mainkan, dari rakyat jua asalnya. Lain 
> tidak! Jika itu dicamkan, aku yakin Ramadan kali  ini menjadi puasa 
> berbeda. Memartabatkan harkat manusia dengan mutu kehidupan, mulia 
> adanya!***  Iwan Piliang, Literary Citizen Reporter,blog-presstalk.com
> 
> 
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>


Kirim email ke