Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), diwakili oleh 
Gunawan (Sekretaris Jenderal Komite Eksekutif); Prakarsa Masyarakat Untuk 
Negara Kesejahteraan Dan Pembangunan Alternatif (PRAKARSA). diwakili oleh 
Purnama Adil Marata (Interim Executive Director/Sekretaris Badan Pengurus); 
Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran  (FITRA),  diwakili oleh Yuna 
Farhan (Sekretaris Jenderal); PERKUMPULAN INISIATIF, diwakili oleh DOHNY 
SETIAWAN  (Ketua); Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) 
diwakili oleh Abdul Wahid (Sekretaris); dan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha 
Kecil (ASPPUK), diwakili oleh Ramadhaniati (Sekretaris Eksekutif Nasional) . 

Dengan kuasa hukum yang terdiri dari 
Ecoline Situmorang, S.H.
Janses E. Sihaloho, S.H.
M. Taufiqul Mujib, S.H. 
Riando Tambunan, S.H. 
Ridwan Darmawan, S.H. 
Ah. Maftuchan, SHI    M. Zaimul Umam, S.H, M.H
B.P. Beni Dikty Sinaga, S.H. 
Henry David Oliver Sitorus, S.H.. 
Anton Febrianto, S.H. 
 Friadi S.H
Kesemuanya adalah Advokat dan Pengabdi Bantuan Hukum yang tergabung dalam TIM 
ADVOKASI TOLAK RUU APBNP 2010 yang berdomisili hukum di kantor Jl. Mampang 
Prapatan XV No. 8A RT 03/04, Kel. Tegal Parang, Jakarta Selatan (Kantor IHCS)

Hari pukul 11. 00, akan mendaftarkan gugatan judicial review terhadap UU APBNP 
ke Mahkamah Konstitusi. 

UUD 1945 memberikan amanat bahwa fakir miskin dan anak terlantar 
ditanggung oleh negara dan negara menjamin pemenuhan hak-hak asasi manusia 
seperti hak hidup yang layak, kesehatan, jaminan sosial dan sebagianya. Bahwa 
salah satu tujuan utama negara adalah untuk 
meningkatkan kesejahteraan warga negara. 

Bahwa salah satu instrumen negara untuk mengatasi permasalahan 
tersebut adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) di 
tingkat pusat dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di 
tingkat propinsi dan kabupaten/ kota.

Tetapi, setidaknya 10 tahun setelah reformasi, APBN belum  berpihak kepada 
warga negara, terutama orang miskin. Di mana prioritas 
belanja APBN belum diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan, 
memberdayakan warga negara yang miskin atau mendekatkan akses bagi 
orang miskin supaya segera terbebas dari beban kemiskinannya. 

Dalam APBNP 2010 misalnya, orang miskin sepertinya bukan sebagai subyek 
pembangunan.  Dalam aturan perundang-undangan, dua aktor kunci perencanaan 
sampai penetapan APBN adalah Pemerintah dan DPR. Kedua institusi besar ini pula 
yang  diharapkan dapat memikul amanah mengupayakan agar APBN bisa benar-benar 
cenderung dan berpihak kepada orang miskin. Pemerintah menjadi pembuat 
rancangan APBN dan implementator di lapangan, 
bagaimana agar rancangan tersebut benar-benar berangkat dari 
kebutuhan riil masyarakat dan diselenggarakan dengan mekanisme yang 
menjamin implementasinya tidak diselewengkan. Dan DPR merupakan 
penentu diterima dan tidaknya APBN,  maka diharapkan agar lebih ketat 
dan kritis untuk menjamin prioritas kegiatan angka-angka yang 
dialokasikan dekat dengan kepentingan orang miskin.

Terkait dengan fungsi parlemen, terutama Panitia Anggaran, ada 
beberapa hipotesis mengapa peran mulia pembelaan terhadap orang miskin 
belum bisa maksimal. Pertama, DPR memiliki tugas kerja yang sangat 
banyak tetapi supporting systemnya belum memadai. Kedua, belum ada 
kerjasama antara DPR dengan institusi masyarakat sipil dalam 
pembahasan anggaran. Jika masyarakat sipil tersebut bisa lebih banyak 
terlibat, barang kali itu bisa menjadi alternatif sementara untuk 
supporting data dan alternatif kepada anggota dewan terutama yang ada 
di komisi dan panitia anggaran. Dan ketiga, secara substansi orang 
miskin (poor) sebagai pendekatan masih merupakan hal yang baru dalam 
penyusunan anggaran negara. 

Bahwa dalam UUD 1945 yang sangat jelas menyatakan  fakir miskin sebagai subyek 
APBN , sama sekali diabaikan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2010. Hal ini 
terlihat dengan tidak terakomodirnya anggaran untuk  jaminan social, kesehatan 
dan ketidakadilan dalam hal perimbangan anggaran antara daerah dan pusat. 

Bukan hanya itu, proses penyusunan undang-undang aquo juga banyak mengalami 
cacat prosedur.

Padahal, dalam UUD 1945 menjamin Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan 
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat 
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. UUD 1945 juga menjamin Setiap 
orang berhak atas jaminan Sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara 
utuh sebagai manusia yang bermartabat termasuk memastikan bahwa fakir miskin 
dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. 

Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2010 juga bertentangan dengan Pasal 
22A UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara 
pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang”. Dan faktanya, proses 
formil maupun norma dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2010 ini juga tampak 
tidak selaras dengan beberapa kebijakan lain yang terkait dengan ekonomi dan 
anggaran.

Singkat kata, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2010 ini terbukti dengan meyakinkan 
bertentangan dengan amanat konstitusi yang menyatakan bahwa seluruh system 
ekonomi nasional digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.




      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke