Dear Manneke Budiman, Pendapat Anda begitu singkat sehingga saya harus berceritera seputaran A1, orang-orang yang sekarang berkerumun di istana itu. Kemudian, barulah saya berargumen, "Mengapa Wiranto untuk no.2?"
Jauh sebelum SBY muncul sebagai Capres di tahun 2004, DR. Sjahrir, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (DPP) untuk Ekonomi, telah menjadi salah satu kandidat Presiden RI diaklamasikan salah satu partai (peserta pemilu). Dalam rangka Sjahrir mencari kemungkinan pasangan Cawapres untuk maju bersamanya, dalam obrolan terbatas dan resmi, saya sempat bertanya tentang "Apakah DR.Sjahrir (Ciil, oleh kerabatnya) tidak mempertimbangkan Soesilo Bambang Yudhoyono untuk menjadi Cawapres?" Jawaban Sjahrir? Sorry, tidak etis saya menyampaikannya. Dan yang terjadi sekarang, Sjahrir menjadi penasihat Ekonomi Presiden SBY. Pendapat saya tentang pengangkatan Sjahrir sebagai salah satu anggota DPP, tidak lebih dari mengkandangkan DR.Sjahrir yang dikenal vokal dan mengkritisi apa saja, meskipun faktualnya belum tentu selalu dekat. Posisi DPP, seperti Rachmawati misalnya, sekedar memecah kekuatan Megawati pada putaran Pilpres berikut. Adnan Buyung Nasution mungkin pesanan CIA atau Uni Eropa supaya mengontrol SBY dalam kasus2 pelanggaran HAM, who knows. DPP ini bukan teristimewa fungsi aktif-nya, tapi fungsi penguatan posisi SBY. Poin apa yang ingin disampaikan di atas, kiranya, Manneke, dapat menangkap sendiri. Kita tidak saling mengenal aliran politik kita. Anda benar dalam hal, tidak ada angin-ombak, kenapa tiba-tiba ada usulan Wiranto yang purnawirawan jenderal itu menjadi (wakil) Presiden? Apakah saya salah satu pengurus atau simpatisan Partai Hanura-nya Pak Wiranto? Tidak. Ada interese? Untuk kebaikan bangsa, Bonum Populi suprema Lex (Kebaikan umum menjadi hukum (kriteria) Terutama). Kepentingan di luar itu memang tidak pernah ada. Saya juga keliru menganggap Anda membaca posisi pandang saya terhadap politik (dalam dan luar negeri) RI; terhadap Presiden SBY dan Kabinet; sikap terhadap Negarawan Jalaluddin Rakhmat dan Militer; Konflik Poso; dan misalnya, apa sebaiknya dibuat agar negara ini maju, DARI PADA KITA HABIS-HABISKAN energi saling mencaci-maki dari pagi hingga malam, sampai liang lahat pun, orang masih dicaci-maki, sementara tidak sedikit orang di negeri ini adalah pengangguran, busung lapar, tidak dapat membeli obat, and so on. Mengapa Duet Sri Mulyani dan Wiranto dipertimbangkan? Sri Mulyani sesingkat-singkatnya adalah seorang figur nasionalis (meski sempat tercatat sebagai pendukung intervesi IMF), beliau wanita pemberani, cerdas, akomodatif, berani beda (tegas), siap mengambil resiko. Lebih dari itu, saya belum bisa, sebentar dikira anggota Tim Sukses. Meski dengan segudang kelebihan itu, sebagai seorang sipil yang belum banyak pengalaman menghadapi massa, dan membutuhkan support keberanian, pilihan jatuh pada purnawirawan militer. Tidak mungkin Mbak Ani berdiri tegak dengan seorang Sipil. Jadi, pilihan pada purnawirawan Wiranto, yang punya Partai Hanura, adalah penting. Khusus: Wiranto for Vice-P dan Reformasi Gradual Mengapa Pak Wiranto? Konteks "membolehkan" purnawirawan jenderal untuk jabatan presidensial di masa kini, adalah "negeri ini masih sedang mabuk Reformasi atas cara "demo-CRAZY". Di mana-mana orang berpikir telah menjadi negara sendiri dalam negeri. PERDA-PERDA aneh yang melanggar Konstitusi sekalipun. Reformasi dan Demokrasi tidak dapat dikendalikan oleh para pencetus. Memang mahal membayarnya. Sebenarnya, istilah "Reformasi Gradual" antara lain dikumanangkan dengan lantang Wiranto, menjelang maupun lengsernya Pak Harto pada tahun 1998. Wiranto memang menghendaki adanya Reformasi. Ia seorang jawa sejati dalam hal tidak adanya keributan mendahului sebuah komunitas yang tentram. Kemungkinan, Wiranto mempunyai agenda yang relatif lebih baik, di tengah hiruk pikuk demokrasi yang akhirnya, dengan dahi berkerut Wiranto memperhatikan Presiden Habibie melepas Timor-Timur untuk referendum di tahun 1999 pertengahan. Pelbagai perubahan drastis dalam tubuh militer tidak se-elastis kemauan masyarakat yang seribu satu macam. Dalam keadaan sedemikianlah, militer kita berupaya mempertahankan eksistensinya, melepaskan Timor-Timur, anak emas yang lama dipelihara dengan uang dan nyawa. Jadi, Wiranto, yang juga punya peluang, kuasa (dan uang?) ketika turunnya Soeharto, tidak menggunakan semuanya itu untuk melakukan "kup". Semeskipun, keadaan kita amat dimungkinkan. Tapi, Wiranto sekali lagi adalah wong-jowo, yang santun mengatakan "Monggo" kepada Habibie menuju kursi Presiden. Mengenai akan dicekal-tangkal ke luar negeri? Go to hell dengan pelbagai warning itu. Sekasarnya: Wiranto menjadi wakil Presiden untuk Indonesia, bukan untuk negara lain, apalagi untuk PBB. Hubungan multilaral dan bilateral dapat menempatkan diplomat-diplomat untuk mengkomunikasikan pelbagai situasi dan perkembangan negara kita. Ini kan soal komuniksi diplomatik. Emang PBB melakukan apa ketika Irak menjadi hancur-hancuran di tangan George W Bush. Lalu, apa tindakah PBB terhadap BUSH yang ternyata SALAH dalam mengidentifikasi Senjata Pemusnah Massal yang dibangun Saddam? Atau, tidak sangkut pautnya Bush dengan Al'Qaida? Apa kita perlu belajar cari Che Guevara atau Fidel Castro untuk berbicara tentang PBB yang milik banyak negara, dan bukan PBB milik USA? Jadilah warga negara yang siap membangun Indonesia yang merdeka, berdaulat dan bermartabat. Atau, BUBARKAN!!! Jadilah sejumlah negara-negara kecil, di mana Amerika menjada "Paman Sam". Kembali, dulu (tahun 2003) saya mengajukankan usul Sjahrir untuk memilih SBY jadi Wapres. Di 2007 ini apa jadinya. Sekarang, saya mengusulkan Sri Mulyani (Mbak Ani) dam Pak Wiranto. Siapa tahu, saya keliru untuk kedua kali. wassalam, berthy b rahawarin --- manneke budiman <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > He he he. Hari gini ada yang ngusulin Wiranto... > Saya sih selain kasian sama rakyat, juga kasihan > sama Pak Wirantonya sendiri. Jadi pres/wapres, tapi > tak bisa pergi ke luar negeri. Lha wong masih > tercatat PBB sebagai penanggung jawab pembantaian di > Timor Leste pascareferendum kok... Kasus Mei 1998 > juga masih gelap tuh, padahal Beliau kan pucuk > pimpinan TNI waktu itu? > > manneke