http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/13/nasional/3447198.htm =========================
Pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono X merupakan momentum untuk membangun alternatif baru dalam membangun demokrasi politik dan pemerintahan ke depan. Namun, bagaimana demokrasi dimaknai, khususnya dalam pemilihan kepala daerah di Yogyakarta, masih harus dirumuskan. "Bagaimana posisi kesultanan dalam pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang demokratik tidak muncul dalam pernyataan Sultan," ujar Dr Pratikno dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada. "Sultan sudah melempar bola yang bagus. Pemerintah pusat harus menangkapnya. Seperti dikatakan Sultan HB X, komponen keistimewaan DIY merupakan urusan pemerintah pusat dan rakyat Yogyakarta, bukan urusan dia lagi. Suntoro Eko dari Institute for Research and Empowerment (IRE) menyatakan perlunya memaknai ulang identitas istimewa Yogyakarta ketika locus politik bergeser dari pusat ke daerah. RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan kerangka formal atas status keistimewaan Yogyakarta, terutama posisi keraton dalam struktur pemerintahan dan penguasaan terhadap tanah (Sultan Ground). Dengan demikian, RUU itu menjadi sangat krusial. Pratikno mengingatkan, fondasi keistimewaan harus berangkat dari sejarah dan pembelajaran dari tempat lain. Secara komparatif dalam sejarah Eropa dan Asia, monarki yang langgeng dan kuat adalah yang mampu melakukan evolusi, adaptif terhadap dinamika keadaan dan melakukan berbagai pembaruan menuju pada kehidupan yang lebih demokratis, seperti Thailand, Inggris, Belanda, dan Norwegia. Monarki yang tidak adaptif akan runtuh, seperti terjadi di Perancis pada masa pemerintahan Louis XVI. Institusi monarki di Belgia dan Nepal ambruk melalui resolusi. Di Nepal, kalaupun tidak ambruk, sudah mengalami proses delegitimasi. Namun, Pratikno mengakui sedikit kesulitan. Dalam konteks perbandingan, monarki konstitusional hanya ada di tingkat nasional, bukan di tingkat lokal. Termakmur Terlepas dari perdebatan mengenai Otonomi Daerah dan soal keistimewaan DIY, provinsi terkecil di Jawa dengan penduduk hanya 3,1 juta jiwa (2000) ini pada akhir tahun enam puluhan dikenal sebagai provinsi "termiskin" nomor 3 dari bawah sesudah Provinsi NTT dan NTB. Sekitar 47 persen wilayahnya, yaitu Kabupaten Gunung Kidul, merupakan wilayah tandus. Sebagian besar Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Kulon Progo, dan sebagian kecil wilayah Kabupaten Bantul adalah daerah kering yang tidak berpengairan sehingga makanan pokok penduduknya bukan beras, tetapi ketela pohon yang dikeringkan yang disebut gaplek. Tiga dasawarsa kemudian, meski Indonesia dihadang masalah ekonomi berat setelah krisis moneter 1997-1998, rakyat Yogyakarta termasuk salah satu yang termakmur di Indonesia. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) penduduk DIY tahun 1999, ke-2 setelah DKI Jakarta dan di urutan ke-3 pada tahun 2002, setelah DKI dan Sulawesi Utara. Usia harapan hidupnya tertinggi di Indonesia. "Saya kira pencapaian ini harus dipertimbangkan," ujar Bupati Bantul Idham Samawi, Rabu (11/4). "Ada tradisi kepemimpinan sekitar 500 tahun. Kita harus melihat sejarah ini secara utuh," ujar Idham, yang sebagai rakyat merasa terayomi dan terlindungi oleh kepemimpinan Sultan. Idham juga mengatakan, sumber keistimewaan dan kekuatan Yogyakarta adalah kebudayaan. "Saya menyebutnya benteng terakhir dalam situasi yang sangat sulit," lanjutnya. "Bagi saya, kepemimpinan dengan pendekatan budaya, bukan agama, akan lebih langgeng." Pendiri Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (Lapera) di Yogyakarta, Dadang Yuliantoro, mengingatkan adanya hubungan spiritual yang khusus antara rakyat Yogya asli dan keraton. Institusi demokrasi tak bisa menjawab itu. "Yang dibicarakan mereka adalah garis mundur, sementara yang dibicarakan aktivis demokrasi adalah garis maju. Nah, bagaimana ini dipertemukan," ujarnya. Ia mengharapkan agar teori demokrasi tidak dicomot begitu saja dari referensi Barat, tetapi memberikan pertimbangan lebih besar pada realitas sosial yang ada; kondisi lokal dan kesejarahan secara tidak parsial. Itulah tantangannya. Dadang mengingatkan pengalaman demokrasi yang diprakarsai keraton, dimulai pada bulan Desember tahun 1945. Majelis Desa, sebagai forum seluruh warga desa terbentuk tahun 1946, dikatakan sangat efektif, karena digunakan konsep luh-ji, sepuluh-siji, artinya 10 warga diwakili satu orang dalam rembuk desa. Sri Sultan HB IX juga membuat maklumat untuk membentuk Dewan Perwakilan Rakyat di tingkat kelurahan. Setelah tahun 1965, DPR Kelurahan Gotong Royong, semua itu kemudian dihegemoni oleh Orde Baru dengan UU No 5/ 1979. "Yang diperlukan sekarang adalah alat ukur baru yang bisa menerima kehendak baik sebagai kehendak baik," ujarnya. Ketika kerajaan masuk ke dalam republik yang menjadi masalah adalah bagaimana kekuasaan politik, ekonomi dan budaya dijalankan; tetap menggunakan sistem kerajaan atau pemerintahan modern (republik). Yang dipilih ketika itu, menurut Dadang, adalah sistem modern dengan sejumlah kekhususan, antara lain, dalam pemilihan kepala daerah dan wakilnya. "Prakarsa transformasi ke republik sudah ada, termasuk pemisahan kekuasaan. Yang menjadi masalah adalah apakah republik menyediakan jalan konstitusional bagi transformasi tersebut, ataukah DIY diberi kebebasan berproses tanpa harus dituding tidak sejalan dengan konstitusi atau bahkan lebih buruk lagi. Pernyataan Sultan, menurut saya adalah upaya untuk menggerakkan transformasi dalam kerangka hukum republik dan berjalan secara damai," ujar Dadang. Di atas semua golongan Ons Untoro dari Rumah Budaya Tembi mengingatkan bagaimana demokrasi ditempatkan dan dipahami dalam kultur Yogyakarta. Salah satunya, keraton sebagai pusat kebudayaan yang harus bisa menyatakan posisinya dalam konteks demokrasi. "Sampai sekarang kan belum ada gubernur dari luar keraton," ujarnya. Menurut Ons, Gubernur terpilih sebaiknya bukan dari partai politik, tetapi berdiri di atas semua golongan dan harus disetujui pihak keraton. Proses pemilihannya harus diatur dan berbagai konsekuensinya harus dipertimbangkan. "Wewenang Sultan adalah wewenang kebudayaan dan spiritual," ujarnya, menegaskan pernyataan Dadang, mengenai harus dipisahkannya politik praktis dan kebudayaan. Ons menambahkan, urusan birokrasi hanyalah urusan sosial dan politik, termasuk pelayanan untuk rakyat. Sedangkan yang bersifat kebudayaan dan spiritual urusannya dengan keraton. Tim peneliti IRE yang merekam permasalahan Otonomi Daerah dan Wacana Keistimewaan Yogyakarta menemukan persoalan lainnya. Yakni tarik- menarik kekuasaan untuk memanfaatkan resources yang ada. Kabupaten dan kota berkeberatan kalau basis otonomi daerah ditempatkan di provinsi, sementara desa bersikap mendua. Mereka hendak membangkitkan kembali romantisme ikatan sejarah antara keraton dan desa yang sudah hilang sejak lima dekade silam, serta menolak intervensi kabupaten ke dalam rumah tangga desa. Kewenangan kabupaten yang cukup besar dirasa akan merugikan elite desa sehingga mereka melakukan koalisi dengan kekuatan yang lebih besar, yakni provinsi dan keraton. Posisi desa yang inferior ini rentan terhadap manipulasi politik kekuatan di luar yang menggunakan keraton sebagai satu-satunya identitas Yogyakarta. Para pelaku itu memanipulasi keterkaitan kultural sebagai pilihan politik. Itu hanya bagian dari kompleksitas persoalan di Yogyakarta yang membuat tak mudah merumuskan RUU Keistimewaan DIY. Tetapi pertanyaannya kemudian adalah, setelah melempar bola, ke mana dan apa yang hendak dituju Sri Sultan HB X? (MH)