Oleh Edy Priyono
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/19/opini/3528266.htm
=======================

Salah satu bentuk diskriminasi di pasar kerja yang banyak mendapat
sorotan adalah diskriminasi upah menurut jenis kelamin. Perusahaan
dianggap melakukan pembedaan upah tanpa kriteria obyektif atau terkait
dengan kinerja buruh.

Praktik pembedaan upah antara perempuan dengan laki-laki di kalangan
buruh tani sudah berjalan sejak sangat lama. Entah siapa yang memulai,
buruh tani perempuan diberi upah yang nilainya sekitar 75 persen dari
upah buruh tani laki-laki.

Padahal tidak sedikit jenis pekerjaan di sektor pertanian yang secara
umum lebih baik hasilnya jika dikerjakan perempuan. Artinya, perbedaan
produktivitas bukanlah alasan pembedaan upah tersebut.

Sekarang, setelah sekian lama gerakan penghapusan segala bentuk
diskriminasi demikian kencang jalannya, sangat menarik melihat apakah
praktik diskriminasi upah tetap terjadi. Juga menarik melihat apakah
kebijakan pemerintah bisa memainkan peran penting dalam penghapusan
diskriminasi upah.

Upah atau pekerjaan?

Tabel menunjukkan, buruh perempuan di Indonesia menerima upah lebih
rendah daripada buruh laki-laki. Secara rata-rata keseluruhan buruh
perempuan hanya menerima 74 persen dari upah yang diterima buruh
laki-laki.

Perbedaan upah buruh itu konsisten di setiap provinsi, dengan rasio
upah perempuan dibandingkan dengan laki-laki yang bervariasi. Di
Banten dan Kalimantan Timur, buruh perempuan hanya menerima 62 persen
dari upah buruh laki-laki, yang merupakan kondisi terburuk
dibandingkan dengan provinsi lain. Sementara itu, di Sulawesi,
kondisinya lebih baik, rasio upah buruh perempuan dengan laki-laki 89
persen-99 persen.

Tuduhan diskriminasi upah tidak dengan serta-merta bisa dialamatkan
kepada pengusaha. Ada dua situasi yang memang terkait, tetapi bisa
dibedakan satu dengan lainnya, yakni diskriminasi upah dan
diskriminasi pekerjaan.

Diskriminasi upah merupakan pembedaan upah buruh pada pekerjaan,
kualifikasi, jam kerja, kinerja, serta kondisi lain yang semuanya
sama. Jadi, pembedaan upah dilakukan semata-mata karena pertimbangan
jenis kelamin.

Sementara itu, diskriminasi pekerjaan tidak mengenal pembedaan upah
antara laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan sama, tetapi membatasi
akses perempuan pada pekerjaan tertentu. Lebih spesifik lagi,
perempuan hanya diberi akses untuk pekerjaan "marjinal" yang upahnya
lebih rendah.

Ada berbagai alasan perusahaan melakukan diskriminasi pekerjaan.
Pertama, prasangka pekerjaan tertentu hanya bisa dilakukan laki-laki,
atau perempuan hanya cocok melakukan kerja tertentu. Ini dapat dilihat
pada iklan lowongan pekerjaan di berbagai media massa.

Kedua, peraturan tentang hak-hak pekerja perempuan, sehingga merekrut
pekerja perempuan dianggap "merugikan" perusahaan. Contohnya, aturan
tentang cuti, khususnya cuti haid dan cuti melahirkan.

Di satu sisi, peraturan ini positif, karena sangat melindungi pekerja
perempuan terkait dengan fungsi reproduksinya. Akan tetapi, dari sudut
pandang perusahaan, ketentuan ini membuat pekerja perempuan sangat
berpotensi memiliki hari kerja lebih rendah daripada laki-laki,
sementara gajinya harus terus diberikan ketika cuti.

Apa pun alasannya, kedua bentuk diskriminasi tersebut sama buruknya
bagi buruh perempuan. Lantas, terkait dengan perbedaan upah
sebagaimana terlihat dalam tabel, yang mana yang terjadi di Indonesia?

Pertanyaan tersebut bisa dijawab melalui analisis regresi yang bisa
mengontrol pengaruh variabel lain (selain jenis kelamin). Hasil
analisis Pusat Kajian Kebijakan Publik Akademika menunjukkan,
diskriminasi upah buruh perempuan memang terjadi.

Pada tingkat pendidikan, jam kerja, umur, dan daerah yang sama, secara
statistik terbukti buruh perempuan menerima upah lebih rendah daripada
laki-laki. Setelah dikontrol dengan berbagai variabel tersebut,
perbedaan upah mencapai Rp 216.000 sebulan.

Digabung dengan fenomena empiris yang teramati antara lain dari iklan
lowongan pekerjaan di media massa, hasil analisis tersebut
menunjukkan, di Indonesia terjadi dua jenis diskriminasi (upah dan
pekerjaan) sekaligus bagi buruh perempuan.

Penutup

Meskipun secara statistik terbukti, tidak mudah membuktikan
diskriminasi tersebut di lapangan. Itu berarti tidak mudah juga
mengatasinya. Selain dengan peraturan jelas dan tegas tentang larangan
praktik diskriminasi, khususnya dalam perekrutan dan upah, diperlukan
kerja sama berbagai pihak.

Pemerintah perlu memberi perhatian lebih besar terhadap masalah ini.
Selama ini ada kesan pemerintah hanya "sibuk" mengurus upah minimum.

Tidak ada salahnya pemerintah mengawasi lebih ketat kebijakan
perusahaan dalam perekrutan dan pengupahan. Misalnya, perusahaan
dilarang memasukkan kriteria jenis kelamin dalam perekrutan.

Diskriminasi upah dalam perusahaan lebih sulit diatasi, kecuali jika
ada pengaduan dari pihak buruh. Karena itu, serikat buruh/pekerja juga
perlu memberi perhatian lebih besar terhadap kasus ini. Hal itu bisa
dimulai, antara lain, melalui keterlibatan perempuan yang lebih besar
dalam serikat buruh/pekerja.

Edy Priyono Peneliti pada Pusat Kajian Kebijakan Publik Akademika;
Pengajar di Fakultas Ekonomi UI 

Kirim email ke