Oleh Susana Rita
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/19/Politikhukum/3538420.htm
==================

Negara tidak boleh membuat seseorang menjadi lebih jahat atau buruk
daripada sebelum orang yang bersangkutan dipidana. Dengan kondisi
penjara seperti saat ini—yang lebih mirip gabungan organisasi
ketentaraan dan rumah sakit jiwa—mungkinkah hal tersebut terpenuhi?

Penjara itu miniatur masyarakat. Banyak persoalan kemanusiaan di
sana," ungkap ahli kriminologi sekaligus pengamat lembaga
pemasyarakatan (LP) dari Universitas Indonesia (UI), Thomas Sunaryo.

Ada banyak cerita dari balik penjara yang kini bukan menjadi rahasia.
Itu mencerminkan beragam persoalan, mulai dari kapasitas penjara yang
mulai tak mampu menampung narapidana (napi), isu kesehatan, isu
pungutan liar, dan berbagai isu lainnya.

Thomas menggambarkan situasi penjara yang dianalogikannya dengan
gabungan rumah sakit jiwa dan ketentaraan. Sedemikian menyedihkannya
sehingga tak hanya napi yang enggan berdekatan dengan lingkungan
tersebut. Mayoritas petugas LP atau sekitar 70 persen pun mengaku
ingin pindah ke bagian lain jika memungkinkan.

Fakta tersebut merupakan hasil penelitian yang dilakukan ahli
kriminologi sekaligus pengamat pemasyarakatan itu. Penelitian
dilakukan di 20 LP di seluruh Indonesia. Penelitian dilakukan bekerja
sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Hukum dan HAM
pada 2005.

Berikut petikan wawancara dengan Thomas, saat ditemui di Kampus UI,
Salemba, pekan lalu.

Bagaimana Anda melihat penjara?

Penjara, baik manusia maupun lingkungan sosialnya, sebenarnya
mencerminkan miniatur dari masyarakat. Di situ banyak sekali persoalan
kemanusiaan, bukan cuma masalah napi kabur. Itu hanya seperti puncak
gunung es. Hanya saja, penjara ini termasuk lingkungan yang tidak
pernah dilihat orang atau unseen environment. Orang tidak tahu apa
yang terjadi di dalamnya.

Penjara itu sebenarnya merupakan sebuah lingkungan yang unik. Unik,
karena terdiri atas manusia dari golongan yang beragam, kaya, miskin,
suku, maupun agama. Unik, karena penjara itu mirip gabungan organisasi
ketentaraan dengan rumah sakit jiwa. Mirip tentara karena setiap orang
diperlakukan seragam. Mirip rumah sakit jiwa karena lingkungan penjara
merupakan lingkungan yang antitesis terhadap kebebasan orang
bertindak. Ini menyebabkan derita psikologis yang lebih berat daripada
hukuman fisik.

Orang dipenjara itu kan kehilangan kemerdekaan. Begini saja, Anda
mengikuti kuliah jika lebih dari dua jam pasti sudah gelisah. Mereka
setiap hari berada di dalam sekat-sekat. Itu pasti membosankan. Belum
lagi hilangnya komunikasi dengan orang yang mempunyai hubungan
emosional. Ini berakibat macam-macam; cepat marah, kehilangan
kreativitas, kehilangan semangat, apatis, dan perilaku berpura-pura.

Di sisi lain, ada petugas LP berkuasa yang menekankan pada pendekatan
keamanan, bukan pembinaan. Karena memang yang dibutuhkan di dalam
penjara pendekatan keamanan. Kenapa? Karena kalau ada narapidana yang
ribut-ribut atau lari, dia ditegur atasan. Tapi, kalau salah
pembinaan, dia tidak kena masalah.

Di dalam LP, ada hubungan simbiosis mutualisme dan diskriminasi di
dalam relasi antara napi dan petugas. Ini terjadi karena dua
kepentingan tadi, napi ingin mengurangi penderitaannya. Ia menyogok.
Petugas memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya.

Bukankah memenjara adalah memasyarakatkan?

Di dalam implementasinya, tidak jalan. Kalau lihat gambar tadi, itu
kan pindang.

(Sebelum memulai perbincangan, Thomas memperlihatkan foto-foto situasi
dan kondisi LP. Penuh sesak. Di siang hari, napi berserak di
mana-mana, hampir di setiap sudut dan ruang terbuka di areal LP. Di
malam hari, mereka tidur berbaring seperti ikan pindang yang berjejer.
Tak ada sedikitpun sisa ruang untuk mengubah posisi anggota badan.

Kamera Thomas juga sempat menangkap gambar napi yang tidak kebagian
tempat di lantai. Napi itu terpaksa tidur bergelantung pada kain
sarung yang diikatkan di jeruji sel. Ada pula yang tidur di atas
tembok pemisah kamar mandi. Yang satu ini tentu membutuhkan keahlian
khusus karena lebar tembok tak lebih dari 30 sentimeter.)

Jadi, bagaimana?

Konsep pemasyarakatan itu diperkenalkan oleh Saharjo, ada 10 prinsip
pemasyarakatan. Yang paling bagus, menurut saya, adalah bagian yang
menyebutkan negara tidak boleh membuat seseorang lebih jahat atau
lebih buruk dari sebelumnya. Artinya, di dalam kacamata negara, napi
adalah sumber daya. Napi itu tidak boleh menganggur.

Tapi, itu kembali lagi antara das solen dan das sein yang sangat
berlainan. Petugas dihadapkan oleh ketakutan napi akan berantem dan
sebagainya, petugas tidak bisa berpikir kreatif.

Di Australia, pembuatan pelat nomor dikerjakan napi. Mereka
menyediakan jasa pencucian untuk rumah sakit. Di tempat kita, pada
zaman Belanda, kita punya yang semacam itu. LP di Yogyakarta dengan
sepatu kulitnya, di Bandung ada usaha percetakan, di Cirebon ada baju.
Sekarang tidak bisa karena masalah daya saing.

Beberapa waktu lalu memang ada pengusaha di LP Cipinang yang membuat
peternakan ayam. Di penjara, banyak orang potensial yang punya akses
ke mana-mana. Tetapi, kenapa ini tidak dilakukan, kembali lagi karena
kreativitas petugasnya tidak ada.

Kalau kita tarik ke masalah komitmen, ini yang susah. Kebanyakan orang
masuk ke Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP) karena tidak ada pilihan
lain. Ditanya kalau ada pilihan pindah ke bagian lain, 70 persen
mengatakan ya, ingin kerja di bidang lain. Jadi, yang tidak betah di
LP tidak hanya napinya, petugasnya juga. Kalau orang bekerja sudah
tidak betah, integritasnya... ya sudah. Yang penting apa adanya.

Namun, konsep ini seharusnya tidak hanya dilihat dari dalam LP saja.
Itu juga harus terkait dengan polisi, jaksa, hakim, dan LP sebagai
bagian dari criminal justice system. Tetapi, semuanya berjalan
sendiri-sendiri. Polisi bertindak mengacu pada UU Kepolisian, buat dia
makin cepat menangkap orang makin baik. Jaksa dengan UU Kejaksaan,
hakim dengan UU Kekuasaan Kehakiman. LP dengan UU Pemasyarakatan.

Mengapa terjadi?

Karena Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang memayunginya tidak
menjelaskan tujuan atau filosofi dari pemidanaan/hukuman. Hanya
dikatakan, barang siapa begini dikenai hukuman sekian tahun. Padahal,
tujuan hukuman itu mendasar.

Sebenarnya, konsep pemasyarakatan itu kuncinya di hakim. Dia yang
memutuskan seseorang masuk ke LP. Padahal, kenapa harus selalu
dimasukkan ke sini sampai pelanggar perda yang dihukum dalam hitungan
hari pun juga dipenjara.

Di luar negeri, seorang pengutil dijatuhi hukuman 60 hari. Namun, ia
diperbolehkan memilih apakah akan melakoni hukuman tersebut atau
memakai baju dari kardus, seperti Kick Andy yang ditulisi I'm thief
atau saya pencuri. Ini untuk memberi rasa jera.

Di dalam RUU KUHP yang baru, tujuan pemidanaan disebutkan untuk
pemasyarakatan. Kalau ini gol, diharapkan polisi, jaksa, dan hakim
tahu apa itu pemasyarakatan.

Reformasi

Persoalan mengenai narapidana memang diakuinya sangat kompleks. Lelaki
yang akrab dengan lingkungan penjara itu (sejak belia memang sudah
sering berkunjung ke penjara) mengatakan, perlu ada reformasi di
bidang pemasyarakatan. Mengenai dari mana reformasi dilakukan,
perbaikan dilakukan secara simultan. Internal pemasyarakatan
diperbaiki, KUHP juga perlu diperbaiki. Apabila tidak, kata dia, akan
seperti bayi prematur karena induknya belum diperbaiki. 

Kirim email ke