Buletin Elektronik www.Prakarsa-Rakyat.org 
           
                  SADAR 

                  Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
                  Edisi: 65 Tahun III - 2007
                  Sumber: www.prakarsa-rakyat.org
                 

--------------------------------------------------------------
                 


                  GERAKAN MAHASISWA MENUJU PERUBAHAN YANG SESUNGGUHNYA



                  Oleh: Donal Banjarnahor [1]



                  Babak demi babak gerakan mahasiswa telah mengisi beberapa 
sejarah gerakan beserta konflik politik Indonesia. Sebagian dari gerakan 
tersebut seperti generasi 66 dan generasi 98 mampu menciptakan perubahan sampai 
pada perubahan penguasa (ruler), sebagian lainnya memang tidak mampu mencapai 
taraf tersebut tetapi layak disebut sebagai generasi gerakan karena mampu 
meningkatkan eskalasi konflik dengan penguasa dengan mobilisasi massa sehingga 
harus direpresif dengan keras oleh penguasa.



                  Tetapi dalam dasawarsa ini gerakan mahasiswa bukan lagi 
menjadi gerakan utama dalam gerakan perlawanan terhadap penguasa. Setiap 
golongan diferensiasi masyarakat yang terkena imbas kebijakan pemerintah yang 
tidak populis sudah mampu untuk mengorganisasikan diri untuk melawan 
pemerintah. Korban Lumpur panas Sidoarjo, Petani Pasuruan yang ditembak dengan 
brutal oleh TNI, Masyarakat Balong, Jepara yang menolak PLTN, masyarakat 
perkotaan yang digusur rumahnya hingga pedagang kaki lima yang "ditertibkan" 
hampir di seluruh kota di Indonesia. 



                  Gerakan perlawanan tersebut memang parsial yang terkait pada 
isu-isu yang spesifik dan cenderung apolitis. Tetapi kontinuitas kebijakan 
penguasa pro neoliberalisme yang menindas rakyat niscaya akan meningkatkan 
kesadaran rakyat untuk melawan kebijakan dengan dasar stratifikasi penindasan 
ekonomi politik (klas sosial) bukan lagi diferensiasi golongan yang sempit. 
Konsistensi gerakan jelas diperlukan dalam perjuangan. Tetapi untuk sampai 
kematangan, setiap sektor perlawanan memerlukan kontinuitas gerakan menuju 
persatuan masing-masing sektor. Persatuan kelompok masyarakat berdasarkan 
stratifikasi sosial sejenis akan menemukan inti yang lebih fundamental dalam 
gerakan perlawanan. Contoh yang terbaru gerakan buruh mampu melewati tahapan 
gerakan parsial dan berhasil membentuk perlawanan buruh nasional, yaitu Aliansi 
Buruh Menggugat (ABM) dalam melawan kebijakan neoliberalisme dalam bidang 
ketengakerjaan (Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan, UU Penyelesaian Hubungan 
Industrial dan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pesangon) dan gerakan 
petani juga bersiap menuju persatuan gerakan dengan memperjuangkan pembaharuan 
agraria dalam melawan neoliberalisme dalam bidang pertanian.



                  Kemajuan gerakan buruh dan petani di Indonesia saat ini 
ternyata tidak dialami oleh gerakan mahasiswa saat ini. Gerakan mahasiswa 
semakin mengecil, terpecah-pecah, dan seperti kehilangan panggung kejayaan 
paska menumbangkan Suharto. Hingga saat ini masih banyak organisasi mahasiswa 
terilusi oleh gerakan model 98 dan mendambakannya kembali terjadi. Pada 
dasarnya Gerakan Mahasiswa 98 bukanlah gerakan mahasiswa yang cukup progresif. 
Generasi 98 kembali mengulang kesalahan generasi 66 karena pertama, merupakan 
gerakan moral non partisan yang tidak memiliki visi yang jelas paska perubahan 
dan tidak menyelesaikan perlawanan; Kedua, eksklusivitas gerakan dengan menolak 
bergabung dengan sektor perlawanan lainnya; Ketiga, tidak ada kematangan 
gerakan berdasarkan ideologi perjuangan.



                  Generasi 98 tidak memiliki tujuan perubahan yang jelas atas 
Indonesia paska Suharto, beserta rumusan gerakan untuk mencapainya. Sehingga 
kegagapan pun terjadi ketika tuntutan utama turunkan Suharto sudah terpenuhi. 
Pada generasi 66 hal ini terjadi ketika Simposium "Kebangkitan Semangat 66 
Menjelajah Trace Baru" yang diselengarakan di UI pada 6-9 Mei 1966 yang konon 
katanya simposium terbesar yang pernah dilakukan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa 
Indonesia (KAMI) sebagai inti dari angkatan 66 serta Kesatuan Aksi Sarjana 
Indonesia (KASI) ternyata tidak melahirkan suatu platform perjuangan mahasiswa 
ataupun platform Indonesia Paska Soekarno. Istilah Orba sendiri baru lahir pada 
Tri Ubaya Cakti yaitu doktrin perjuangan Angkata Darat (AD) beserta platform 
Indonesia Paska Soekarno yang disimpulkan pada Seminar  AD II tanggal 25-31 
Agustus 1966. Generasi 98 dan 66 lebih memilih untuk menjadi gerakan moral non 
politik partisan.



                  Masih segar di ingatan kita sekitar Mei 1998, Gedung MPR 
diduduki hanya oleh manusia yang berjaket almamater karena secara nasional 
generasi 98 adalah gerakan yang menolak bergabung dengan gerakan perlawanan 
rakyat lainnya (buruh, tani dan kaum miskin perkotaan). Walaupun ada sebagian 
kecil kota yang sudah membangun gerakan multi sektoral. Sangat mustahil suatu 
gerakan revolusioner tidak dipimpin oleh pemimpin revolusioner. Sehingga 
radikaliasasi massa pada bulan Mei 98 menjadi kontraproduktif dengan hanya 
menghasilkan kerusuhan di banyak kota di Indonesia. 



                  Di luar permasalahan internal ada beberapa kondisi obyektif 
pada tahun 1998 yang memaksa mahasiswa untuk kembali mengulangi kesalahan 1966 
yaitu belenggu apolitisme kampus semenjak 1978 memaksa mahasiswa untuk tidak 
berorganisasi secara progresif sehingga koneksitas gerakan antar generasi juga 
tidak terjadi. Walaupun pertengahan 1997 kondisi revolusioner sudah tampak 
dengan krisis ekonomi beserta makin meningkatnya represi militer tetapi 
kematangan gerakan dengan evaluasi atas gerakan mahasiswa sebelumnya serta 
pembangunan ideologi gerakan sangat sulit dilakukan dalam waktu singkat (banyak 
organisasi tersebut baru lahir sekitar pertengahan 90-an). Selain itu represi 
yang begitu hebat dari rezim militer Suharto memaksa mahasiswa untuk mengambil 
tindakan-tindakan cepat dan cenderung reaksioner yaitu melawan dengan aksi 
demontrasi, sehingga upaya untuk pembacaan lebih matang akan situasi ekonomi 
politik Indonesia beserta perumusan strategi taktik gerakan tidak dilakukan. 
Efeknya kemudian, Indonesia diambil alih oleh Reformis Borjuis, tetapi 
persatuan mahasiswa juga tidak terwujud. 



                  Baru mulai paska 98 lahir beberapa organisasi mahasiswa 
nasional progresif yang terbentuk atas persatuan komite-komite aksi yang 
tersebar di kota-kota di Indonesia seperti Liga Mahasiswa Nasional untuk 
Demokrasi (LMND), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Front Perjuangan Pemuda 
Indonesia (FPPI), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) dan sebagainya. Di beberapa 
kota organisasi-organisasi tersebut dapat mengimbangi gerakan mahasiswa yang 
dipelihara selama rezim Orba berkuasa. Tetapi hanya berjarak tahunan beberapa 
organisasi mulai mengalami friksi internal dan kemudian terpecah-pecah kembali.



                  Perpecahan gerakan mahasiswa progresif merupakan sejarah yang 
sudah terjadi dan tidak perlu disesali dengan percuma. Ada banyak alasan kenapa 
organ-organ itu memisahkan diri. Tetapi perpecahan itu yang akan membuktikan 
bahwa gerakan mahasiswa kiri bukanlah gerakan yang akan mempertahankan simbol 
atau organisasi dan melupakan tujuan dan prinsip-prinsip perjuangan. Friksi dan 
perpecahan adalah bukti sekaligus ujian dalam dinamisasi gerakan mahasiswa 
progresif dalam wacana tentang gerakan dan perubahan. Dinamisasi tersebut 
memang anti klimaks, tetapi yang tidak bisa dihindari dari dinamisasi 
organ-organ tersebut adalah konsolidasi kembali dilakukan paska perpecahan. 
Karena konsolidasi adalah kebutuhan bersama organisasi mahasiswa yang mengaku 
progresif untuk menuntaskan perubahan.



                  Kebutuhan akan konsolidasi! bukan hanya demi pembesaran 
gerakan tetapi juga ujian bagi organisasi progresif yang demokratis dalam 
menjalankan prinsip-prinsip dan mekanisme organisasi. Perbedaan pemahaman dan 
wacana atas sebuah gerakan progresif dapat dijembatani dalam diskusi dan 
perdebatan dalam sebuah niatan konsolidasi gerakan. Konsolidasi juga dapat 
melahirkan sebuah organisasi yang mapan bukan hanya mampu melakukan aksi massa 
tetapi juga mampu melakukan pendidikan dan propanda dalam perjuangan yang 
terintegrasi dengan rakyat pekerja dalam perjuangan kaum buruh. Konsolidasi 
juga merupakan bukti kematangan sebuah gerakan mahasiswa dalam bekal menuju 
unifikasi gerakan rakyat dengan sektor-sektor perlawanan lainnya (buruh, tani, 
kaum miskin perkotaan, nelayan) dalam mewujudkan revolusi yang sesunguhnya.


                    

--------------------------------------------------------------


                  [1] Penulis adalah Ketua Komite Mahasiswa dan Pemuda untuk 
Perubahan (KMPP), Solo.








                 
                    
           
            [EMAIL PROTECTED]    
     





[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke