http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/01/ekonomi/3885654.htm ===================
Komitmen kami tetap tinggi, yakni bagaimana kami bisa berpartisipasi aktif mengurangi pemanasan global. Komitmen itu sudah menjadi prinsip The Philips Way," kata Rob Fletcher, Presiden Direktur PT Philips Indonesia. Oleh karena itu, perusahaan ini terus mengembangkan teknologi dan inovasi, agar menghasilkan produk yang bisa didaur ulang. Dengan demikian, saat produk tersebut sudah tidak berfungsi dan dibuang ke lingkungan, tidak berdampak buruk. Komitmen itu pula yang mengantar bisnis Philips merambah dunia. Acuannya terhadap lingkungan pun jelas. Tahun 1970 Philips berpartisipasi dalam Club of Rome. "Tahun 1994 kami membuat program The Environmental Opportunity. Tahun 1998, Philips berhasil menyabet International Corporate Environmental Achievement dan memperkenalkan program Ecovision yang pertama di dunia," kata Rob. Hal yang perlu digarisbawahi, kata dia, adalah Philips mengambil berbagai inisiatif untuk mengurangi konsumsi energi dan emisi gas buang CO>sub<2>res<>res<. Sejak tahun 1970, Dewan Direksi Philips telah memformulasikan beberapa program yang berkaitan dengan lingkungan. Melalui target yang jelas terhadap produk dan proses, program ini telah membantu Philips untuk melakukan perbaikan yang terus-menerus. Pada tahun 2006 kapasitas produksi gelas Philips naik 27 persen dibandingkan dengan total produksi tahun 2005. Hal itu yang membuat semua pekerja Philips, yang dikenal pekerja keras, disiplin, dan berdedikasi tinggi, bangga. Dalam arti, kendati ada kenaikan pasar, penggunaan energi secara spesifik (giga joule/1.000 output) mengalami penurunan sebesar 16 persen. Demikian juga dalam hal menekan emisi CO>sub<2>res<>res<. Pada tahun itu emisi CO>sub<2>res<>res< per kilogram mengalami penurunan sebesar 14 persen. Semua ini hasil positif dari program Ecovision. Wajar apabila Philips pun berbangga. Namun, yang lebih bangga adalah para green belt ataupun semut pekerja PT Philips Lighting Surabaya. Mereka tak hanya membuat industri lampu Philips di Surabaya masuk tataran world class company, tetapi juga memberikan kontribusi ekonomi dan perbaikan lingkungan bagi dunia. Saat ini Royal Philips Electronic Belanda adalah pemimpin global di bidang produk elektronik kesehatan, gaya hidup, dan teknologi. Philips bermarkas di Belanda dengan total 124.300 pekerja di lebih dari 60 negara di dunia. Tahun 2006 total penjualannya 27 miliar euro. Surabaya tembus dunia Menurut General Manager PT Philips Lighting Surabaya Andrian Nicolas, pabrik ini didirikan tahun 1940. Awalnya pabrik ini memproduksi lampu pijar. Pabrik ini terus mengalami perkembangan, yakni pada tahun 1970 menambah kapasitas produksi lampu neon. Tahun 1995 pabrik Philips Surabaya berhasil membuat produk yang bebas timbal. Atas keberhasilan itu, manajemen Philips dunia memberikan kesempatan kepada pabrik tersebut untuk memasok komponen, lampu pijar, dan neon, ke seluruh pasar Asia Pasifik. Saat ini, kata Adrian, pabrik Philips Lighting Surabaya dikenal sebagai pabrik kelas dunia dalam lingkungan bisnis Philips. Bahkan pabrik di Surabaya ini memiliki operasi produksi terbesar dan rumit dengan 500 jenis dan 160 tipe produk untuk memasok pasar dunia. Fokus ke depan Philips, kata Adrian, adalah menghasilkan produk yang hemat energi, yang dikenal dengan lampu hemat energi (LHE). Kesadaran masyarakat akan adanya peningkatan biaya dan pemanasan global kian kuat. Jadi kebutuhan lampu hemat energi ini meningkat 25 persen setiap tahun. Namun, upaya pemahaman soal produk hemat energi di masyarakat ini belum sepenuhnya benar. Senior Marketing Manajer Hendra Rusmana Liu menuturkan, banyak produk hemat energi di pasaran yang bermutu rendah. "Mereka memanfaatkan hanya peluang harga murah untuk jangka pendek, tetapi pada jangka panjang justru merugikan. Produk di bawah standar ini masih lemah pengawasannya. Akibatnya, masyarakat yang dirugikan. Misalnya LHE di bawah standar ini keselamatannya tak terjamin, mudah rusak, dan berisiko konslet," kata Hendra. Oleh karena itu, kata Rob Fletcher, pemerintah harus serius mempersiapkan penggalakan LHE untuk menghemat energi. Upaya ini harus diikuti penerapan standar minimum untuk melindungi konsumen. Perhatian itu mendesak, tutur Hendra, agar industri yang menerapkan standar minimum produk yang telah berinvestasi besar terlindungi. Dengan demikian, akan banyak lahir industri yang kuat di bidang perlampuan dan menekan munculnya petualang yang sekadar memanfaatkan kelemahan masyarakat dengan menjual produk murah, tetapi di bawah standar. (banu astono)