http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/14/utama/3988155.htm
=======================

Diplomasi kebudayaan dalam arti yang sesungguhnya terjadi pada Minggu
(11/11) malam di Kuala Lumpur Convention Centre. Dan itu dilakukan
dengan cerdik oleh seorang wanita yang bukan diplomat, tapi oleh
seniman yang sehari- hari adalah instruktur (musik) angklung.

Lewat pergelaran angklung interaktif pada salah satu sesi "Malam
Budaya Indonesia" di ibu kota negeri jiran tersebut, Ika Widyaningsih
dari Saung Angklung Mang Udjo mengajari para undangan dari Malaysia
tentang bagaimana seharusnya bermain angklung. Padahal, di Malaysia,
seni tradisi ini sudah diklaim sebagai musik nasional kerajaan dengan
label music bamboo malay dan (konon) tengah diupayakan untuk mendapat
pengakuan UNESCO.

Di antara tamu kehormatan yang hadir adalah Menteri Kebudayaan
Kesenian dan Warisan Nasional Kerajaan Malaysia Dato’ Sri Rais Yatim.
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Jero Wacik, Dirjen Nilai Budaya
Seni dan Film Mukhlis PaEni, serta Halim Kalla dari Kadin Indonesia
Komite Malaysia ikut duduk mendampingi Dato’ Sri Rais Yatim dalam satu
meja.

Sebelum "permainan" dimulai, pemain-pemain angklung dari Saung
Angklung Mang Udjo membagikan suvenir berupa sebuah angklung kepada
setiap penonton. Dari atas panggung, Ika dengan fasih menuntun mereka
bagaimana cara memegang dan membunyikan angklung yang benar. Dato’ Sri
Rais Yatim bersama istri juga mengikuti peragaan Ika, yang kemudian
disusul instruksi tentang bagaimana posisi dan cara menggerakkan
angklung agar menghasilkan nada-nada dasar musik yang diinginkan.

Sebagian besar undangan terlihat hanyut mengikuti instruksi Ika.
Mereka seperti menikmati permainan baru dari alat musik bambu yang
sederhana, tetapi sungguh menakjubkan karena ternyata mampu
menghasilkan nada-nada musik yang inspiratif dan menawan.

Awalnya, beberapa lagu dimainkan dengan tertatih-tatih. Sekitar 200
undangan semula kikuk memegang dan menggoyang-goyangkan alat musik
bambu tersebut. Beberapa di antaranya bahkan tampak frustrasi, lalu
meletakkan angklungnya di meja, sebelum akhirnya ikut kembali
"bergabung" sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Di sinilah kepiawaian Ika Widyaningsih sebagai instruktur. Berkat
pengalamannya selama bertahun-tahun sebagai instruktur, Ika mampu
membangkitkan minat para "pembelajar" angklung untuk mengikuti setiap
gerakan jari tangannya guna menemukan nada yang pas, sesuai irama lagu
yang dimainkan.

"We are the best. Semoga dengan angklung persahabatan
Indonesia-Malaysia tetap jaya," kata Ika memuji, setelah lagu Falling
in Love dalam iringan musik angklung yang dimainkan secara interaktif
itu mengumandang, dan diakhiri aplaus meriah.

Bermakna ganda

Misi kesenian yang diusung lewat program "Jembatan Budaya
Indonesia-Malaysia" pada Minggu malam lalu sesungguhnya memiliki makna
ganda. Di satu sisi, "Malam Budaya Indonesia" itu sebagai ungkapan
persahabatan di antara kedua negara sebagai bangsa serumpun. Di sisi
lainâ€"diakui atau tidakâ€"misi kesenian Indonesia kali ini juga untuk
mengingatkan Malaysia pada etika dan nilai persahabatan yang hakiki.

Tindakan Malaysia dalam beberapa waktu terakhir terhadap bangsa
Indonesia sempat menyulut sentimen negatif di Tanah Air. Hal itu
terjadi lantaran sikap dan/atau langkah yang mereka tempuh dirasakan
telah menyinggung harga diri dan martabat bangsa Indonesia.

Khusus di bidang kebudayaan, kegalauan itu dipicu klaim sepihak
Malaysia atas produk-produk budaya Indonesia. Dalam kasus pematenan
batik oleh Malaysia, misalnya, meski hanya menyangkut motifnya, citra
yang kemudian mendunia akhirnya bisa memunculkan anggapan bahwa batik
secara keseluruhan adalah milik Malaysia.

Begitu pun klaim Malaysia terhadap angklung, yang mereka pasarkan
lewat dunia perpelancongannya sebagai music bamboo malay. Bukan tidak
mungkin klaim ini akan meminggirkan posisi angklung di pergaulan
antarbangsa lantaran Indonesia bisa dianggap sebagai pengekor.

"Padahal, dari sejarah dan penelitian yang kami lakukan, angklung
benar-benar musik tradisi asli Indonesia," kata Satria Yanuar Akbar,
Direktur Operasi Saung Angklung Mang Udjo.

Angklung merupakan alat musik yang berasal dari Jawa Barat. Angklung
gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak
lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi.
Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke Bumi
agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.

Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero
Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi
kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan
angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.

Bahkan, sejak 1966, Mang Udjoâ€"tokoh angklung yang mengembangkan teknik
permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madendaâ€"mulai
mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari
berbagai komunitas. Termasuk mereka yang berasal dari Malaysia.

Kini, setelah Malaysia menyatakan angklung sebagai musik nasional
kerajaan, keinginan dari pemerintah negeri jiran itu untuk
mendatangkan instruktur dari Saung Angklung Mang Udjo terus
berdatangan. Dengan iming-iming gaji besar, mereka ingin agar dibentuk
komunitas music bamboo malay di sana, lalu minta juga diajarkan
bagaimana cara bermain angklung.

"Ika sebagai murid senior Mang Udjo beberapa kali ditawari pindah ke
Malaysia. Namun, hingga sejauh ini kami hanya memberikan jawaban
diplomatis: belum ada waktu. Kami sebetulnya juga ingin menyebarkan
angklung ke seluruh dunia. Tapi, pada saat bersamaan apa tindakan
pemerintah untuk memagari agar angklung tetap jadi milik kita?" kata
Satria.

Atau, boleh jadi pandangan Mang Udjo (alm) terhadap masa depan
angklung beberapa tahun lampau benar-benar akan jadi kenyataan. Bahwa,
"Mungkin bangsa yang dihargai (dunia) adalah yang memelihara budaya,
bukan yang menciptakannya". Jika itu yang terjadi, masih pantaskah
kita bersikukuh untuk berkata kepada Malaysia: "Jangan ambil angklung
kami, Pakcik…." (ken)



Kirim email ke