Memang Semarang belum ada pas jaman Cheng Ho, kemungkinan Cheng Ho 
mendarat di Lasem. Keberadaan Semarang tak lepas dari politik Djaka 
Tingkir (Sultan Hadiwidjojo) untuk memperluas pelabuhan Mayong,  
Jepara. Jadi ini jauh sesudah Cheng Ho masuk Jawa.

Semarang sendiri didirikan oleh putra Lembu Petheng Brawidjaja V, 
namun kebenaran ini masih disangsikan. Yang jelas Adipati Semarang 
Pertama adalah Pandanaran I yang juga merupakan nenek moyang saya 
dari garis Ibu dan dimakamkan di Tembayat, Klaten.

Pasarean Tembayat itu dulu pernah diserang Sultan Agung, saat 
pemerintahan Panembahan Rama atau Raden Ambalik yang juga merupakan 
keturunan Pandanaran. Akhirnya Panembahan Rama kalah dalam 
pertempuran di Jabalkat, dan ada kesepakatan damai di pelataran 
Pesaraen yang kemudian dinamakan Paseban. Pasarean itu kemudian 
dibangun megah oleh Sultan Agung sebagai simbol penghormatan pada 
Pandanaran yang juga murid utama Sunan Kalidjogo.

Pandanaran sendiri lebih dikenal sebagai alim ulama yang 
mementingkan syari'at dan fiqh ini jelas berbeda dengan Trah 
Pengging yang lebih pada wilayah Sufistik bergaya djenarisme.

Kisah-kisah asal nama daerah (toponomi) Boyolali, Salatiga, Wedi 
(daerah Klaten dekat Tembayat) adalah kisah menarik tentang Sunan 
Pandanaran ini. Sunan Pandanaran ini juga masuk sebagai salah satu 
sidang Dewan Wali Songo, yang konon menggantikan kedudukan Sjeh Siti 
Djenar setelah Djenar dipecat keanggotaannya karena serangan Sunan 
Kudus.

ANTON 




--- In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, Wal Suparmo 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Salam,
>   Dalam KOMPAS tgl 7 Apil 2008 kolom RITUAL: Antara  Fakta Sejarah 
dan Legenda Sang Laksamana, disebut adanya 3 teori mengenai 
perjalanan Chen Ho . Sebagaimana diketahui dalam artikel itu ditulis 
bahwa menurut cacatan sejarah tradisional Cina yang a.l.ditulis oleh 
Ma Huang(sekretaris Cheng Ho) dan seorang sejarawan Cina yang 
bernama Yuanzi, yang pertama menyatakan tidak ada catatan tentang 
perjalanan Cheng Ho  di Semarang( tidak pernah singggah) dan teori 
yang mengatakan adanya salah satu kapal tetapi bukan kapal Cheng Ho 
yang mampir di Semarang atau pelabuhan lain di sekitarnya.
>   Karena  waktu itu Semarang belum ada, mustahil Cheng Ho akan 
mengambil perbekalan dari tempat yang tak berpenghuni.Chen Ho telah 
singgah di salah satu pelabuhan kerajaan yaitu Tuban (Majapahit) 
atau Japara(Demak ).
>   Jadi dari fihak Cina sendiri tidak pernah ada yang menudukung 
teori bahwa Cheng Ho pernah mampir di Semarang.Sementara itu  satu 
teori saja  yang dikemukakan orang Indonesia yang mendukung Cheng Ho 
singgah di Semarang yaitu dari M.O.Parlindungan dalam bukunya  
Tuanku Rao.
>   Dibawah ini disampaikan pula tulisan dari Saifur Rochman( 
pacasarjana Ilmu Susastra UI)
>    
>   Cheng Ho Tak Mampir di Semarang 
>   §         SELALU DISEBUT BAHWA  Kelenteng Sam Po Kong sebagai 
jejak kesejarahan yang memperkuat mampirnya Cheng Ho di Gedongbatu, 
Semarang . Bisa diberikan keterangan pendek sebelum tulisan ini 
dipaparkan, kiranya tidak bisa dibayangkan bila pada awal muhibah 
pada 1405 Cheng Ho langsung menuju Semarang sebagai target 
perjalanan. Padahal menengok Semarang pada awal abad ke-15 adalah 
daerah tak bertuan, karena Kerajaan Demak belum tampil dan Majapahit 
masih menjadi bermahadiraja. Baru pada 1478 M tercatat sebagai tahun 
pendirian Kerajaan Demak. 
>   Karena itu, betapapun besarnya perayaan yang akan dilangsungkan 
7 Juli 2005 di Kelenteng Sam Po Kong, tetap saja harus dibaca 
sebagai upaya memperkukuh dua pengandaian. 
>   Pertama, andai saja muhibah itu terjadi pada 1405, dan andai 
saja laksamana muslim yang hidup pada Dinasti Ming itu memang 
berkunjung ke Semarang . Perihal pengandaian pertama, laporan paling 
mutakhir diturunkan majalah Time berjudul "Out to Sea with The Great 
Ship" (edisi 20-27 Agustus 2001). Laporan itu diawali dengan kalimat 
mirip puisi tentang kebesaran Cheng Ho yang mampu melawan badai, 
rasa sakit, dan keadaan yang tidak menentu di tengah-tengah samudera.
>   Di tengah-tengah puisi, penulis Tim McGirk menyatakan dengan 
tegas, "More than 300 vessels with some 30.000 men sailed in the 
first imperial expedition in 1405 (kolom 1)." Karena itu, dikatakan 
bahwa Cheng Ho adalah penjelajah pertama kali dan memiliki awak 
terbesar sepanjang sejarah. Untuk memperkuat dugaannya, kemudian dia 
membandingkan dengan penjelajah lain setelah itu. Setelah ekspedisi 
pertama Cheng Ho pada 1405, Christopher Columbus baru melakukan 
penjelajahan pada 1492 dan menemukan daratan Amerika. Setelah 
Columbus, Vasco da Gama yang berkebangsaan Portugis memulai pada 
1497, Ferdinand Magellan berkebangsaan Portugis baru pada 1519, dan 
Francis D Frake berkebangsaan Inggris menjelajah pada 1567. 
>   Alih-alih disamai, separuh kapal dan awak kapal yang dibawa 
Cheng Ho itu pun tetap lebih besar dibanding para penjelajah 
setelahnya. Cheng Ho adalah kata kunci bagi sejarah kebesaran China 
yang bisa ditemui jejaknya di pelbagai belahan Nusantara.
>   Perihal pengandaian kedua, teks kontemporer yang bisa dirujuk 
adalah novel Remy Silado bertajuk "Sam Po Kong: Perjalanan Pertama" 
(2004). Ceritera yang pada mulanya sebagai cerbung (cerita 
bersambung) di Suara Merdeka (2003) itu mengisahkan perjalanan 
seorang jenderal besar bernama Cheng Ho ke Semarang . Cerita ini 
dilatarbelakangi oleh kesadaran historis, yang tidak sekadar 
berpegang pada deskripsi geografis yang bersifat diakronis, tetapi 
juga mitos-mitos yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
>   Sebuah dialog menarik terjadi antara Laksamana Cheng Ho dengan 
syahbandar pelabuhan Quinh No. Disebutkan oleh pencerita, pelabuhan 
tersebut merupakan pertemuan antara China selatan dengan Nusantara 
(2004: 124). Sebelum berpamitan, syahbandar sekali lagi menanyakan 
kepergiannya. Dengan mantap Cheng Ho berujar bahwa dia bersama 
ratusan awak kapalnya akan berlabuh ke Asem Arang. Perhatikan, idiom 
yang disebut penutur merujuk pada etimologi Kota Semarang, 
sebagaimana masyarakat Kota memercayai morfofonemik "Semarang" 
berasal dari dua morfem "Asem" dan "Arang" (Bahasa Jawa: pohon asam 
yang jarang).
>   Kedatangan Cheng Ho di Asem Arang itu semakin diyakinkan melalui 
konflik dengan kekuasaan Majapahit, terutama dengan Raja 
Wikramawardhana. Berbeda dengan cerita yang berkembang di 
masyarakat, bahwa Sam Po Kong adalah gelar Cheng Ho sebagai tokoh 
yang dipuja. Dalam cerita ini Sam Po Kong digambarkan sebagai anak 
buah Raja Majapahit yang siap mengadang Laksamana kapan saja, dan Wu 
Ping selaku pengikut setia Laksamana akan siap membela atasannya 
sampai mati.
>   Narasi yang dibangun Silado bukanlah paparan yang semata-mata 
ditelorkan dari angan-angan yang lepas dari kenyataan. Bila gagasan 
Hans Robert Jauss tentang perspektif kesejarahan dalam karya sastra 
itu bisa diterapkan, maka novel Sam Po Kong -sekalipun tidak bisa 
dijadikan sebagai data sejarah- adalah butir-butir kenyataan yang 
diikat melalui serangkaian mitos-mitos agar tafsir bisa berjalan.
>   Ketidakpastian
>   Armada yang dimpimpin Laksamana Cheng Ho disebut-sebut menyamai 
armada Jepang dan Spanyol selama Perang Dunia II. Kapal yang 
digunakan sang Laksamana memiliki panjang sekitar 130 meter, lebar 
60 meter, dan digerakkan dengan teknologi kelautan yang begitu 
canggih pada masanya. Dengan 300 kapal, sebagaimana dicatat oleh WP 
Groenevelt, seorang Chinolog dan Indonesiolog, dalam Notes on the 
Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinesse Source (1877), 
Cheng Ho melakukan pelayaran selama tujuh kali selama 25 tahun, 
yakni antara 1407-1432. Jumlah pelayaran itu dibenarkan pula oleh 
catatan Melayu yang bertajuk Tuanku Rao (1964) oleh MO Parlindungan. 
Akan tetapi, baik catatan Melayu maupun sumber Groenevelt yang 
berasal dari China daratan tidak memastikan tahun-tahun Cheng Ho 
berlabuh. 
>   Ketidakpastian tahun-tahun keberangkatan itu sama tidak pastinya 
dengan tempat-tempat yang disinggahi, terutama ketika harus menyebut 
Kota Semarang. Gedongbatu, Kecamatan Semarang Barat, yang saat ini 
berada sekitar 15 km dari bibir laut disebut-sebut sebagai tempat 
pendaratan Cheng Ho dan balatentaranya.
>   Hal itu konon terbukti dengan hadirnya Kelenteng Sam Po Kong 
yang disebut-sebut sebagai petilasan Cheng Ho. Keislamannya 
dibuktikan dengan adanya makam Islam di sisinya yang dipercayai 
sebagai juru mudi sang Laksamana. Ceritera yang turun-temurun itu 
setidaknya dikukuhkan oleh Amen Budiman melalui Semarang Riwayatmu 
Dulu (1978). Menurutnya, jenazah yang beristirahat di bawahnya 
adalah Dampo Awang, juru mudi sang Laksamana yang memeluk agama 
Islam. 
>   Dalam mitologi Jawa, tokoh Dampo Awang selalu muncul di sejumlah 
tempat di pesisir utara pulau Jawa. Di Jepara, Rembang, dan Tuban 
dipercayai terdapat jangkar milik Dampo Awang.
>   Kecuali itu, sebuah argumentasi menarik dipaparkan HJ de Graaf 
dan Th Pigeaud, pakar sejarah Jawa yang disetarakan dengan Raffles, 
dalam laporan Chinesse Muslims in Java in the 15th Centuries: The 
Malay Annals of Semarang and Cerbon (1984). Dia mengkaji secara 
kritis Catatan Melayu yang disusun Parlindungan. Paparan kronologis 
itu berujung pada simpulan bahwa Laksamana Cheng Ho tidak pernah 
mampir di Semarang . Argumentasi ini didasarkan atas dua hal. 
Pertama, tidak ada bukti-bukti tertulis, baik dalam Catatan Cina 
maupun dalam Catatan Melayu tentang persinggahan Sang Laksamana. 
Kedua, tidak ada satu situs pun yang "mencurigakan" sebagai jejak-
jejak mereka sehingga bisa menyakinkan. De Graaf berulang kali 
menandaskan dalam simpulannya, "Kapal Cheng Ho meninggalkan Fukkien 
bukan sebelum Januari tahun 1414 (ini adalah awal ekpedisi 
keempatnya) dan Ma Huan (juru bahasa muslim dan pembantu sang 
Laksamana serta penulis jurnal ekspedisi) tidak menyebut Kota 
Semarang di antara
>  empat kota Jawa yang dia sebutkan, sehingga pernyataan bahwa 
Cheng Ho di Semarang selama satu bulan tidak mungkin benar (2004: 
56)."
>   Pernyataan tersebut tidak mengagetkan, karena Semarang pada abad 
ke-15 adalah sebuah wilayah yang "tidak dikenal" oleh para pendatang 
asing, karena letaknya menjorok ke dalam dan tidak ada daya tarik 
secara ekonomi dan politik. Pada masa itu, keruntuhan
>   Mahapahit pada awal abad ke-15 sekaligus memindahkan pusat 
pemerintahan dari Jawa Timur ke Demak; itu pun puluhan tahun setelah 
Cheng Ho meninggal sekitar tahun 1440. Kendati disinyalir kerajaan 
Majapahit masih beroperasi pada pemerintahan Ratu Suhita (1429-1447) 
sampai akhir abad ke-15, namun Demak berupaya melakukan klaim 
kemenangan dengan menuliskan candra sengkala untuk keruntuhan 
Majapahit yang berbunyi "sirna ilang kertaning bumi" (sirna= 0, 
ilang = 0, kertaning= 4, bumi =1), yang bisa dibaca sebagai tahun 
1400 Saka atau 1478 Masehi. 
>   Walhasil, menjadi jauh kemungkinannya bila Cheng Ho singgah di 
sebuah pesisir yang tidak ramai. Sebab, di samping pemerintahan 
Demak belum terbentuk dan pusat kekuasaan masih berada di bawah 
tampuk pemerintahan Raja Wikramawardahana, juga alasan perbekalan 
yang harus dipenuhi Cheng Ho sebelum berlayar kembali.
>   Justru satu-satunya kota di Jawa yang disebut dalam sumber China 
dan catatan Melayu adalah Jepara, sebuah kota kabupaten di pesisir 
utara Jawa Tengah, sekitar 78 km dari Semarang. Pada masa itu (abad 
ke-15), Kabupaten Jepara masih menjadi sebuah pulau dengan batas 
lautan berada di wilayah Demak. Kota itu telah menjadi pelabuhan 
internasional karena di sebelah utara Jepara terdapat pula situs 
peninggalan ekpedisi Alfonso Darlbuquerque berkebangsaan Portugis, 
diperkirakan pada abad ke-15. 
>   Lagi pula, kota Jepara bagi komunitas China bukanlah wilayah 
asing untuk persinggahan. Pada abad ke-8, para penjelajah China 
sudah mendiami kota di lereng gunung itu. Harian Locomotief yang 
terbit di Semarang pernah menurunkan artikel bertajuk "Japaraís 
Verleden" (Jepara di Masa Lalu) pada 4-5 Maret 1931. 
Disebutkan, "Jepara atau Djapara letaknja ada di tanah pegoenoengan 
Moeria . . . Satoe antara itoe warta penting jang terdapet di ini 
bilangan adalah kota dapetken satoe formulier soempah dalem 
Kawiorkonde tahun 762 Caka. Dari dalam tanah telah dapet digali 
banjak sekali persolein-porselein Tionghoa koeno yang indah. Di 
antara dongengan yang tersiar, ada ditjeritakan tentang satu pelgrim 
(pendita) Tionghoa doeloe telah diapatken katjilakaían dengan ia 
poenja kapal di Jepara, kemoedian di Welahan ia dapetken banyak 
moerid." 
>   Dengan alasan itu pula, Liem Thian Joe dalam Riwajat Semarang 
(Dari Jamannja Sam Poo Sampae Terhapusnja Kongkoan) (1931) menulis 
bahwa pendatang Tionghoa yang menetap di Semarang bukanlah Cheng Ho, 
melainkan Sam Po Tay Jien. Mereka berdua diutus oleh Dinasti Ming 
untuk mencari batu permata ke Nan Yang (Asia Tenggara). Adanya 
kelenteng di gua tersebut, katanya, menandai keberadaan komunitas 
Sam Po pada masa itu, sedangkan makam Islam yang terdapat tak jauh 
dari lingkungan kelenteng adalah juru mudi Sam Po yang beragama 
Islam. 
>   Keterangan Thian Joe tampak ahistoris dan bertolak belakang 
dengan de Graaf dan Catatan Melayu. Menurut de Graaf, kelenteng di 
Gedongbatu didirikan oleh Gan Si Cang, anak bupati Tuban Gang Eng Cu 
yang murtad dari Islam. Dia kemudian ditunjuk menjadi Kapitan Cina 
non-Islam di Semarang oleh bapaknya. Keterangan ini selaras dengan 
laporan Catatan Melayu, bahwa Gan Si Cang memiliki saudara bernama 
Kin San, yang pada akhirnya ditunjuk ayahnya untuk menjadi penguasa 
Islam di Semarang. Kin San di kemudian hari dikenal dengan nama Raja 
Husein. Pemerintahan Raja Husein ini memiliki jalur koordinasi 
dengan pemerintahan Demak yang dipegang oleh Jin Bun (Raden Fatah) 
yang masih satu saudara dengan Gan Eng Cu maupun Kin San. 
>   Bila melihat masa kekuasan Raden Fatah, maka Gan Si Cang, si 
Kapitan China non-Islam itu mestinya juga hidup pada masa itu dan 
menjadi wajar bila akhirnya membangun komunitas kelenteng di 
Gedongbatu, yang jauh dari pusat pemerintahan Islam. Adapun perihal 
makam Islam yang dikeramatkan itu bisa disusun keterangan bahwa 
pemukim di Gedongabtu bukanlah komunitas yang homogen, karena tidak 
semua pendatang China yang semula berada di Jepara pada abad ke-8, 
kemudian pindah ke Gedongabatu abad ke-15 dan ke-16, sampai akhirnya 
ke kawasan Johar pada abad ke-19, adalah penganut Kong Hu Cu. 
Apalagi masing-masing masa dipengaruhi oleh kekuasaan yang mampu 
melakukan subordinasi pada komunitas yang bernaung di bawahnya. 
>   Sulitnya, titik-titik terang historis yang diharapkan mampu 
membuka tabir kegelapan telah membeku menjadi mitos-mitos yang 
bertebaran di sana-sini atas nama peringatan dan perayaan. 
Perlawanan terhadap mitos adalah keberanian membongkar lapis demi 
lapis ketidaksadaran kolektif dan menata dalam satu jalinan yang 
lebih terang. Begitulah, catatan ini tidak bermaksud menutup 
kemungkinan perihal kedatangan Cheng Ho di daratan Semarang pada 
awal abad ke-15, tetapi keyakinan yang terlampau besar hanya akan 
menafikan data-fata yang berkeliaran di luarnya. 
>   Wasalam, 
>   Wal Suparmo
> 
>  Send instant messages to your online friends 
http://uk.messenger.yahoo.com 
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>


Kirim email ke