Koran Tempo, Selasa, 22 April 2008
Mohon Maaf, Ahmadiyah

Masykurudin Hafidz
Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Mohon maaf, Ahmadiyah. Kami memasukkan keyakinan dan keberadaan Anda sebagai
persoalan besar yang mengancam negeri ini. Daripada kemiskinan, kelaparan,
kenaikan harga bahan pokok, serta biaya pendidikan yang makin mahal, kami
lebih suka memilih Anda sebagai sasaran pekerjaan. Keseriusan kami
semata-mata karena ini menyangkut keyakinan; sesuatu yang sangat prinsipil
bagi setiap umat manusia.

Bertahun-tahun kami dikondisikan untuk selalu curiga terhadap lain
keyakinan. Ibarat musuh dalam selimut, ia lebih berbahaya karena bisa
menyerang siapa saja dan kapan saja. Kami tidak terbiasa untuk terbuka dan
mempelajari dengan serius sistem keyakinan lain tanpa harus takut
terpengaruh karenanya. Sebagai mayoritas, justru yang kami lakukan adalah
membuat Anda merasa tidak aman, tidak nyaman dan tidak bebas menjalankan
ibadah serta kegiatan sehari-hari.

Memangnya kenapa kalau kebebasan Anda untuk beribadah kami ambil alih? Kami
ini sangat sensitif terhadap agama di luar agama resmi sehingga selalu
berusaha untuk melarang dan menutup tempat ibadah Anda. Kami merasa berhak
untuk menentukan status keyakinan Anda. Apa yang kami hakimi sebagai sesat,
itu berarti kami boleh menghilangkan hak sebagai warga dalam mendapatkan
perlindungan di negeri ini.

Kami menutup mata terhadap sumbangan Anda kepada kemanusiaan (humanity
first). Jaringan yang sangat luas tersebar di belahan bumi membuat Anda
mampu menyalurkan bantuan terhadap kemiskinan, pendidikan, dan korban
bencana. Di Indonesia, jumlah anggota organisasi Anda yang hanya lima ratus
ribu sanggup mengumpulkan puluhan miliar setiap tahun. Anda juga punya
televisi yang berpusat di Inggris sehingga dunia dapat melihat bahwa
Indonesia adalah negeri yang damai, terbuka dan kondusif untuk investasi.

Tetapi inilah kami. Kesepakatan kita bahwa di negara ini tidak ada yang
boleh didiskriminasi tiba-tiba kami ingkari. Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak lagi kami
jadikan sabuk pengaman bagi integrasi bangsa. Negara sebagai penjamin atas
hak-hak bagi setiap warga, termasuk Anda, lalai dan sengaja membiarkan saat
Anda menjadi sasaran kesewenang-wenangan.

Mohon maaf, Ahmadiyah. Kami tidak bisa menerima perbedaan. Kami tidak
menganut pluralisme karena paham itu datang dari luar. Kami punya keyakinan
sendiri yang sesuai dengan ajaran kami. Kami bisa melakukan larangan dan
melakukan tindakan kekerasan jika tidak sesuai dengan keyakinan kami. Tuhan
pasti berada di pihak kami karena kami yang paling benar. Kami adalah
khalifah Tuhan yang diperintah untuk meluruskan keyakinan Anda.

Tidak bisa kami menghentikan perhatian terhadap masalah perbedaan keyakinan
karena hal itu menjadi faktor yang membuat bangsa ini dalam bahaya. Kami
lupa bahwa negeri ini adalah salah satu negeri paling plural di dunia
sehingga kesatuan akan tumbuh jika masing-masing keyakinan dihormati.
Persatuan Indonesia yang menuntut bahwa setiap orang berhak beragama dan
menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya, entah itu sesuai atau tidak
dengan keyakinan yang lain, tiba-tiba kami singkirkan.

Itulah kenapa kami menyerang masjid-masjid tempat Anda beribadah. Padahal
ajaran kami mengatakan, kami tidak boleh menyakiti orang lain tanpa alasan
apa pun. Tidak boleh menyerang orang lain kecuali sekadar mempertahankan
diri. Bahkan ketika orang lain menyerang kami tiba-tiba meminta
perlindungan, wajib hukumnya bagi kami untuk melindunginya.

Perlindungan terhadap orang lain tanpa memandang keyakinan sering kali kami
temui dalam ajaran kami. Kami masih ingat saat Rasulullah Muhammad menerima
para tamu yang datang dari kelompok yang berkeyakinan lain di masjid
Madinah. Saat rombongan tersebut meminta izin keluar untuk melakukan
kebaktian justru Rasulullah mempersilakan untuk beribadah di Masjid Nabawi.
Masjid justru digunakan untuk menerima dan membangun toleransi antaragama.

Bahkan dengan sangat tegas Rasulullah menjamin jiwa, harta, dan agama para
penganut keyakinan di luar keyakinannya. Ia mendeklarasikan Piagam Madinah
sebagai undang-undang bersama untuk hidup berdampingan secara damai dan
toleran. Kami tahu, di dalam piagam tersebut dijelaskan bahwa masyarakat
yang hidup di Madinah saat itu, yaitu Islam, Yahudi, dan Kristen, disebut
sebagai satu umat (ummatan wahidah). Isi piagam tersebut juga memuat untuk
mengemban tanggung jawab yang sama dalam menghadapi tantangan dari luar.
Tidak boleh ada diskriminasi, siapa pun yang berada di Madinah harus
dilindungi serta tidak boleh ada yang terluka, apa pun keyakinannya,
bagaimanapun latar belakangnya.

Di negeri tercinta ini, kami juga mengerti bahwa Undang-Undang Dasar 1945
kita menegaskan bahwa jaminan konstitusional tentang hak untuk hidup, untuk
tidak disiksa, untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, untuk beragama,
untuk tidak diperbudak, dan untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Demikian pula, kami tahu bahwa bangsa ini telah menjadi bagian dari
masyarakat internasional yang meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia lewat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Bahkan bangsa ini juga
sudah mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
melalui UU Nomor 12 Tahun 2005. Kedua ketentuan tersebut menegaskan jaminan
negara atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Namun, ajaran dan teladan Rasulullah begitu jauh dari kami. Tidak perlu ada
kesesuaian ajaran dan undang-undang dengan tindakan sehari-hari. Juga
kesepakatan kita dalam menjalankan roda kehidupan bangsa ini tiba-tiba
seperti angin lalu. Tugas kami sebagai pengayom seluruh anak bangsa tanpa
diskriminasi kami abaikan. Kami diam saja, bahkan ikut menyuburkan praktek
diskriminasi dan penafian atas hak-hak kebebasan berkeyakinan. Padahal, itu
hak paling asasi yang dianugerahkan Tuhan. Semangat kebangsaan kami memang
sedang defisit. Kami gampang terpengaruh oleh isu-isu murahan dan
sentimental.

Mohon maaf, Ahmadiyah. Kami tidak mampu melindungi Anda. Kami tidak bisa
menjamin jika suatu saat rumah atau masjid Anda akan diserang. Sekali lagi,
mohon maaf.
_




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke