Oleh Hermawan Kartajaya 
http://kompas.com/read/xml/2008/09/20/00063763/why.men.lie.and.women.cry



MENGAPA pria berbohong dan wanita menangis? Itulah yang ditanyakan
Allan Pease dan Barbara Pease, dan sekaligus menjadi judul salah satu
buku laris mereka. Selain buku itu, keduanya juga menulis buku-buku
laris lainnya yang judulnya “serupa tapi tak sama”, seperti: Why Men
Don’t Have a Clue and Women Always Need More Shoes, Why Men Can Only
Do One Thing at a Time and Women Never Stop Talking, dan Why Men Don’t
Listen and Women Can’t Read Maps.

Nah, dari judulnya saja sudah ketahuan kalau kedua penulis jelas-jelas
ingin memperlihatkan adanya perbedaan mendasar antara pria dan wanita.
Sebagai marketers, kita memang harus bisa memperhatikan dengan cermat
karakter pria dan wanita ini. Merekalah pelanggan kita. Kalau sampai
salah membacanya, akan sulit bagi kita untuk menjual produk kita
kepada mereka.

Kembali ke judul di atas. Memang ada pernyataan yang bernada guyon,
wanita itu sering menangis ketika mengetahui pasangan prianya bohong.
Tapi sebaliknya, pria terpaksa bohong karena takut pasangan wanitanya
malah menangis dan jadi emosional tidak karuan kalau diceritakan
kenyataan yang sesungguhnya. Ruwet, kan?

Wanita memang dianggap lebih emosional ketimbang pria. Namun jangan
salah, di era New Wave Marketing ini, pria pun jadi lebih emosional.
Seperti sudah saya uraikan dalam buku Marketing in Venus, pria memang
diuntungkan dengan kemajuan teknologi saat ini. Pria dulu dikenal
sulit untuk mengekspresikan perasaannya; bukan karena mereka tidak
memiliki emosi, tetapi karena pria kadang tidak tahu bagaimana cara
mengungkapkannya.

Bagi kaum pria, merangkai kata-kata dan mengungkapkan perasaan
bukanlah pekerjaan gampang. Dibutuhkan ketrampilan khusus untuk
melakukan hal itu. Mereka lebih mudah mengungkapkan emosi dengan
simbol-simbol, tidak secara terang-terangan.

Nah, dengan adanya teknologi seperti SMS yang memungkinkan
pengungkapan isi hati tanpa perlu bertatap muka, kaum pria jadi lebih
mudah mengungkapkan emosi dan perasaannya. Selain itu, secara
biologis, pria memang lebih fokus. Pria sulit untuk memecah-mecah
pikiran dan ngobrol dengan beberapa orang sekaligus karena mereka
perlu berkonsentrasi penuh.

Namun, berkat adanya teknologi chatting, saat ini pria sudah bisa
ngobrol dengan beberapa orang sekaligus dengan hanya terfokus kepada
satu layar saja. Pria jadi lebih mampu berbagi cerita dengan orang
lain. Dan tak hanya itu, teknologi chatting ini juga memungkinkan pria
memperhatikan detail pembicaraan. Mereka juga dapat melihat ulang
tulisan yang ada sebelumnya.

Singkatnya, kaum pria jadi semakin seperti wanita. Mengapa demikian?
Karena pria lebih mengandalkan mata. Dengan percakapan di dunia maya
yang dikomunikasikan lewat mata, mereka menjadi terakomodasi dalam
menangkap banyak informasi. Sejumlah penghalang untuk berkomunikasi
dan mengungkapkan emosi pada pria kini telah diakomodasi oleh
teknologi sehingga pria tidak lagi menghadapi kesulitan untuk
mengekspresikan emosinya.

Kecanggihan teknologi juga mempermudah pria untuk melakukan berbagai
pekerjaan sekaligus, tanpa kehilangan fokusnya. Semua itu juga
menjadikan insting pria pun lebih terasah. Pria seperti inilah yang
dikenal sebagai “metroseksual.”

Pria metroseksual ini bukan berarti mereka gay atau kecewek-cewekan.
Mereka masih tetap pria heteroseksual dan tetap macho. Hanya saja
sosok macho bagi pria metroseksual mengalami redefinisi, bukan lagi
seperti Charles Bronson, Arnold Schwarzenegger, atau Sylvester
Stallone, tapi sosok-sosok seperti David Beckham, Johnny Depp, atau
Brad Pitt.

Pria metroseksual ini juga punya kemampuan berkomunikasi dan
interpersonal skills yang sangat baik. Mereka juga introspektif dan
punya intuisi yang lebih tajam ketimbang pria kebanyakan.

Sekarang ini sudah banyak pria yang tidak malu-malu lagi disebut
metroseksual. Saya sendiri contohnya. Saya nggak malu disebut
metroseksual, karena itu berarti menunjukkan kalau saya bisa lebih
sensitif terhadap situasi.

Saya selalu menangis ketika menonton pertunjukan teater The Phantom of
the Opera. Terutama pada adegan-adegan terakhir ketika tokoh Erik, si
“hantu”, akan meninggal dunia. Padahal, saya sudah nonton pertunjukan
ini tiga kali, yaitu ketika di New York, London, dan Singapura.

Jadi, bisa Anda lihat bahwa pria dan wanita saat ini sudah sangat jauh
berbeda dibanding sekian tahun lalu. Konklusinya, sebagai marketers
Anda memang harus benar-benar mengerti pelanggan Anda
sedalam-dalamnya. Meminjam judul lagu Bee Gees, how deep is your love
to your customers?

Kirim email ke