Yang paling relevan buat bung Budiman adalah apakah sosialisme adalah jiwa PDIP 
? Apakah selama Mega memimpin, Neolib mendapatkan angin surga atau angin busuk 
? Kalau saya ngelihat...tidak ada bedanya bung.

Saya duga kritik dari tulisan sebelumnya bukan bahwa Indonesia dibangun dengan 
spirit sosialisme namun lebih kepada kok Kompas beberapa kali menoleh ke 
sosialisme amerika latin. Bahkan di milis ini ada tuduhan tentang agenda negara 
kristen ....he he he he ...lawakan idiot !!!! Dalam konteks itu, tulisan bung 
Budiman tidak menjawab, menurut saya lho.

Saya meramal nih:
1. Bung Budiman akanmasuk senayan bulan Mei nanti.
2. Lawan2 bung di senayan nanti akan banyak juga yang separtai...jika bung 
sungguh konsisten.
3. Selamat berjuang !!!!!

Salam saya, Ignas Iryanto




________________________________
From: Agus Hamonangan <agushamonan...@yahoo.co.id>
To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
Sent: Thursday, March 5, 2009 3:42:47 AM
Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Sosialisme, Jiwa Konstitusi Kita


Oleh Budiman Sudjatmiko

http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2009/03/05/ 04105744/ sosialisme. 
jiwa.konstitusi. kita

Harian Kompas (27/2) memuat artikel "Mitos Neososialisme" oleh Mario Rustan. Di 
dalamnya, sang penulis mengatakan, dimuatnya sejumlah artikel mengenai 
sosialisme di harian Kompas beberapa hari sebelumnya merupakan bentuk 
"kecintaan" para intelektual kiri Indonesia atas "rezim otoriter di Rusia, 
China, Iran, dan Amerika Latin" serta ketidaksukaan mereka atas "Barat dan kaum 
menengah ke atas Indonesia".

Agaknya penulis melupakan fakta bahwa dua penulis artikel di Kompas yang 
dikritik—Ivan Hadar dan Robert Bala—adalah simpatisan orang miskin dan pencinta 
sosialisme, yang persis merupakan dua elite intelektual Indonesia didikan Eropa 
Barat, yaitu Jerman dan Spanyol.

Terlepas dari itu, saya justru ingin menegaskan betapa eratnya konstitusi kita 
dengan nilai-nilai sosialisme.

Jiwa kemerdekaan

Dalam artikel pada 15/8/2007, saya menulis tentang pilihan ideologis bangsa 
Indonesia yang tertuang dalam deklarasi kemerdekaan kita (Pembukaan UUD 1945) 
untuk mengusung tipe ideologi komunitarianisme demokratik. Hal ini karena 
deklarasi kemerdekaan kita menekankan pada upaya untuk "memajukan kesejahteraan 
umum". Ini membedakannya dengan deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang 
lebih bersifat individualisme demokratik.

Dalam artikel itu, saya mengutip kajian Harvard Business School yang membagi 
dua jenis ideologi, yaitu individualisme dan komunitarianisme. Salah satu 
varian individualisme, yaitu individualisme demokratik, lebih menekankan 
"persamaan kesempatan, berbasis kontrak, hak-hak milik, daya saing untuk 
memuaskan kebutuhan konsumen (yakni sebagian dari masyarakat yang punya daya 
beli), serta peran minim dari negara".

Sementara itu, salah satu varian komunitarianisme, yaitu tipe ideologi 
komunitarianisme demokratik (untuk membedakan dengan komunitarianisme yang 
tidak demokratik, yaitu fasisme dan feodalisme), lebih berorientasi pada 
"persamaan hasil (yang diharapkan bisa memajukan kesejahteraan umum dan 
mencerdaskan bangsa), hak dan kewajiban anggota komunitas, memuaskan kebutuhan 
seluruh komunitas (terlepas punya daya beli atau tidak), peran aktif negara, 
serta bersifat holistik atau saling tergantung antarmanusia, dan manusia dengan 
alam".

Pembukaan UUD 1945 itu tentu tidak terlepas dari tradisi para pendiri republik 
yang banyak sekali bersentuhan dengan para pemikir sosialis Eropa maupun 
interaksi mereka dengan sesama pejuang kemerdekaan Asia.

Bung Karno (seorang nasionalis, internasionalis, dan seorang pejuang sosialisme 
Indonesia) bahkan kerap mengutip para pemikir sosialis Eropa dalam 
tulisan-tulisannya yang terpenting selama era pergerakan.

Roger K Paget (sebagaimana dikutip Alfian dalam buku Pemikiran dan Perubahan 
Politik Indonesia) dalam kata pengantar untuk buku Indonesia Accuses: 
Soekarno's Defence Oration in the Political Trial of 1930 bahkan menyebutkan, 
dalam tulisan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme yang dibuat tahun 1926, 
Bung Karno mengutip sebanyak 13 kali sejumlah tokoh sosialis, mulai dari Otto 
Bauer (2 kali), Friederich Engels (3 kali), Karl Kautsky (1 kali), dan Karl 
Marx (7 kali).

Sementara dalam pidato pembelaaannya di hadapan pengadilan kolonial di Bandung 
pada tahun 1930, yang berjudul Indonesia Menggugat, Bung Karno mengutip 
sebanyak 24 kali tokoh sosialis dunia untuk mempertahankan posisi politiknya, 
yakni memerdekakan Indonesia bebas dari kolonialisme kapitalistik.

Daftar itu tentu akan lebih panjang lagi jika kita menyimak tulisan-tulisan 
para bapak bangsa yang lain, seperti HOS Cokroaminoto, Tan Malaka, Semaoen, 
Bung Hatta, Sutan Sjahrir, dan Amir Sjarifuddin.

Jika majalah prestisius Newsweek pada awal abad ke-21 ini mengumumkan bahwa 
"kita sekarang semua adalah sosialis" tentu karena para pendiri bangsa kita 
pada awal abad lampau sudah memiliki kegeniusan yang otentik. Setidaknya, 
mereka sudah memikirkan hal yang sama dengan editor Newsweek (bacaan favorit 
kelas menengah ke atas di dunia) hampir seratus tahun lebih awal!

Tentu saja dalam sejarah perjalanan bangsa ini kegeniusan para bapak bangsa 
yang otentik itu sempat terinterupsi selama 32 tahun era Orde Baru yang 
menghabiskan sebagian waktunya untuk memfitnah sosialisme sebagai ideologi para 
ateis dan kaum ekstremis.

Kembali ke semangat awal

Hampir 64 tahun kita merdeka dan sudah lebih dari 10 tahun kita memasuki era 
reformasi, tetapi kita justru semakin jauh dari jiwa sosialisme yang 
diamanatkan para bapak (dan ibu) bangsa melalui Pembukaan UUD 1945.

Hak-hak ekonomi rakyat malah diingkari oleh sebagian besar elite politik dan 
ekonomi kita. Di antara indikasi dari pengingkaran itu adalah dikeluarkannya 
undang-undang yang memberangus kedaulatan rakyat atas sumber daya ekonomi 
bangsa.

Salah satu, misalnya, adalah diloloskannya Undang-Undang Penanaman Modal oleh 
mayoritas fraksi di DPR (ditolak hanya oleh dua fraksi, yaitu PDI-P dan PKB). 
Undang-undang ini malah mengancam kedaulatan kaum tani atas tanah karena bisa 
dikuasai melalui hak guna usaha (HGU) oleh para investor asing selama 185 
tahun, hak guna bangunan (HGB) selama 160 tahun, dan hak pakai selama 140 
tahun. Ini jelas mengingkari hak petani kita atas fungsi sosial dari tanah di 
republik ini.

Hampir 64 tahun kita merdeka, ada tiga hal yang justru berada dalam bahaya.

Pertama, kedaulatan bangsa (terutama di bidang pangan, energi, keuangan, dan 
pertahanan).

Kedua, keadilan sosial.

Ketiga, ke-bhinneka- tunggal- ika-an kita berdasarkan Pancasila.

Semua ini terjadi karena banyak elite politik kita telah mengganti semangat 
demokrasi, patriotisme, dan sosialisme dengan semangat pragmatisme ala 
neoliberal, plutokrasi (kekuasaan politik berdasarkan uang), bahkan kleptokrasi 
(kekuasaan politik berdasarkan kemampuan mencuri uang).

Kehendak mulia para pendiri bangsa untuk memajukan kesejahteraan umum, 
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan turut menciptakan ketertiban dunia 
berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial kian digantikan oleh histeria 
spekulasi keuangan global kapitalistik.

Sayang sebagian elite kita baru sadar setelah bacaan favorit mereka, Newsweek, 
menyadarkan bahwa menjadi sosialis itu bukan sebuah bentuk kepurbakalaan 
politik, melainkan lagu mars dan semangat zaman kita.

Budiman Sudjatmiko Ketua Umum Repdem PDI-P


   


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke