Note: forwarded message attached.


Yahoo! Messenger with Voice. Make PC-to-Phone Calls to the US (and 30+ countries) for 2¢/min or less.

selamat datang di web baru FoSSEI
http://www.fossei.4t.com
====================================================================
Kini tersedia menu chating khusus untuk anggota FoSSEI
silahkan klik: http://www.ekonomisyariah.org/miftah/ceting/chat/
====================================================================




SPONSORED LINKS
Online social science degree Social science course Social science degree
Social science education Bachelor of social science Social science major


YAHOO! GROUPS LINKS




--- Begin Message --- ISLAM DAN PAHAM PLURALISME AGAMA       
Written by Hamid Fahmy  

Pikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke
Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini
pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan "baru" yang
kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Ummat
Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri.
Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup
ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai
realitas sosial. Piagam Madinah dengan jelas sekali mengakomodir
pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan
hukum-hukum terkait. Apa sebenarnya dibalik gerakan ini?

Sebenarnya paham inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar
modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan
pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham
ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran
Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas
kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai
sama saja.  Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan
sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Yang pertama (pluralitas
agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara
bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua
(pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam
disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di
Barat dan juga agenda penting globalisasi.

Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui
perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum dÊnukum wa liya
dÊn). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk
menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan
identitas agama-agama yang ada. Jadi menganggap pluralisme agama
sebagai sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar.
Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat
sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu paham yang dikenal
dengan program teologi global (global theology) dan paham kesatuan
transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Kedua aliran
ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang
akhirnya menjadi paham yang sistemik. Karena itu yang satu menyalahkan
yang lain.

Munculnya kedua aliran diatas juga disebabkan oleh dua motif yang
berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan
perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran pertama yang umumnya diwarnai
oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan
modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era
globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema
sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama dan
globalisasi bisa dibaca dari Religion and Globalization, karya  Peter
Bayer, Islam, Globalization and Postmodernity, karya Akbar S Ahmed dan
H. Donnan, The Changing Face of Religion, karya James A Beckford dan
Thomas Luckmann atau Religion and Global Order,  oleh Ronald Robertson
dan WR. Garet.

Nampaknya agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi.
Tidak aneh jika kini seminar tentang dialog antar agama, global ethic,
religious dialogue yang diadakan oleh World Council of Religions dan
lembaga lain sangat marak diseluruh dunia. Organisasi non pemerintah
(NGO) di dunia ketiga pun mendapat kucuran dana dengan mudah. Bukti
bahwa Barat berkepentingan dengan paham ini dapat dilihat dari tema
yang diangkat jurnal rintisan oleh Zwemmer The Muslim World  pada
edisi terkininya (volume 94 No.3, tahun 2004). Jurnal missionaris itu
menurunkan tema pluralisme agama dengan fokus dialog Islam Kristen.
Sudah tentu disitu framework Barat sangat dominan.  
Berbeda dari motif aliran pertama yang diwarnai pendekatan sosiologis,
motif aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan filosofis dan
teologis Barat justru kebalikan dari motif aliran pertama. Kalangan
filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi
yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan
tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu. Yang pertama memakai
pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan
religious filosofis. 

Solusi yang ditawarkan kedua aliran inipun berbeda. Berdasarkan motif
sosiologis yang mengusung program globalisasi, aliran pertama
menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis cultural,
ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas
kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan
zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan
nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi
perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian
akan melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi itu maka John Hick,
salah satu tokoh terpentingnya, segera memperkenalkan konsep
pluralisme agama dengan gagasannya yang ia sebut global theology.
Selain Hick diantara tokohnya yang terkenal adalah Wilfred Cantwell
Smith, pendiri McGill Islamic Studies. Tokoh-tokoh lain dapat dilihat
dari karya Hick berjudul Probblems of Religious Pluralism. Pada
halaman dedikasi buku ini John Hick menulis yang terjemahannya begini:
"Kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme agama dalam
berbagai tradisi mereka: Masau Abe dalam agama Buddha, Hasan Askari
dalam Islam, Ramchandra Gandhi dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam
agama Sikh, Wilfred Cantwell Smith dalam agama Kristen dan Leo Trepp
dalam agama Yahudi.

Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religious
filosofis  dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama
tidak bisa di rubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi,
zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama itu.
Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosilogis ataupun
histories dan tidak pula dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu
memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep
yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah satu
konsep utama kelompok ini adalah konsep sophia perrenis atau dalam
bahasa Hindu disebut Sanata Dharma atau dalam Islam disebut al-Íikmah
al-khÉlidah. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap
agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan
dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior
dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan
"jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama" ("all paths lead
to the same summit). Tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah
René Guénon (m. 1951), T. S. Eliot (m. 1965), Titus Burckhardt (m.
1984), Fritjhof Schuon  (m.1998),  Ananda K. Coomaraswamy (m. 1947),
Martin Ling, Seyyed Hossein Nasr, Huston Smith, Louis Massignon, Marco
Pallis (m. 1989), Henry Corbin, Jean-Louis Michon, Jean Cantein,
Victor Danner, Joseph E. Brown, William Stoddart, Lord Northbourne,
Gai Eaton, W. N. Perry, G. Durand, E. F. Schumacher, J. Needleman,
William C. Chittick dan lain-lain.

Karena keterbatasan ruang ISLAMIA edisi ketiga ini baru dapat
menghadirkan kajian kritis terhadap aliran kedua yaitu paham yang
mengusung ide kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of
Religions). Untuk lebih mengenal asal usul dan konsep dasar paham ini
kami hadirkan kajian Adnin Armas terhadap doktrin transendentalis dari
penggagas awalnya yaitu Fritjhof Schuon yang diilhami oleh Rene Guenon
(baca: Gagasan Frithjof Schuon tentang Titik-Temu Agama-Agama). Disitu
ia mengangkat topik tentang metafisika, epistemoligi, pendekatan
esoterik dan eksoterik. Schuon yang dikabarkan masuk Islam itu
mempunyai pengikut fanatik dari cendekiawan Muslim asal Iran yaitu
Seyyed Hossein Nasr. Beliaulah yang menterjemahkan istilah philosophia
perrenis itu menjadi al-Íikmah al-khÉlidah. Sebenarnya ide-ide Guenon,
Schuon dan Nasr adalah parallel, ketiganya mendukung paham kesatuan
transenden agama-agama. Pemikiran pluralis S.H.Nasr ini dikaji secara
kritis oleh Dr. Anis Malik Toha (baca: Seyyed Hossein Nasr: Mengusung
"Tradisionalisme" Membangun Pluralisme Agama).

Selain itu aspek penting paham ini adalah pendekatannya yang diambil
dari pengalaman spiritual dari tradisi mistik yang terdapat dalam
tradisi agama-agama. Dalam kasus Islam mereka mengambil pengalaman
spiritual dari tradisi sufi. Untuk menguji klaim mereka bahwa para
sufi itu pluralis Sani Badron mengupas pandangan tokoh Sufi terkenal
yang sering mereka kutip, yaitu Ibn `Arabi. Kajian langsung terhadap
karya-karya utamanya ini mengungkapkan pandangan Ibn `Arabi terhadap
agama-agama selain Islam. (baca: Ibn `Arabi tentang Pluralisme Agama).
Meskipun kajian-kajian diatas telah merespon paham pluralisme agama
dengan menggunakan framework pemikiran Islam, namun respon dari sumber
yang lebih otoritatif masih diperlukan. Untuk itu kami hadirkan
pandangan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang konsep-konsep
asas Islam seperti tentang wahyu, tentang Tuhan, tentang konsep tawhid
dan lain-lain. Dengan eksposisi konsep-konsep itu al-Attas
menyimpulkan bahwa paham pluralisme agama tidak sesuai dengan Islam.
Tulisan ini kami cuplik dan terjemahkan dari karya beliau Prolegomena
To the Metaphysic of Islam. (baca: Respon Islam terhadap Konsep
Kesatuan Agama-agama). Untuk menjelaskan pemikiran al-Attas secara
lebih dalam dan luas tentang makna Islam sebagai dÊn kami hadirkan
tulisan Dr. Fatimah Abdullah yang berjudul Konsep Islam sebagai DÊn,
Kajian terhadap Pemikiran Prof.Dr.SMN. al-Attas. Sedangkan untuk
penjelasan lebih lanjut tentang respon Islam terhadap paham kesatuan
transenden agama-agama, kami hadirkan kritik dan analisa Wan Azhar
terhadap doktrin Transcendent Unity of Religion (baca: Kesatuan
Transenden Agama-agama, Sebuah Respon Awal). Disitu argumentasi Prof.
Al-Attas  dielaborasi sehingga menjadi lebih jelas.

Dari beberapa kajian diatas barangkali muncul suatu kesan bahwa kritik
terhadap paham pluralisme agama cenderung diwarnai oleh sikap
anti-Barat. Namun kesan ini nampak tergesa-gesa dan justru nampak
lebih cenderung merupakan sikap mental yang ter-Barat kan dari pada
obyektif. Sebab paham pluralisme agama yang dibawa oleh arus pemikiran
globalisasi Barat modern dan post-modern ternyata juga menuai kritik
dari paham pluralisme agama yang dimotivasi oleh keinginan untuk
menghidupkan tradisi dalam agama-agama di Timur. Dalam kondisi
pemikiran yang problematik ini sangatlah bijaksana jika kita tidak ke
Barat dan tidak ke Timur, tapi kembali kepada Islam.





--- End Message ---

Kirim email ke