Tulisan ini hanya copy paste saja, kepada yang pernah mendengar dan
atau mebaca mohon mengabaikan.

Saya tidak bosan mendegar tulisan ini dibacakan sama si penulis. suara
yang "ngebas" membuat semakin menusuk-nusuk saya. Kok ya bisa tulisan
orang yang tidak kenal sama saya ee.. kok cocok banget begitu. tapi
rasanya "dunia tak selebar daun kelor"

Salam
Widi


Senyum Orang Gila

Oleh priegs
Saya suka melewati jalan itu. Salah satu daya tariknya adalah karena
di situ mangkal orang gila yang selalu tersenyum. Kesan pertama saya
ialah, betapa senyum itu selalu memberi kesejukan bagi penontonnya,
tak peduli apakah ia datang dari orang gila. Kedua, betapa senyum
selalu mencerahkan wajah pelakunya.

Meskipun orang itu jelas-jelas telah divonis sebagai gila, tetapi
karena selalu tersenyum, ada gambaran damai di wajahnya. Ketiga,
inilah yang menurut saya utama: saya yang merasa waras saja, jarang
tersenyum  sebanyak itu dan semurni itu. Baik secara kuantitas maupun
secara kualitas, senyum saya jelas bukan tandingannya.

Ada memang banya senyum kuantitatif di wajah saya. Tetapi itu pun
jumlahnya tak seberapa. Yang tak seberapapun, itu berisi senyum-senyum
yang terpaksa. Terpaksa sok sabar, sok  baik dan sok ramah. Keadaan
sok ini membuat diam-diam batin  saya malah terancam lelah. Bibir saya
tersenyum tetapi hati  saya melayang entah ke mana.

Senyum itu, sejatinya nyaris lahir dari ruang hampa. Jadi, senyum
kuantitatif  ini cepat  sekali menghilang dari  wajah saya. Secepat
itu datangnya,  secepat itu pula perginya tanpa meninggalkan jejak
apa-apa. Sungguh berbeda dari senyum orang gila yang seperti menetap
selalu di bibirnya.

Selebihnya,  wajah ini kembali tertarik untuk melayani soal-soal yang
membuat bibir cemberut  dan wajah berkerut. Pagi hari, cukup hanya
dengan membaca koran pagi, kening ini sudah  mulai mengernyit. Ada
artis yang berdandan sebagai wanita solehah cuma gara-gara hendak
mencalonkan diri sebagai petinggi dan ketika kalah cuma kembali pada
dandanannya yang asli.

Atau setiap hari ada saja dikabarkan orang mati karena menenggak
oplosan, sebuah  kematian yang pasti tidak membanggakan bagi keluarga
yang ditinggalkan.  Dan intensitas ketegangan di wajah ini bisa
ditingkatkan jika kita mau menonton televisi. Semua acara lengkap di
dalamnya, mulai dari yang mengundang  kejengkelan hingga kemarahan.

Jika senyum kuantitatif saja tak seberapa jumlahnya,  lebih langka
lagi pasti jumlah senyum kualitatif di wajah saya. Ia hanya datang
kadang-kadang saja. Tergantung apakah hari sedang cerah. Tetapi jika
rezeki sedang seret, tanggal tua, kebutuhan menumpuk, kok datang
seseorang hanya untuk minta sumbangan, bisa mengepul uap di kepala
saya. Tetapi itupun sudah sebab yang serius. Padahal untuk kesal, saya
ini tak butuh penyulut yang  serius.

Hanya karena waktu sudah mendesak, dan itupun karena kesalahan saya
sendiri, istri yang bergerak terlalu lambat, anak-anak yang masih
sibuk dengan ini-itunya, sudah menyulut kemarahan saya. Padahal  jika
pun saya benar-benar telambat, dunia ini masih baik-baik saja. Saya
tidak akan dipecat dari pekerjaan apalagiketerlambatan ini tidak ada
hubungannya dengan pecat-memecat. Keadaan ini hanya karena dorongan
instink saya agar segera bisa  sampai ke tujuan.

Jadi sikap buru-buru itu, lebih banyak tidak disebabkan oleh waktu,
tetapi oleh perasaan saya sendiri. Rasa buru-buru itu memang seperti
menetap di dalam sini. Ada banyak sekali persolaan hidup, termasuk di
dalamnya adalah soal yang remeh-temeh cukuplah untuk mengusir senyum
dari  wajah saya. Maka setiap melewati jalan, di tempat orang gila itu
mangkal, saya seperti menemukan kembali senyum saya yang hilang.

(Prie GS/bnol)

-- 
Dikirim dari suwidi.or.id dengan dukungan dev-NET(system)

Kirim email ke