From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Budhi Setijono
Sent: Thursday, July 06, 2006 2:27 PM
To: Forum Ukhuwah Pekerja Muslim di Kawasan EJIP
Subject: Re: [ FUPM-EJIP ] Keharaman Kepiting
Jakarta , Jumat,
12-07-2002 00:36:24
Kepiting: Halal atau
Haram?
GATRA.com -
PERBINCANGAN
seputar hukum makan kepiting pada masyarakat Islam Indonesia selama ini terasa
setengah hati dan kontroversial. Banyak yang bertanya, tapi dapat jawaban
sekenanya. Ada yang yakin hukumnya haram, halal, atau makruh, tapi tidak
dilengkapi kajian memadai. Nelayan di Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur,
misalnya, juga mengakui bahwa soal ini masih simpang-siur. Namun berdasarkan
pengalaman seadanya, mereka memilih berpendapat halal.
"Di sini hampir
sembilan puluh persen nelayan memilih halal," kata Haji Nur Arifin, seorang
nelayan. "Sepengetahuan saya, kepiting hanya hidup di air," Arifin menambahkan.
Berbeda dengan pendapat KH Mutawakil Alalloh yang memandang kepiting haram
dimakan. Pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, Jawa Timur, ini
beralasan, kepiting bisa hidup di darat dan air (amfibi). Ia menganalogkan
dengan haramnya katak yang juga binatang amfibi. "Untuk lebih hati-hati, saya
memilih haram," katanya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) diam-diam
melakukan kajian lebih teliti untuk merumuskan fatwa halal-haramnya kepiting.
Ketua MUI Prof. Dr. Umar Shihab mengemukakan itu dalam Muktamar VIII Alkhairaat
di Palu, Senin pekan lalu. Sebenarnya Umar hanya memaparkan lembaga MUI secara
umum. Ketika dijelaskan bahwa MUI mempunyai Komisi Fatwa ada hadirin yang
bertanya fatwa terbaru MUI. "Paling akhir, Komisi Fatwa memutuskan fatwa tentang
kepiting," jawab Umar.
Rupanya, kajian kepiting ini disebabkan
membanjirnya produk berbahan baku kepiting yang mengajukan sertifikasi halal ke
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) – MUI. "Kami ragu
hukum kepiting, karena di masyarakat masih ada silang pendapat, maka kami
tanyakan ke Komisi Fatwa," kata Osmena, Wakil Sekretaris LPPOM. Maka, 29 Mei
lalu, Komisi Fatwa mengundang Prof. Dr. Hasanuddin AF, Dekan Fakultas Syari’ah
Universitas Islam Negeri Jakarta, untuk presentasi makalah berjudul "Kepiting:
Halal atau Haram?"
Dalam makalahnya, Hasanuddin menyebutkan tiga patokan
untuk menyatakan halal atau haramnya makanan. Pertama, ada dalil berupa nash
(Al-Quran atau hadis) yang menyatakan makanan itu halal. Kedua, ada nash yang
menyatakan haram. Ketiga, tidak ada nash yang menyatakan haram atau halal.
Makanan yang dinyatakan halal oleh nash, antara lain, binatang laut. "Semua
jenis binatang laut hukumnya halal kecuali yang mengandung racun dan
membahayakan jasmani rohani kita," tulis Hasanuddin.
Hasanuddin merujuk
Al-Quran surah Al-Maidah ayat 96: "Dihalalkan bagimu binatang buruan laut,
sebagai makanan yang lezat bagimu ..." Hadis riwayat Abu Hurairah juga
menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda, "Laut itu airnya suci dan bangkainya
halal." Sedangkan makanan yang ditetapkan haram oleh nash antara lain bangkai,
darah, dan daging babi (Al-Maidah ayat 3). Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal
mengecualikan, ada dua bangkai (ikan dan belalang) dan dua darah (hati dan
limfa) yang halal.
Ada lagi makanan yang dinyatakan haram berdasarkan
hadis. Misalnya, hadis riwayat Muslim melansir pernyataan Ibnu Abbas bahwa
Rasulullah mengharamkan setiap binatang buas yang bertaring dan jenis burung
yang bercakar tajam. Bagaimana dengan makanan yang didiamkan nash: tidak
diharamkan dan tidak dihalalkan? Hasanuddin mengacu pada kaidah bahwa hukum
dasar segala sesuatu adalah halal, selama tidak ada nash yang
mengharamkan.
Kaidah itu disarikan dari surah Al-Baqarah ayat 29, "Dialah
Allah yang menciptakan segala yang ada di bumi ini untuk kalian semua." Serta
dari hadis riwayat Ibnu Majah dan Turmuzi, "Halal adalah apa yang dihalalkan
Allah dalam kitab-Nya, haram adalah yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya,
sedangkan apa yang tidak dinyatakan halal atau haram, maka itu termasuk yang
dimaafkan untuk kalian makan." Di sinilah Hasanuddin menempatkan hukum
kepiting.
"Kepiting termasuk binatang yang tidak ditegaskan oleh nash
tentang halal atau haramnya," tulis Hasanuddin. Maka ketentuan hukumnya kembali
kepada hukum asal segala sesuatu yang pada dasarnya adalah halal --sepanjang
tidak berdampak buruk bagi jasmani dan rohani. Hasan menyarankan dilakukan uji
laboratorium untuk memastikan apakah kepiting aman dikonsumsi atau tidak.
Makalah guru besar ushul fikih ini mengundang perdebatan baru tentang hukum
makhluk amfibi.
Argumen mereka yang menilai kepiting haram adalah karena
statusnya yang diduga amfibi. Pandangan demikian banyak dipegangi ulama
pesantren penganut mazhab Syafi’iyah. "Di madrasah-madrasah Alkhairaat, baik
aliyah, tsanawiyah, maupun ibtidaiyah, selalu diajarkan bahwa binatang yang
hidup di dua alam hukumnya haram," kata Ketua Pengurus Besar Alkhairaat Prof.
Dr. Huzaimah Tahido.
Ketua Komisi Fatwa KH Makruf Amin dan beberapa
anggota komisi seperti KH Ghozali Masruri juga cenderung ke pendapat itu. Kiai
Makruf menyitir kitab Nihayatul Muhtaj karya Imam Romli yang menyebutkan bahwa
makhluk yang bisa hidup langgeng (hayyan daiman) di air dan darat
hukumnya haram. "Kitab-kitab fikih Syafi’iyah kebanyakan menyatakan begitu, dan
kitab Nihayah ini yang paling tegas," kata Makruf. Ibnu Arabi, menurut
Hasanuddin, juga berpendapat demikian.
Namun Hasanuddin menandaskan bahwa
pendapat yang mengharamkan makhluk amfibi tidak memiliki dasar yang kuat dalam
nash. "Lagi pula apa hubungannya antara halal-haram dengan kondisi bisa hidup di
laut dan di darat?" tanya Hasanuddin. Menurut guru besar Fakultas Syari’ah IAIN
Surabaya, Prof. Syechul Hadi Permono, ajaran bahwa makhluk amfibi itu haram
bukan berasal dari Al-Quran, melainkan dari agama Yahudi.
Perdebatan
internal ahli agama ini kemudian dikonfrontasikan dengan penjelasan pakar
kepiting dari Institut Pertanian Bogor (IPB). MUI menghadirkan Dr. Sulistiono
dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB, 15 Juni lalu. Ia membawa
makalah berjudul "Eko-Biologi Kepiting Bakau". Pembantu Dekan III FPIK ini
membatasi bahasan pada jenis kepiting yang banyak dikenal masyarakat. Di
Indonesia ada 2.500-an spesies, sementara di dunia lebih dari 4.500
spesies.
Dari ribuan spesies itu, ada tiga jenis kepiting yang dikenal
masyarakat Indonesia. Pertama, rajungan, yang hidup di perairan laut. Kedua,
kepiting kecil yang hidup di darat, biasa dipakai makanan ternak. Ketiga,
kepiting yang hidup di tambak air payau, sering disebut kepiting tambak atau
kepiting bakau. Masyarakat mengenal kepiting tambak ini hanya satu jenis.
"Bentuknya memang persis sama tapi sebenarnya ada empat jenis," kata Sulistiono.
Keempatnya paling banyak dikonsumsi masyarakat karena dagingnya yang
enak. Empat jenis kepiting itu adalah Scylla serrata, Scylla paramamosain,
Scylla tranquebarica, dan Scylla olivacea. Ada dua hal untuk
membedakan keempatnya, yaitu duri yang ada di sikut dan duri di dahinya (lihat
tabel ciri-ciri). Menurut Sulistiono, dari keempat jenis itu, yang paling banyak
dikonsumsi adalah Scylla serrata dan Scylla tranquebarica. "Di daerah
Cilacap, Scylla tranquebarica ini sudah menjadi makanan sehari-hari,"
katanya.
Sulistiono memastikan bahwa kepiting bukan hewan amfibi seperti
katak. Katak bisa hidup di darat dan air karena bernapas dengan paru-paru dan
kulit. Kepiting hanya bernapas dengan insang. Kepiting memang bisa tahan di
darat selama 4-5 hari, kata Sulistiono, karena insangnya menyimpan air, sehingga
masih bisa bernapas. "Tapi kalau tidak ada airnya sama sekali, akan terjadi
evaporasi, akhirnya akan mati. Jadi, kepiting tidak bisa lepas dari air," kata
Sulistiono kepada Tata Haidar Riza dari Gatra.
Komisi Fatwa MUI akhirnya
menetapkan empat jenis kepiting itu halal karena jenis binatang air. "Di luar
itu, kami akan teliti lagi status hukumnya," kata Kiai Makruf. Sulistiono juga
belum bisa memastikan jenis yang lain. "Selain keempat jenis itu, saya nggak
tahu pasti. Yang jelas, jenisnya buanyak sekali, tapi penelitiannya masih
sedikit," katanya. Bahkan untuk kepiting jenis pemakan kelapa, MUI belum
memutuskan statusnya. Yang pasti, kepiting jenis beracun dinyatakan
haram.
Sampai akhir pekan lalu, MUI belum mengeluarkan fatwa tertulis.
"Kami masih menunggu kelengkapan data tentang ciri-ciri spesies yang halal dan
yang beracun dari pakarnya," kata Sekretaris Komisi Fatwa, Maulana Hasanuddin.
MUI kemudian akan menyebarkannya ke masyarakat.
[Asrori S. Karni, Amran Amier (Palu), dan Rachmat Hidayat (Surabaya)]
[Agama, GATRA Nomor 34 Beredar 08 Juli 2002]
******************************************************** Mailing List FUPM-EJIP ~ Milistnya Pekerja Muslim dan DKM Di kawasan EJIP ******************************************************** Ingin berpartisipasi dalam da'wah Islam ? Kunjungi situs SAMARADA : http://www.usahamulia.net
Untuk bergabung dalam Milist ini kirim e-mail ke : [EMAIL PROTECTED] ********************************************************