http://www.dakwatuna.com

Sejarah Singkat Ilmu Ushul Fiqih

Oleh: Ahmad Sahal Hasan, Lc <http://www.dakwatuna.com/author/sahal/>
------------------------------
[image: 
Kirim]<http://www.dakwatuna.com/2007/sejarah-singkat-ilmu-ushul-fiqh/email/>
 [image: 
Print]<http://www.dakwatuna.com/2007/sejarah-singkat-ilmu-ushul-fiqh/print/>

*dakwatuna.com – *Di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan
kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan
dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan beliau
mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.

Para sahabat ra menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan turunnya
Al-Qur’an dan mengetahui dengan baik sunnah Rasulullah saw, di samping itu
mereka adalah para ahli bahasa dan pemilik kecerdasan berpikir serta
kebersihan fitrah yang luar biasa, sehingga sepeninggal Rasulullah saw
mereka pun tidak memerlukan perangkat teori (kaidah) untuk dapat berijtihad,
meskipun kaidah-kaidah secara tidak tertulis telah ada dalam dada-dada
mereka yang dapat mereka gunakan di saat memerlukannya.

Setelah meluasnya futuhat islamiyah, umat Islam Arab banyak berinteraksi
dengan bangsa-bangsa lain yang berbeda bahasa dan latar belakang
peradabannya, hal ini menyebabkan melemahnya kemampuan berbahasa Arab di
kalangan sebagian umat, terutama di Irak . Di sisi lain kebutuhan akan
ijtihad begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru yang belum
pernah terjadi dan memerlukan kejelasan hukum fiqhnya.

Dalam situasi ini, muncullah dua madrasah besar yang mencerminkan metode
mereka dalam berijtihad:

   - Madrasah ahlir-ra’yi di Irak dengan pusatnya di Bashrah dan Kufah.
   - Madarasah ahlil-hadits di Hijaz dan berpusat di Mekkah dan Madinah.

Perbedaan dua madrasah ini terletak pada banyaknya penggunaan hadits atau
qiyas dalam berijtihad. Madrasah ahlir-ra’yi lebih banyak menggunakan qiyas
(analogi) dalam berijtihad, hal ini disebabkan oleh:

   - Sedikitnya jumlah hadits yang sampai ke ulama Irak dan ketatnya seleksi
   hadits yang mereka lakukan, hal ini karena banyaknya hadits-hadits palsu
   yang beredar di kalangan mereka sehingga mereka tidak mudah menerima riwayat
   seseorang kecuali melalui proses seleksi yang ketat. Di sisi lain masalah
   baru yang mereka hadapi dan memerlukan ijtihad begitu banyak, maka mau tidak
   mau mereka mengandalkan qiyas (analogi) dalam menetapkan hukum.
   Masalah-masalah baru ini muncul akibat peradaban dan kehidupan masyarakat
   Irak yang sangat kompleks.
   - Mereka mencontoh guru mereka Abdullah bin Mas’ud ra yang banyak
   menggunakan qiyas dalam berijtihad menghadapi berbagai masalah.

Sedangkan madrasah ahli hadits lebih berhati-hati dalam berfatwa dengan
qiyas, karena situasi yang mereka hadapi berbeda, situasi itu adalah:

   - Banyaknya hadits yang berada di tangan mereka dan sedikitnya
   kasus-kasus baru yang memerlukan ijtihad.
   - Contoh yang mereka dapati dari guru mereka, seperti Abdullah bin Umar
   ra, dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, yang sangat berhati-hati menggunakan
   logika dalam berfatwa.

Perbedaan kedua madrasah ini melahirkan perdebatan sengit, sehingga membuat
para ulama merasa perlu untuk membuat kaidah-kaidah tertulis yang dibukukan
sebagai undang-undang bersama dalam menyatukan dua madrasah ini. Di antara
ulama yang mempunyai perhatian terhadap hal ini adalah Al-Imam Abdur Rahman
bin Mahdi rahimahullah (135-198 H). Beliau meminta kepada Al Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah (150-204 H) untuk menulis sebuah buku tentang
prinsip-prinsip ijtihad yang dapat digunakan sebagai pedoman. Maka lahirlah
kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi’i sebagai kitab pertama dalam ushul fiqh.

Hal ini tidak berarti bahwa sebelum lahirnya kitab Ar-Risalah prinsip
prinsip ushul fiqh tidak ada sama sekali, tetapi ia sudah ada sejak masa
sahabat ra dan ulama-ulama sebelum Syafi’i, akan tetapi kaidah-kaidah itu
belum disusun dalam sebuah buku atau disiplin ilmu tersendiri dan masih
berserakan pada kitab-kitab fiqh para ‘ulama. Imam Syafi’i lah orang pertama
yang menulis buku ushul fiqh, sehingga Ar Risalah menjadi rujukan bagi para
ulama sesudahnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan ilmu ini.

Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ra memang pantas untuk
memperoleh kemuliaan ini, karena beliau memiliki pengetahuan tentang
madrasah ahlil-hadits dan madrasah ahlir-ra’yi. Beliau lahir di Ghaza, pada
usia 2 tahun bersama ibunya pergi ke Mekkah untuk belajar dan menghafal
Al-Qur’an serta ilmu fiqh dari ulama Mekkah. Sejak kecil beliau sudah
mendapat pendidikan bahasa dari perkampungan Huzail, salah satu kabilah yang
terkenal dengan kefasihan berbahasa. Pada usia 15 tahun beliau sudah
diizinkan oleh Muslim bin Khalid Az-Zanjiy – salah seorang ulama Mekkah –
untuk memberi fatwa.

Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru kepada Imam penduduk Madinah,
Imam Malik bin Anas ra (95-179 H) dalam selang waktu 9 tahun – meskipun
tidak berturut-turut – beserta ulama-ulama lainnya, sehingga beliau memiliki
pengetahuan yang cukup dalam ilmu hadits dan fiqh Madinah. Lalu beliau pergi
ke Irak dan belajar metode fiqh Irak kepada Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani
ra (wafat th 187 H), murid Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit ra (80-150
H).

Dari latar belakangnya, kita melihat bahwa Imam Syafi’i memiliki pengetahuan
tentang kedua madrasah yang berbeda pendapat, maka beliau memang orang yang
tepat untuk menjadi orang pertama yang menulis buku dalam ilmu ushul. Selain
Ar-Risalah, Imam Syafi’i juga memiliki karya lain dalam ilmu ushul, seperti:
kitab Jima’ul-ilmi, Ibthalul-istihsan, dan Ikhtilaful-hadits.

Dapat kita simpulkan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan munculnya
penulisan ilmu ushul fiqh:

   - Adanya perdebatan sengit antara madrasah Irak dan madrasah Hijaz.
   - Mulai melemahnya kemampuan bahasa Arab di sebagian umat Islam akibat
   interaksi dengan bangsa lain terutama Persia.
   - Munculnya banyak persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan
   memerlukan kejelasan hukum, sehingga kebutuhan akan ijtihad kian mendesak.

Setelah Ar-Risalah, muncullah berbagai karya para ulama dalam ilmu ushul
fiqh, di antaranya:

   1. Khabar Al-Wahid, Itsbat Al-Qiyas, dan Ijtihad Ar-Ra’y, ketiganya karya
   Isa bin Aban bin Shadaqah Al-Hanafi (wafat th 221 H).
   2. An-Nasikh Wal-Mansukh karya Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).
   3. Al-Ijma’, Ibthal At-Taqlid, Ibthal Al-Qiyas, dan buku lain karya Dawud
   bin Ali Az-Zhahiri (200-270 H).
   4. Al-Mu’tamad karya Abul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-mu’taziliy
   Asy-Syafi’i (wafat th 436H).
   5. Al-Burhan karya Abul Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah
   Al-Juwaini/Imamul-haramain (410-478 H).
   6. Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali Muhammad bin Muhammad (wafat 505
   H).
   7. Al-Mahshul karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razy (wafat 606 H).
   8. Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-Amidi
   (wafat 631 H).
   9. Ushul Al-Karkhi karya Ubaidullah bin Al-Husain Al-Karkhi (wafat 340
   H).
   10. Ushul Al-jashash karya Abu Bakar Al-Jashash (wafat 370 H).
   11. Ushul as-Sarakhsi karya Muhammad bin Ahmad As-Sarakhsi (wafat 490 H).
   12. Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat Al-Ushul karya Ali bin Muhammad
   Al-Bazdawi (wafat 482 H).
   13. Badi’un-Nizham karya Muzhaffaruddin Ahmad bin Ali As-Sa’ati Al-hanafi
   (wafat 694 H).
   14. At-Tahrir karya Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid yang dikenal
   dengan Ibnul Hammam (wafat 861 H).
   15. Jam’ul-jawami’ karya Abdul Wahab bin Ali As Subki (wafat 771 H).
   16. Al-Muwafaqat karya Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Al-gharnathi yang
   dikenal dengan nama Asy-Syathibi (wafat 790 H).
   17. Irsyadul-fuhul Ila Tahqiq ‘Ilm Al-Ushul karya Muhammad bin Ali bin
   Muhammad Asy-Syaukani (wafat 1255 H).

http://www.dakwatuna.com/2007/sejarah-singkat-ilmu-ushul-fiqh/

Kirim email ke