Tersepas dari benar tidaknya soal produksi Lapindo Brantas,.. Ini tulisan yang sangat 
bagus, minimal agar orang mulai berfikir solusi komprehensif dan terintegrasi mengenai 
kebutuhan energi dimasa mendatang.  Mundah2an ditindak lanjuti dengan langkah2 
antisipatif yang nyata,..

Salut untuk IAGI dan jajaran pengurus !!

Bambang Istadi
ConocoPhillips Inc.
+1-281-293-3763


-----Original Message-----
From: Andang Bachtiar [mailto:[EMAIL PROTECTED]]
Sent: Wednesday, January 15, 2003 8:55 PM
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: [iagi-net-l] Tulisan HUMAS IAGI di Kompas 15 Jan 2003: Energi
Jatim


Kompas, 15 Januari 2003 
Belajar dari Kebocoran Pipa Gas BP
Pemprov Jatim Harus Berani Menyusun Kebijakan Energi 

Ikhsyat Syukur (HUMAS IAGI)


KEBOCORAN pipa gas milik British Petroleum (BP) yang mengalirkan gas dari Pagerungan 
di Madura ke daratan Jawa Timur (Jatim) pada minggu lalu (7/1), ternyata berdampak 
luas bagi industri besar di sembilan kabupaten di Jatim. Tidak kurang dari 156 
industri di provinsi ini, yang merupakan konsumen gas yang didistribusikan oleh PT 
Perusahaan Gas Negara (PT PGN) tersebut terancam kegiatan produksinya akibat gangguan 
pasokan gas. (Kompas, 10/1/2003)

SEBAGAI bagian dari mineral yang dikategorikan strategis, kewenangan pengelolaan gas 
mulai dari eksplorasi, eksploitasi, distribusi hingga konsumsi berada pada pemerintah 
pusat. Kewenangan ini pada praktiknya meliputi beberapa instansi yang berbeda. 
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral bertanggung jawab dalam hal regulasi dan 
perizinan. Pertamina bertanggung jawab dalam hal eksplorasi dan eksploitasi (sejak UU 
Migas baru disahkan, hak ini dikurangi), sedangkan PT PGN bertanggung jawab terhadap 
distribusi.

Di sisi lain pada tataran praktis, keluhan terhadap gangguan pasokan, hambatan 
eksplorasi (kasus ujung pangkah/Amerada Hess), kegagalan eksploitasi dan kekeliruan 
prediksi angka produksi (Lapindo Brantas) oleh kalangan industri dan kontraktor bagi 
hasil Pertamina, selalu dialamatkan pada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim.

Tanpa dapat menolak, Pemprov Jatim senantiasa harus menyelesaikannya mengingat 
gangguan di sektor ini akan berdampak luas, baik secara ekonomi (kenyamanan investasi) 
maupun sosial (kemungkinan munculnya pengangguran). Tentu pada gilirannya akan 
berdampak pada situasi keamanan di Jatim. Untuk pasokan gas, pada pertengahan tahun 
2002 lalu, telah diprediksi (tanpa kebocoran pipa gas BP) bahwa dua tahun mendatang 
akan terjadi ketimpangan antara angka produksi gas dari beberapa ladang gas yang telah 
dan akan memasok Jatim (BP/Pagerungan, Lapindo Brantas/Sidoarjo-Mojokerto, Amerada 
Hess/Gresik) dengan angka permintaan yang berasal dari industri yang tersebar di 
Jatim. Pada saat itu, Pemprov Jatim hanya dapat melaporkan hal ini kepada pemerintah 
pusat.

Untuk jenis energi yang lain, seperti listrik, Jatim juga akan mengalami kekurangan 
pasokan akibat penjadwalan kembali pembangunan sejumlah pembangkit listrik di wilayah 
ini. Bahkan, kondisi ekstrem sudah mulai disosialisasikan kepada kalangan industri 
berupa pengenaan kuota pasokan terhadap berbagai jenis industri di Jatim pada 
pertengahan tahun 2003 ini.

Belajar dari kasus ini, dan kemungkinan meningkatnya kebutuhan energi secara 
signifikan di Jatim sebagai akibat dari pertumbuhan industri dan pertambahan jumlah 
penduduk, maka Jawa Timur harus segera merumuskan kebijakan energi secara regional.

Meskipun pengelolaan masih ditangani oleh pemerintah pusat -tetapi mengingat dampak 
langsung dirasakan oleh Jatim- maka secara cerdas tanpa mengganggu tata aturan 
perundangan tentang hubungan pemerintah pusat dan daerah, Jatim harus mulai 
menginventarisir potensi energi yang dimiliki sekaligus menyusun prediksi kebutuhan 
energi untuk rentang waktu tertentu (5 20 tahun mendatang).

Selain untuk mengantisipasi hal yang sama terulang, kebijakan ini harus lebih 
ditujukan untuk keamanan pasokan energi untuk berbagai kepentingan di masa mendatang. 
Tetap menyerahkan hal ini kepada pusat, berarti sama dengan menyiapkan bom waktu yang 
sewaktu-waktu akan meledak di wilayah ini tanpa dapat dikendalikan.

Kebijakan energi regional

Kebijakan energi merupakan hal yang sangat rumit dan melibatkan berbagai aspek dan 
tingkat pemerintahan. Masing-masing sumber energi memiliki serangkaian tahapan 
pengembangan, mulai dari eksplorasi, eksploitasi, ekstraksi, produksi, distribusi, dan 
konsumsi.

Setiap tahap tersebut memiliki aspek dan dampak tersendiri baik secara teknis, 
ekonomi, dan lingkungan. Namun kenyataannya, ketiga aspek tersebut masih harus 
dikaitkan secara erat dalam sebuah kerangka dasar kebijakan (policy). Idealnya, 
kebijakan energi harus dimulai dari tingkat lokal, dikoordinasikan secara regional 
untuk kemudian diintegrasikan secara nasional.

Mengingat kita belum memiliki kebijakan energi yang terintegrasi secara nasional, maka 
Jatim harus "berani" untuk mulai menyusun kebijakan di bidang energi dengan 
mengintegrasikan potensi dan kebutuhan energi di setiap kabupaten dan kota yang 
dimiliki.

Langkah pertama yang harus segera dilakukan Pemprov Jatim adalah, menginventarisasi 
potensi energi yang dimiliki. Hal ini meliputi berbagai jenis energi, baik yang 
terbarukan maupun tidak. Inisiatif regional ini harus juga meliputi energi yang sudah 
ada (minyak bumi, gas, dan listrik) maupun jenis energi yang diperkirakan dapat 
dikembangkan di Jatim (panas bumi, mikrohidro, biomas, gelombang laut, angin, dan 
sebagainya).

Inventarisasi ini juga harus segara diikuti dengan rencana pengembangan setiap jenis 
energi hingga perhitungan biaya yang dibutuhkan untuk pengembangannya. Jawa Timur 
merupakan satu-satunya provinsi di Jawa yang belum memanfaatkan potensi panas bumi 
(hydrothermal) yang diperkirakan melimpah, mengingat keberadaan sejumlah gunung api 
baik yang masih aktif maupun tidak aktif di wilayah ini.

Pada saat yang bersamaan juga harus disusun prakiraan kebutuhan energi untuk rentang 
waktu tertentu. Berbagai simulasi sebagai masukan harus dilakukan, seperti pertumbuhan 
industri, pertambahan penduduk, tren penggunaan jenis energi tertentu hingga 
kebutuhan/pasokan energi di wilayah di sekitar Jatim (Jawa Tengah dan Bali). Hal 
terakhir perlu dilakukan mengingat kemungkinan terjadinya baik kekurangan maupun 
kelebihan pasokan yang dapat "dikerjasamakan" dengan wilayah terdekat.

Berdasarkan dua hal di atas (prakiraan jumlah energi yang dapat diproduksi dengan 
angka kebutuhan) akan diperoleh gambaran kondisi energi pada rentang waktu tertentu. 
Pada kondisi tertentu di mana terjadi kelebihan produksi akan membuat Jawa Timur lebih 
awal menjajaki kemungkinan menjualnya ke daerah lain. Sebaliknya, kekurangan produksi 
juga akan membuat Jawa Timur lebih awal memikirkan alternatif solusinya.

Mulai dari mengembangkan sejumlah energi alternatif di tingkat lokal (kabupaten/kota) 
hingga menjajaki kemungkinan pasokan dari wilayah di luar Jatim. Energi alternatif 
yang harus dikembangkan juga harus sesuai dengan sifat, jenis, dan kebutuhan energi 
masa depan. Karakteristik tersebut antara lain adalah energi yang dapat terbarukan, 
murah, dan harus ramah lingkungan.

Sebagai bagian dari Indonesia, kita harus menghormati dan mengikuti berbagai kebijakan 
internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia (pengurangan 
emisi gas buang, protokol Kyoto). Pengabaian terhadap hal ini akan membuat kita 
kesulitan mengembangkan energi yang dimiliki karena akan mendapat tentangan dari dunia 
luar.

Revitalisasi kelembagaan

Perumusan kebijakan energi di tingkat regional, selain menyangkut aspek energi itu 
sendiri, lebih dari itu juga mengharuskan hadirnya sebuah lembaga yang kompeten untuk 
merumuskan pengelolaan sumber-sumber energi. Selain memiliki sumber daya yang memadai, 
lembaga ini juga harus mampu melakukan kerja sama kelembagaan dengan berbagai instansi 
terkait baik di tingkat lokal, regional maupun nasional, bahkan internasional.

Hal ini penting, mengingat pengkajian, penyelidikan, penghitungan jenis, dan kebutuhan 
energi telah dan sedang dilakukan baik di berbagai level pemerintahan, di berbagai 
instansi baik pemerintah maupun swasta yang terpisah-dan sayangnya-belum terintegrasi. 
Sebagai contoh, lembaga ini harus dapat bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan 
Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai sebuah lembaga yang senantiasa melakukan pengkajian 
energi alternatif, namun sangat jarang menerapkannya.

Berdasarkan nomenklatur yang dimiliki, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jatim 
merupakan instansi yang berwenang untuk pengelolaan hal ini. Namun, mengingat latar 
belakang kelembagaan (perubahan bentuk dari Dinas Pertambangan Daerah) serta 
pengalaman sumber daya manusia yang dimiliki, maka selayaknya lembaga ini 
direvitalisasi. Mengelola energi jelas sangat berbeda dengan pertambangan (baca: 
golongan C). Baik dalam hal subyek pengelolaan, terlebih lagi paradigma pengelolaan 
yang harus prediktif-antisipatif sifatnya.

Selain melakukan kajian terhadap berbagai aspek yang terkait langsung dengan energi, 
kebijakan energi juga terkait dengan kondisi di luar wilayah. Berbagai kebijakan 
nasional, dan situasi internasional sangat berpengaruh terhadap kebijakan energi 
regional.

Tidak kalah pentingnya adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat yang akan mengonsumsi 
energi tersebut. Pengabaian terhadap berbagai aspek ini hanya akan menciptakan sebuah 
kebijakan energi yang sulit untuk diterapkan, bahkan bukan tidak mungkin menimbulkan 
penolakan dari berbagai kalangan.

Di sisi lain, pengelolaan hal ini seharusnya dilakukan oleh sebuah lembaga yang khusus 
hanya diberi wewenang mengurus masalah energi, tidak masalah lain. Akibatnya, meskipun 
terkait secara tidak langsung, sumber daya mineral (pertambangan: golongan C) harus 
dipisahkan dari energi (kecuali batu bara).

Lembaga yang berwenang mengelola dan merumuskan berbagai kebijakan di bidang energi 
ini, secara vertikal harus bertanggung jawab kepada gubernur, secara horizontal harus 
dapat mengintegrasikan fungsi dan peran dari berbagai instansi pemerintah yang saat 
ini terpisah (Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM, PLN Jawa Timur, Pertamina 
UPDN V, PT PGN, Balitbangda, dan Bappedal) agar dapat memanfaatkan berbagai sumber 
daya dan informasi yang dimiliki setiap lembaga untuk mendukung kebijakan energi 
regional.

Reformasi kelembagaan ini bukanlah hal yang mudah, mengingat beberapa di antaranya 
secara struktural terkait dengan pemerintah pusat dan tidak memiliki kaitan dengan 
pemerintah provinsi. Namun, perubahan bukan tidak mungkin dilakukan bila masing-masing 
pihak sepakat untuk lebih mendahulukan kepentingan regional (Jatim) dibandingkan 
dengan fanatisme sempit kelembagaan atau sektoral.

Untuk ini, Pemprov Jatim harus secara pro-aktif memulai komunikasi dengan pemerintah 
pusat untuk membicarakan hal ini secara integral. Pengalaman sebuah kabupaten di Jatim 
yang ingin mengembangkan secara mandiri potensi geotermal yang dimiliki, ternyata 
mendapat tanggapan positif dari pemerintah pusat (Ditjen Migas dan Pertamina 
Geotermal).

Tanggapan positif ini berupa rencana kerja sama kelembagaan antara pemerintah pusat 
dengan pemerintah kabupaten (pemkab) untuk melakukan penelitian dan studi kelayakan 
pengembangan energi tersebut. Dalam kasus ini, keinginan bersama untuk segera 
mengembangkan potensi energi yang dimiliki daerah tersebut, mampu mengalahkan 
batas-batas kewenangan (antara pusat dan daerah).

Terbatasnya kewenangan provinsi dalam hal energi, hendaknya tidak diartikan sebagai 
titik henti keterlibatan provinsi dalam mengurusnya. Justru sebaliknya dengan berbagai 
pengalaman dan sekaligus kebutuhan regional di masa mendatang, hendaknya dijadikan 
titik awal keinginan untuk terlibat secara aktif dalam mengelola masalah ini.

Energi bukan hanya masalah saat ini, lebih dari itu merupakan komoditas strategis yang 
sangat penting di masa mendatang karena menyangkut kelangsungan kehidupan suatu bangsa.

Terhentinya pasokan gas dari BP selama 16 hari hanyalah masalah kecil, bila 
dibandingkan dengan kelangkaan energi di wilayah Jatim pada tahun 2010 akibat 
keterlambatan mengantisipasi pengganti energi fosil dan gas serta batu bara yang tidak 
terbarukan dengan energi alternatif yang murah, terbarukan, dan ramah lingkungan.

Juga kemungkinan alternatif lain, seperti pendirian pembangkit listrik mini yang 
dibangkitkan dengan tenaga air yang cukup melimpah di setiap kabupaten/kota di Jatim, 
pengembangan energi angin di wilayah pegunungan serta energi gelombang di daerah 
pesisir. Kreativitas pencarian alternatif energi masa depan ini merupakan bagian 
integral dari kebijakan energi.

Akhirnya, kebijakan energi regional ini harus dilihat sebagai bagian dari sebuah 
strategi besar kebijakan energi nasional. Dengan demikian, semakin kuat keberlanjutan 
energi di sebuah wilayah, pada saat yang bersamaan akan juga mengamankan ketahanan 
energi secara nasional.

Ikhsyat Syukur Penulis adalah humas Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI


---------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, e-mail: [EMAIL PROTECTED]
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi

Komisi Sedimentologi (FOSI) : F. Hasan Sidi([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED])
Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED])
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED])
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi 
Dahlius([EMAIL PROTECTED])
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED])
---------------------------------------------------------------------

Kirim email ke