Ajang kolaborasi teman2 coal dan migas... Saya jadi ingat paper lama dari David White 
(1915) di depan Washington Academy of Science yang untuk pertama kalinya mengangkat 
issue bahwa terdapat hubungan antara eksplorasi migas dan batubara. White mengangkat 
fakta bahwa eastern US terdapat hubungan geografi antara keterdapatan lapangan migas 
dengan kematangan coal. Disebutkan bahwa lapangan2 minyak hanya terkonsentrasi di 
low-maturity coals (coal dg fixed carbon < 60 %), gas fields di higher maturity coals 
(fixed carbon 60-70 %) dan praktis tidak ada lapangan migas di daerah dengan maturity 
coal >70 % carbon (anthracite). Kemudian, sejak itu jadilah hal ini menjadi pedoman 
dalam eksplorasi migas. Coal dijadikan maturity indicator. Tentu saat itu belum ada 
pemahaman source rock maturity dan parameter2nya (VR, SCI dll.). Pedoman ini pernah 
dipakai juga oleh Stanvac waktu mengeksplorasi South Sumatra Basin pada awal2 1900an. 
Nah, memang ada hubungan, sebab coal dan HC sama2 jadi di
 sedimentary basins. 
 
Saya ada beberapa komentar atas ulasan Pak Andang soal coal maturity di Kutei, 
khususnya di point 2 dan 4.
 
Point 2. Kasus di Melawi, Ketungau, Mandai (Keriau). Basin2 ini cocok kalau mau kita 
sebut sebagai pull-apart basin dengan bentuknya yang panjang sempit dan mungkin dalam. 
Saya pernah satukan antara Adang/Paternoster Fault di Balikpapan Bay dengan Lupar 
Line/Fault di Datu Bay (utara Kuching) sehingga jadilah Adang-Lupar Trans-Kalimantan 
Megashear (PIT IAGI 1996). Sesar Besar ini membatasi terrane2 di Kalimantan, jadi 
sesar ini bermain sebagai suture. Di atas segmen Lupar ini terbentuk pull-apart basins 
Melawi-Ketungau complex yang dipisahkan Semitau melange ridge. Layaknya sebuah suture 
atau geo-element pemisah dua terrane, bayangannya ia punya akses ke mantle Bumi 
sehingga diharapkan akan punya heat flow yang tinggi (analogi seperti ini adalah untuk 
Mutus Assemblage antara Mergui dan Malaya terranes sehingga Bengkalis-Aman-Kiri 
Trough/Sub Basin punya heat flow tinggi). Tapi kalau pengamatan Pak Slamet BHP bahwa 
coal maturity di sini rendah, maka apa yang di Central Sumatra Basin
 terjadi, di sini tidak terjadi, tetapi terjadi apa yang disebutkan Pak Andang, yaitu 
bahwa kompleks cekungan Kal Bar ini tidak punya burial sediments dan waktu yang cukup 
untuk pematangan coal dan source-nya. Walaupun banyak intrusi di daerah ini, itu pun 
kelihatannya gak banyak bertperan.
 
Point 4. Dengan akumulasi gas lebih banyak di alur present Mahakam River dan minyak 
lebih banyak ke sisi utara dan selatannya di onshore-offshore Kutei Basin mengesankan 
bahwa terdapat tinggian struktur yang paralel dengan alur Sungai Mahakam sekarang 
yaitu BBL-TTenggara. Ini menarik sebab selama ini pola struktur Kutei lebih banyak 
dikontrol trend SBD-UTL. Kalau tinggian BBL-TTenggara itu ada bagaimana origin-nya, 
saya sulit membayangkannya, sebab didekati dari kinematika struktur mana pun hasilnya 
akan lebih ke SBD-UTL. Apa berhubungan dengan couple strike-slip faults antara Adang 
dan Mangkalihat yang memang dua-duanya bikin tinggian (Barito-KuteiCross High dan 
Mangkalihat High). Tapi walau couple hasilnya mestinya tegak lurus dari dua sesar itu, 
yaitu kembali ke SBD-UTL. Kecuali misalnya ada sesar baru subsurface (blind fault) 
yang strike-slip sejajar dengan Mahakam River dan merupakan arm dari transform fault 
di North Makassar spreading centre. Siapa tahu...
 
Salam,
Awang H. Satyana
Eksplorasi BP Migas

Andang Bachtiar <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Ada beberapa hal yang menarik untuk didiskusikan dari "kenangan" trend VR
Kalimantannya Pak Slamet Riyadi BHP. Mudah-mudahan topik ini bisa jadi ajang
kolaborasi pemikiran antara kawan-kawan di industri migas dan industri
batubara.


...deleted


2. Melemahnya trend maturity dari coal di Mandai, Melawi, Ketungau (yang
juga disinggung oleh Pak Slamet Riyadi di paragraph terakhir dari
postingnya) kemungkinan besar justru disebabkan oleh intensitas tektonik
yang tinggi di cekungan-cekungan tersebut yang dalam hal ini menghasilkan
pengangkatan pada akhir Paleogen. Pada kala Neogen, daerah-daerah tersebut
relatif sudah tidak mengalami penguburan dan penurunan yang signifikan lagi.
Oleh karenanya mereka disebut juga sebagai cekungan-cekungan Paleogene
Kalimantan. Oleh karena sejarah tektonik-nya yang seperti itu, maka dapat
dikatakan bahwa penguburan paket sedimen pembawa coal di daerah-daerah
tersebut hanya berlangsung paling lama 25-30 juta tahun (dari Eosen sampai
Oligosen). Sementara itu didaerah Kutai Hulu dan Hilir penguburan
berlangsung bahkan sampai sekarang yang notabene 2x lipat masa penguburan di
Cekungan Paleogene tersebut. Tentu saja hal itu mempengaruhi kematangan dari
coal-nya, dimana VR-nya akan relatif lebih rendah dari coal se-umur di
Cekungan Kutai.

...deleted

4. Pengamatan Pak Slamet Riyadi tentang terpusatnya kemunculan coal Miocene
dengan VR >0.5% di sekitar daerah Samarinda-Tenggarong berhubungan erat
dengan pengamatan (saya) bahwa daerah kulminasi tertinggi dari antiklin di
trend-trend Separi-LoaHaur, Semberah-Sungai Nangka, Lampake-Mutiara,
Badak-Handil, dan Attaka-Bekapai ternyata ada di daerah disepanjang aliran
S. Mahakam present-day. Antiklin di selatan S. Mahakam menunjam ke Selatan,
di utara S. Mahakam menunjam ke Utara. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa daerah tengah ini mengalami pengangkatan yang relatif lebih besar dari
daerah di utara dan selatan-nya. Implikasinya dalam petroleum system,
kemungkinan besar di daerah kulminasi tertinggi tersebut terperangkap
hidrokarbon yang lebih gaseous di bandingkan dengan "plunging anticlines" di
utara dan selatan-nya. Hal ini sesuai dengan prinsip fraksinasi migrasi
hidrokarbon dalam sistim perangkap antiklinorium (berjenjang) maka fraksi
ringan (gas) akan cenderung mengisi di antiklin paling tinggi, sedangkan
fraksi berat (heavy oil) akan tertinggal di perangkap-perangkap yang lebih
rendah (gambarnya King Hubert tentang prinsip ini cukup terkenal). Coba anda
perhatikan: Lapangan Sambutan dan Pelarang menghasilkan gas, sementara
Semberah, Mumus, Binangat dan Sungai Nangka lebih banyak minyaknya. Lapangan
Tanjung Una dan Muara mengandung fraksi gas lebih banyak daripada Kutai
Lama, Sanga-Sanga, Pamaguan dan Mutiara. Lapangan Nilam-Tambora juga lebih
banyak gasnya daripada Lapangan Badak dan Handil. Lapangan Tunu menghasilkan
gas, sementara Attaka dan Bekapai lebih banyak minyaknya.

...deleted


ADB





---------------------------------
Do you Yahoo!?
Yahoo! SiteBuilder - Free, easy-to-use web site design software

Kirim email ke