Semoga makin menyemarakkan pertambangan batubara di Indonesia

RDP
=========
Edisi: 25-MAR-2004 
Harga batu bara diduga tetap tinggi 
 Oleh Singgih Widagdo
Direktur Masyarakat Batubara Indonesia (MBI)/Manager PT Berau Coal 

Pada saat pembukaan Konferensi Batubara Asia Mc Closkey's di Kuala Lumpur, 
8 Maret lalu, pemilu di negeri jiran ini tinggal 13 hari lagi. Namun, 
tidak tampak poster, spanduk maupun pawai kontestan. 
Suasana tenang di jalanan sangat kontras dengan suasana di Hotel 
Shangri-la, tempat konferensi berlangsung. Salah satu topik 'panas' yang 
dibahas adalah melesatnya harga batu bara dunia, seperti layaknya balap 
mobil Formula I yang tak lama lagi diadakan di Sirkuit Syah Alam, Se-pang, 
tiga jam perjalanan dari Kuala Lumpur. 

Perdebatan yang selalu ditunggu selama konferensi, sebesar apa dan 
seberapa lama harga batu bara akan terus melejit? Dan, sejauh mana 
pengaruh Cina terhadap pasar batu bara ke depan? 

Seluruh pasar batu bara Asia berubah cepat, dan memberikan dampak pada 
perdagangan batu bara dunia. Kebutuhan batu bara untuk pasar Jepang, Korea 
dan Taiwan terus meningkat pada saat Cina mengonsentrasikan kebutuhan 
domestik dan mengurangi ekspornya. 

Produksi & pangsa penjualan batu bara Indonesia (juta ton) 
 2002  2003*  2004* 
Produksi 108,7 123,6 135,4 
Asia 61,0 76,0 83,8 
Eropa 10,3 10,5 10,5 
AS 3,3 3,6 5,0 
Ekspor 74,6 90,1 99,3 
Domestik 29,0 31,4 32,2 
Total penjualan 103,6 121,5 131,5 
Sumber: McCloskeyAsian Coal Conference Ket. * Perkiraan 

Ini tentu menjadi catatan tersendiri yang mengembirakan bagi para produsen 
batu bara di Pasific Rim, apalagi pada saat yang sama produsen Australia 
sedang mengalami penguatan mata uangnya terhadap US$ secara terus menerus. 


Bagi Indonesia, kondisi pasar dunia yang belum pernah terjadi ini harus 
dimanfaatkan dengan baik. Sampai-sampai salah satu pemilik perusahaan batu 
bara yang cukup besar di Kalimantan Timur yang secara rutin bermain golf 
menghentikan olah raga favoritnya itu demi menangguk keuntungan dalam 
kondisi saperti ini. 

Dari tahun ke tahun tingkat produksi dalam negeri terus meningkat. Pada 
2003 produksi nasional 123,6 juta ton dan diperkirakan akan meningkat 
terus di tahun ini sebesar 135,4 juta ton. Tingkat poduksi di atas 150 
juta ton dipastikan akan terwujud pada 2006. 

Dengan kondisi pasar sekarang dan khususnya pada sisi harga batu bara yang 
diperkirakan akan bertahan tinggi selama dua tahun ke depan, maka tentunya 
selama waktu tersebut devisa ekspor batu bara Indonesia akan meningkat 
tajam sejalan dengan kenaikan produksi batu bara Indonesia. 

Terlebih lagi harga batu bara diperkirakan akan masih tetap tinggi. 
Kondisi ini akan meningkatkan masukan royalti yang relatif cukup besar 
bagi pemerintah pusat maupun daerah. 

Dengan tingkat perkiraan produksi sebesar 135,4 juta ton pada 2004 dan 
juga perkiraan tingkat ekspor mencapai 99,3 juta ton, Indonesia menjadi 
eksportir batu bara nomor dua di dunia. 

Di pasar domestik pun, akan terjadi peningkatan kebutuhan batu bara 
sebesar 32,2 juta ton. Peningkatan akan terjadi pada 2007 dengan 
beroperasinya secara penuh PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) Tanjung 
Jati-B serta kemungkinan besar PLTU Cilacap. 

Kondisi pasar 

Pada dasarnya pasar batu bara secara ekonomi sudah tersegmenkan. Afrika 
Selatan dan Kolumbia ke Eropa, Australia dan Indonesia ke Asia dan kawasan 
Atlantik. 

Bagi produsen Indonesia, pertumbuhan kebutuhan batu bara di Asia menjadi 
sangat penting. Tahun lalu, dari pasar batu bara sebesar 441,3 juta ton, 
Asia menguasai 244,19 juta ton, dan diperkirakan kebutuhan Asia terus 
meningkat menjadi 250,89 juta ton. 

Saat ini, pasar batu bara Asia menjadi fenomena yang cukup menarik dan 
unik. Bagi produsen Indonesia, sebelumnya untuk memasuki pasar Asia harus 
berhadapan dengan produsen dari Australia, Afrika Selatan, Cina, Kolumbia, 
namun dengan kondisi perubahan yang yang terjadi di Cina sampai dengan 
saat ini, yang tidak saja mempengaruhi harga batu bara dunia, namun juga 
kenaikan biaya pengangkutan laut yang lebih dari 200%, maka bagi produsen 
Afrika Selatan dan Kolumbia, berat bersaing dengan produsen Indonesia. 

Fenomena pasar batu bara Asia menjadi unik dengan terciptanya kompetisi 
antara sesama produsen Indonesia dalam memperebutkan transaksi di pasar 
Asia. 

Sepanjang sejarah perdagangan batu bara, pertama kalinya harga menembus 
US$50,45 per ton (Barlow Jonker Spot-11 Maret 2004), yang seminggu 
sebelumnya masih pada US$47,50 per ton. Bahkan, National Power Corp, 
Filipina (NPC) dengan kondisi stok batu bara di PLTU Masicloc, telah 
menyetujui pembelian batu bara satu panamax dari Xstrata's Mount Owen 
(Australia) seharga US$55 per ton FOB (freight on board) atas dasar nilai 
kalori 6,300 kcal/kg (ar) untuk pengapalan April atau Mei tahun ini. 

Pengapalan dari Newcastle ke Masinloc pun sudah mencapai US$27 per ton, 
sehingga CFR dapat mencapai US$82 per ton atau harga yang belum pernah 
terbayangkan saat itu. 

Cina melalui National Development and Reform Commission (NDRC) dan 
Ministry of Commerce (MOC), telah merencanakan pembatasan ekspor batu bara 
pada 2004. 

Dipertegas juga setiap kebijaksanaan dalam menentukan perhitungan kuota 
ekspor batu bara harus didahului dengan perhitungan pertimbangan keamanan 
ekonomi, penggunaan sumber daya batu bara yang rasional, rencana industri 
yang ada serta kondisi pasar batu bara domestik dan ekspor. 

Dengan tingkat perkiraan pertumbuhan GDP (gross domestic product) Cina 
sebesar 7 %, maka tingkat kenaikan kebutuhan listrik akan dapat mencapai 
15 %. Dengan kondisi ini, maka untuk dapat memenuhi kebutuhan batu bara di 
dalam negeri, pembatasan ekspor sebesar 80 juta ton pada 2004 diperkirakan 
meleset dan jauh dari angka itu, walaupun tingkat produksi batu bara Cina 
mencapai 1,608 miliar ton pada 2003 atau naik 15 % dari produksi 2002 yang 
besarnya 1,39 miliar ton. 

Juga, dengan kejadian padamnya listrik di 21 provinsi di kuartal ke-4 2003 
akibat pasokan batu bara, menjadi pelajaran bagi Cina dalam membuat 
kebijakan ekspor batu baranya. Dan, tidak seperti di Indonesia yang 
ma-sing-masing produsen atau trader dapat melakukan ekspor, maka 
Pemerintah Cina (NDRC) sampai saat ini hanya mengizinkan ekspor kepada 
China Coal, Shenhua, Shanxi Coal, dan Minmetal. 

Melihat kondisi yang ada, diperkirakan harga batu bara tetap akan bertahan 
tinggi (di atas US$40 per ton) selama dua tahun ke depan. Sedangkan, biaya 
pengangkutan laut juga diperkirakan akan tetap tinggi karena Cina masih 
memerlukan banyak armada laut untuk memenuhi kebutuhan impor bijih besi 
sampai 700 juta ton pada 2007, atau naik 520 juta ton pada 2003, atau 37 % 
dari perdagangan dunia. 

Dengan tingginya harga batu bara di pasar internasional yang diperkirakan 
masih akan berlangsung panjang, maka hal ini tentu menjadi peluang bagi 
seluruh produsen batu bara di dalam negeri. 

Namun, dengan kebijakan bebas ekspor bagi setiap produsen ataupun trader 
diharapkan tidak akan mengganggu pasokan kebutuhan batu bara di dalam 
negeri, khususnya untuk pembangkit-pembangkit besar seperti PLTU Suralaya, 
PLTU Paiton 1 & 2 , dan PLTU Swasta Paiton I &II. 

Harga yang harus dibayar dengan terhentinya pasokan batu bara ke 
pembangkit-pembangkit tersebut di atas akan menghasilkan multiplier 
effects yang secara ekonomi ruginya justru lebih besar nilainya dari 
kenaikan harga batu bara yang di dapat. 

Dengan tingginya batu bara di pasaran ekspor dan di sisi lain tidak adanya 
pengaturan perdagangan batu bara oleh Pemerintah Indonesia terhadap batu 
bara, PT PLN (PT Indonesia Power dan PT Pembangkitan Jawa Bali) sebagai 
pembeli dan pemakai terbesar harus melakukan komunikasi intensif 
secepatnya dan terus menerus dengan produsen agar keamanan jaminan pasokan 
tidak terganggu, khususnya kondisi menjelang pemilu pada April 2004 sampai 
dengan terbentuknya pemerintahan baru nantinya. 

Akhirnya, apapun segala isi bumi di Indonesia pelu dimanfaatkan secara 
optimal untuk kesejahteraan rakyat harus tetap menjadi tujuan utama. 

Oleh Singgih Widagdo
Direktur Masyarakat Batubara Indonesia (MBI)/Manager PT Berau Coal 
 

Kirim email ke